Sabtu, 11 Februari 2012

Lebaran Untuk Soleh

Pak Amat menyandarkan tubuh kerontangnya di bawah pohon yang tak jauh dari tempat pembuangan sampah itu, tak terasa sang mentari sudah berada tepat diatas ubun-ubun kepalanya. Terasa menyengat serasa dipanggang,mengucurpeluh yang membuat basah baju Pak Amat yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, dan hanya menyisakan seraut wajah yang kepayahan, sambil ia mengipas-ngipaskan robekan kardus air mineral kebadannya.
     Pandangannya lurus menghampar sebatas mata menjangkau. Hanya sampah menumpuk menyerupai bukit kecil yang memenuhi ruang batas itu. Pemandangan yang sudah terbiasa ia geluti setiap hari, mencari sampah daur ulang untuk ditukar menjadi uang.
     Keahlian yang ia bisa sudah turun temurun dan entah sampai kapan?, saat inipun Somad sama halnya sebagai pemulung. Ia sebenarnya tidak ingin melihat anaknya itu menjadi seperti dirinya, namun harus bagaimana lagi penghasilannya hanya cukup dimakan sehari-hari.
     Setelah menggaruk-garuk cukup lama dan hanya mendapatkan satu gelasan plastik mineral, Soleh pun buru-buru pindah ketempat lainnya. Di tempat itu persaingan sesama pemulung tak kalah ketat, siapa yang lebih cepat ia yang akan lebih banyak dapat. Tak jauh melangkah, ia melihat Bapaknya duduk di bawah pohon seperti orang kecape'an, seketika itu ia langsung menghampirinya.
     "Kalau Bapak gak kuat Bapak pulang saja duluan, biar Soleh yang mencari sampah", pinta Soleh.
     Sembari tersenyum Pak Amat hanya menggelengkan kepalanya tanpa sepatah kata. Kemudian ia bangkit dari duduknya menyanggul kembali keranjang sampah yang di dalamnya masih terisi setengah.Tangan kanannya menggenggam erat pengait dari sebatang besi berukuran panjang. Ia melangkah gontai, di sebelahnyaSoleh memandangi Bapaknya itu dengan perasaan iba. Selama bulan puasa ini Bapaknya tidak seperti biasa memulung sampah selalu lebih awal. Sehabis sahur ia sudah berangkat lebih dulu, dan ketika pulang seringkali sampai adzan Maghrib tiba.
     Soleh sudah berungkali meminta Bapaknya agar jangan terlalu memaksa bekerja. Apalagi di bulan puasa seperti ini, ia ingin Bapaknya bisa libur mencari sampah, biar saja yang menggantikannya. Setidak-tidaknya dengan melihatnya istirahat selama sebulan penuh sudah cukup membuat ia bahagia.
     Tapi tetap saja, seperti biasanya Pak Amat hanya menjawabnya dengan senyum ketika Soleh mengutarakan keinginannya itu sembari kembali mengorek-orekkan pengaitnya mencari sesuatu yang layak untuk di masukkan kekeranjangnya.
     Soleh tidak habis pikir dengan sikap Bapaknya yang acapkali seperti itu. Padahal kalau hanya untuk makan sehari-hari dengan ia bekerja seorang diri ia merasa mampu melakukannya. Apalagi di bulan puasa seperti ini kebutuhan dapur hanya diwaktu mau buka dan ketika sahur saja,dan itupun kalau tidak ada pemberian sedekah dari orang-orang kaya yang peduli yang biasanya di bulan seperti ini mereka berlomba-lomba memperlihatkan kedermawanannya. Kalau sudah begitu biasanya jatah belanja dapur ditabung untuk kebutuhan-kebutuhan yang lain.
     Sejenak Pak Amat balik memandangi anakkesayangannya itu, ia memahami keinginannya. Soleh anak yang baik, tapi ia masih terlalu muda untuk bisa memahami maksud pikirannya itu. Pengalaman adalah guru dari Negeri Antah Berantah, ia tidakmembutuhkan kertas untuk diabadikan menjadi sebuah tulisan, tidak juga sebagai pajangan kebanggaan yang mesti dimuseumkan. Ia hanyalah tongkat seorang buta dikala usia beranjak tua.
     Biarlah Soleh menjadi dirinya sendiri, setidaknya tidak sama persis seperti dirinya. Ketika dahulu seusia Soleh ia begitu bangga sebagai pemulung sampah. Kebanggaan yang dipaksa oleh keadaan kedua orang tuanya waktu itu yang setelah ia pikir saat ini begitu mendoktrinnya. Pak Amat sadar karena sebab kemiskinanlah yang membuat orang tuanya itu beranggapan bahwa hanya sampah yang bisa membuat mereka makan. Sedangkan impian dan cita-citanya yang seringkali terbang melayang hanyalah berupa angan-angan yang pada akhirnya jatuh di tempat pembuangan itu, menjadi sampah yang diatasnya lalat-lalat mengerubunginya sembari menari dan menyanyi tanpa henti.
     Pak Amat merasa beruntung memiliki Soleh satu-satunya walaupun ia tidak pernah mencicipi bangku sekolah. Sikapnya yang terpuji sudah cukup membuat Pak Amat bangga sebagai orang tua. Pak Amat merasa tidak sia-sia telah mengajarinya akhlak sedari kecil hingga saat ini. Walaupun Pak Amat sendiri memahami akhlak hanya sekedar mendengar dari seorang Ustad yang seringkali memberi tausiyah gratis di Musholla dekat rumahnya. Nama Solehpun atas pemberian Ustad itu. Ustad yang menurutnya sangat baik, karena tanpa dibayar ia rela dengan sabar dan penuh ketulusan mengenalkan kebaikan agama kepada orang-orang seperti dirinya. Orang-orang yang tidak mengenal Tuhan karena mereka tidak mengetahuinya.
     Adzan Dzuhur berkumandang menandakan setengah perjalanan hari telah mereka lalui. Waktu tengah hari seperti itu biasanya keranjang Soleh belum terisi penuh. Seperti hari-hari sebelumnya Pak Amat menyuruh Soleh agar pulang lebih dulu, dan menyuruh membantu Ibu di rumah.
     Selama bulan puasa ini Bapaknya selalu menyuruh ia pulang lebih dulu. lagi-lagi ia dibuat tidak habis pikir engan perintah Bapaknya itu. Padahal kalau hari-hari biasa -sebelum bunyi beduk masih belum terdengar dari Masjid besar yang tak jauh dantampak megah dari tempat pembuangan itu- tidak ada alasan bagi Bapaknya menyuruh ia pulang. Karena sang ibu tidak akanmembutuhkan bantuannya, sebagaimana kesehariannya sang ibu melakukan pekerjaan seorang diri yang biasanya ia mulai dengan bersih-bersih rumah, kemudian setelah itu memilih barang-barang hasil pulungan yang tidak membutuhkan waktu yang lama. Barang yang layak pakai disimpan untuk kebutuhan sendiri, dan selebihnya menunggu Bapak pulang untuk dibawa ketengkulak agar ditukar menjadi rupiah. Sehabis itu sang ibu memasak sesuai menu biasanya, serba biasa tidak ada yang bisa diistimewakan sekalipun ini bulan puasa. Semua itu adalah pekerjaan rutin ibunya sebagai ibu rumah tangga. Soleh tidak berani mengganggunya karena kalau memaksa membantu ia pasti akan kena marah.
     Entah kalau maksud Bapaknya mungkin kasihan, takut-takut ia tidak kuat menahan lapar bepuasa sambil bekerja. Tapi pikirnya sekali lagi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena Ramadhan bagi Soleh sama halnya dengan bulan-bulan yang lain. Ia sudah terbiasa menahan lapar, malah sering selama seharian ia hanya mengisi perutnya dengan air yang membuatnya kembung. Atau syukur-syukur ada makanan sampah yang menurutnya masih layak makan, ia bisa melahapnya untuk mengganjal bunyi di perutnya. Jadi menurutnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena ia sudah sangat terbiasa melakukan semua itu.
     Atau mungkin keran sebentar lagi lebaran?, mungkin sebagai orang tua Pak Amat ingin Soleh menyambut lebaran tidak hanya secara batin saja, secara lahirpun Pak Amat ingin ia seperti anak-anak lainnya. Sekalipun di setiap lebaran tidak pernah ada baju baru dan rencana liburan kemana untuknya, tapi setidaknya Soleh mempunyai mimpi yang sama seperti mereka. Mimpi-mimpi yang sama seperti Pak Amat dulu yang tidak mampu ia beli, mimpi-mimpi yang senantiasa Pak Amat berharap suatu saat nanti Soleh bisa merubah hidupnya menjadi lebih baik.
     Lagi-lagi Soleh ingin membantah dengan keras jika maksud Bapaknya berkeinginan seperti itu. Walaupun ia sendiri tidak mampu menepis angan-angan untuk menjadi seperti mereka, tapi keinginannya itu masih lebih besar dibanding kecintaannya memulung sampah.
     Karena hanya dengan memulunglah ia merasakan kebahagiaan yang tiada tara, membantu Bapaknya yang sudah tua, membntu sang ibu agar dapurnya senantiasa ngebul. Baginya sudah lebih dari cukup, perasaan yang tidak bisa ia lukis menjadi sebuah karya, tidak bisa ia ukir menjadi seduatu yang berharga, atau ia tulis menjadi baris kata sehingga tercipta sebuah cerita. Perasaan itu terpatri dengan sendiri, olahan hati yang sedemikian halus dari jiwa sebening embun hingga ia sendiri tidak pernah bisa memahaminya.
     Soleh akhirnya pulang dengan memendam segalatanda tanya itu tanpa mampu ia jawab. Ia hanya yakin kepada kedua orang tuanya sebagai satu-satunya orang yang dapat ia percaya di dunia ini yang terasa sempit.
     Perasaanitu masih terbawa sesampainya di rumah. Ia taruh begitu saja keranjang sampah itu, kemudian ia rebahkan tubuhnya di atas sofa yang isi di dalamnya sudah berganti beraneka macam sampah, serta tambalan disana-sini yang dijahit sendiri. Sofa usang itu bapaknya dapat sebagai imbalan karena telah mengembalikan dompet milik seorang pengusaha pembuat sofa, yang ia temukan ketika memulung sampah. Tidak hanya sofa, Bapaknya juga mendapatkan sejumlah uang yang cukup lumayan untuk dibuat modal memperbaiki rumah. Walaupun bukan tembok tapi setidaknya dinding dari kardus itu sudah diganti dengan anyaman bambu yang tidal lagi menjadi beban pikiran ketika musim penghujan tiba.
     Sekitar dua jam ia terbawa lelap, sebelum dibangunkan ibunya untuk sholat dzuhur. Sambil menunggu adzan ashar berkumandang Solehpun seperti biasa melanjutkan bacaan ayat-ayat Tuhan sisa semalam, yang senantiasa menenteramkan hatinya.
######
     Gema bersahutan suara kemenangan, dengan lantunan keagungan Asma Tuhan serasa bulu kuduk berdiri. Soleh merinding seperti ada hawa ghaib yang merasuki jiwanya untuk segera membebaskan diri menyambut kemenangan ini. Iapun tersenyum menyambut kembali kedatangan jiwa selama sebulan penuh bergerilya. Walaupun senyum itu ia paksakan, dan akan terasa hambar ketika jiwa-jiwa sudah terbiasa bergerilya menahan lapar mencari makan.
     Tawa riuh anak-anak dengan aneka bunyi-buyian. Percikan kembang api di sela-sela kegembiraan mereka seakan menghapus sejenak keinginan dan cita-cita mereka yang harus mereka tangisi dengan air mata darah. Soleh menatap mereka penuh keluguan. Asma Tuhan, mereka dendangkan bak nyanyian ratapan tentang nasib yang kurang beruntung.
     Pak Amat tampak di belakang anak-anak itu dengan langkah pelan. Soleh buru-buru menghampiri Bapaknya itu, ia tidak tega melihatnya begitu lelah, kemudian iapun menuntunnya sampai kerumah. Keranjang di punggungnya terlihat kosong, di dalamnya hanya terisi bungkusan plastik.
     Setelah meneguk segelas air putih penawar lelah yang dibawakan sang istri, Pak Amat kemudian membuka bungkusan itu dengan senyum mengembang. Sebuah baju koko dan sarung, lengkap beserta peci putih.
     "Ini untukkamu..!!!!", kata Pak Amat kepada Soleh



Tidak ada komentar:

Posting Komentar