Pak Amat menyandarkan
tubuh kerontangnya di bawah pohon yang tak jauh dari tempat pembuangan sampah
itu, tak terasa sang mentari sudah berada tepat diatas ubun-ubun kepalanya.
Terasa menyengat serasa dipanggang,mengucurpeluh yang membuat basah baju Pak
Amat yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, dan hanya menyisakan seraut wajah
yang kepayahan, sambil ia mengipas-ngipaskan robekan kardus air mineral
kebadannya.
Pandangannya lurus
menghampar sebatas mata menjangkau. Hanya sampah menumpuk menyerupai bukit
kecil yang memenuhi ruang batas itu. Pemandangan yang sudah terbiasa ia
geluti setiap hari, mencari sampah daur ulang untuk ditukar menjadi uang.
Keahlian yang ia bisa
sudah turun temurun dan entah sampai kapan?, saat inipun Somad sama halnya
sebagai pemulung. Ia sebenarnya tidak ingin melihat anaknya itu menjadi
seperti dirinya, namun harus bagaimana lagi penghasilannya hanya cukup
dimakan sehari-hari.
Setelah menggaruk-garuk
cukup lama dan hanya mendapatkan satu gelasan plastik mineral, Soleh pun
buru-buru pindah ketempat lainnya. Di tempat itu persaingan sesama pemulung
tak kalah ketat, siapa yang lebih cepat ia yang akan lebih banyak dapat. Tak
jauh melangkah, ia melihat Bapaknya duduk di bawah pohon seperti orang kecape'an,
seketika itu ia langsung menghampirinya.
"Kalau Bapak gak kuat
Bapak pulang saja duluan, biar Soleh yang mencari sampah", pinta Soleh.
Sembari tersenyum Pak Amat
hanya menggelengkan kepalanya tanpa sepatah kata. Kemudian ia bangkit dari
duduknya menyanggul kembali keranjang sampah yang di dalamnya masih terisi
setengah.Tangan kanannya menggenggam erat pengait dari sebatang besi
berukuran panjang. Ia melangkah gontai, di sebelahnyaSoleh memandangi
Bapaknya itu dengan perasaan iba. Selama bulan puasa ini Bapaknya tidak
seperti biasa memulung sampah selalu lebih awal. Sehabis sahur ia sudah
berangkat lebih dulu, dan ketika pulang seringkali sampai adzan Maghrib tiba.
Soleh sudah berungkali
meminta Bapaknya agar jangan terlalu memaksa bekerja. Apalagi di bulan puasa
seperti ini, ia ingin Bapaknya bisa libur mencari sampah, biar saja yang
menggantikannya. Setidak-tidaknya dengan melihatnya istirahat selama sebulan
penuh sudah cukup membuat ia bahagia.
Tapi tetap saja, seperti
biasanya Pak Amat hanya menjawabnya dengan senyum ketika Soleh mengutarakan
keinginannya itu sembari kembali mengorek-orekkan pengaitnya mencari sesuatu
yang layak untuk di masukkan kekeranjangnya.
Soleh tidak habis pikir
dengan sikap Bapaknya yang acapkali seperti itu. Padahal kalau hanya untuk
makan sehari-hari dengan ia bekerja seorang diri ia merasa mampu
melakukannya. Apalagi di bulan puasa seperti ini kebutuhan dapur hanya
diwaktu mau buka dan ketika sahur saja,dan itupun kalau tidak ada pemberian
sedekah dari orang-orang kaya yang peduli yang biasanya di bulan seperti ini
mereka berlomba-lomba memperlihatkan kedermawanannya. Kalau sudah begitu
biasanya jatah belanja dapur ditabung untuk kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Sejenak Pak Amat balik
memandangi anakkesayangannya itu, ia memahami keinginannya. Soleh anak yang
baik, tapi ia masih terlalu muda untuk bisa memahami maksud pikirannya itu.
Pengalaman adalah guru dari Negeri Antah Berantah, ia tidakmembutuhkan kertas
untuk diabadikan menjadi sebuah tulisan, tidak juga sebagai pajangan
kebanggaan yang mesti dimuseumkan. Ia hanyalah tongkat seorang buta dikala
usia beranjak tua.
Biarlah Soleh menjadi
dirinya sendiri, setidaknya tidak sama persis seperti dirinya. Ketika dahulu
seusia Soleh ia begitu bangga sebagai pemulung sampah. Kebanggaan yang
dipaksa oleh keadaan kedua orang tuanya waktu itu yang setelah ia pikir saat
ini begitu mendoktrinnya. Pak Amat sadar karena sebab kemiskinanlah yang
membuat orang tuanya itu beranggapan bahwa hanya sampah yang bisa membuat
mereka makan. Sedangkan impian dan cita-citanya yang seringkali terbang
melayang hanyalah berupa angan-angan yang pada akhirnya jatuh di tempat
pembuangan itu, menjadi sampah yang diatasnya lalat-lalat mengerubunginya
sembari menari dan menyanyi tanpa henti.
Pak Amat merasa beruntung
memiliki Soleh satu-satunya walaupun ia tidak pernah mencicipi bangku
sekolah. Sikapnya yang terpuji sudah cukup membuat Pak Amat bangga sebagai
orang tua. Pak Amat merasa tidak sia-sia telah mengajarinya akhlak sedari
kecil hingga saat ini. Walaupun Pak Amat sendiri memahami akhlak hanya
sekedar mendengar dari seorang Ustad yang seringkali memberi tausiyah gratis
di Musholla dekat rumahnya. Nama Solehpun atas pemberian Ustad itu. Ustad
yang menurutnya sangat baik, karena tanpa dibayar ia rela dengan sabar dan
penuh ketulusan mengenalkan kebaikan agama kepada orang-orang seperti
dirinya. Orang-orang yang tidak mengenal Tuhan karena mereka tidak
mengetahuinya.
Adzan Dzuhur berkumandang
menandakan setengah perjalanan hari telah mereka lalui. Waktu tengah hari
seperti itu biasanya keranjang Soleh belum terisi penuh. Seperti hari-hari
sebelumnya Pak Amat menyuruh Soleh agar pulang lebih dulu, dan menyuruh
membantu Ibu di rumah.
Selama bulan puasa ini
Bapaknya selalu menyuruh ia pulang lebih dulu. lagi-lagi ia dibuat tidak
habis pikir engan perintah Bapaknya itu. Padahal kalau hari-hari biasa
-sebelum bunyi beduk masih belum terdengar dari Masjid besar yang tak jauh
dantampak megah dari tempat pembuangan itu- tidak ada alasan bagi Bapaknya
menyuruh ia pulang. Karena sang ibu tidak akanmembutuhkan bantuannya,
sebagaimana kesehariannya sang ibu melakukan pekerjaan seorang diri yang
biasanya ia mulai dengan bersih-bersih rumah, kemudian setelah itu memilih
barang-barang hasil pulungan yang tidak membutuhkan waktu yang lama. Barang
yang layak pakai disimpan untuk kebutuhan sendiri, dan selebihnya menunggu
Bapak pulang untuk dibawa ketengkulak agar ditukar menjadi rupiah. Sehabis
itu sang ibu memasak sesuai menu biasanya, serba biasa tidak ada yang bisa
diistimewakan sekalipun ini bulan puasa. Semua itu adalah pekerjaan rutin
ibunya sebagai ibu rumah tangga. Soleh tidak berani mengganggunya karena
kalau memaksa membantu ia pasti akan kena marah.
Entah kalau maksud
Bapaknya mungkin kasihan, takut-takut ia tidak kuat menahan lapar bepuasa
sambil bekerja. Tapi pikirnya sekali lagi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,
karena Ramadhan bagi Soleh sama halnya dengan bulan-bulan yang lain. Ia sudah
terbiasa menahan lapar, malah sering selama seharian ia hanya mengisi
perutnya dengan air yang membuatnya kembung. Atau syukur-syukur ada makanan
sampah yang menurutnya masih layak makan, ia bisa melahapnya untuk mengganjal
bunyi di perutnya. Jadi menurutnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena
ia sudah sangat terbiasa melakukan semua itu.
Atau mungkin keran
sebentar lagi lebaran?, mungkin sebagai orang tua Pak Amat ingin Soleh
menyambut lebaran tidak hanya secara batin saja, secara lahirpun Pak Amat
ingin ia seperti anak-anak lainnya. Sekalipun di setiap lebaran tidak pernah
ada baju baru dan rencana liburan kemana untuknya, tapi setidaknya Soleh
mempunyai mimpi yang sama seperti mereka. Mimpi-mimpi yang sama seperti Pak
Amat dulu yang tidak mampu ia beli, mimpi-mimpi yang senantiasa Pak Amat
berharap suatu saat nanti Soleh bisa merubah hidupnya menjadi lebih baik.
Lagi-lagi Soleh ingin
membantah dengan keras jika maksud Bapaknya berkeinginan seperti itu.
Walaupun ia sendiri tidak mampu menepis angan-angan untuk menjadi seperti
mereka, tapi keinginannya itu masih lebih besar dibanding kecintaannya
memulung sampah.
Karena hanya dengan
memulunglah ia merasakan kebahagiaan yang tiada tara, membantu Bapaknya yang
sudah tua, membntu sang ibu agar dapurnya senantiasa ngebul. Baginya sudah
lebih dari cukup, perasaan yang tidak bisa ia lukis menjadi sebuah karya,
tidak bisa ia ukir menjadi seduatu yang berharga, atau ia tulis menjadi baris
kata sehingga tercipta sebuah cerita. Perasaan itu terpatri dengan sendiri,
olahan hati yang sedemikian halus dari jiwa sebening embun hingga ia sendiri
tidak pernah bisa memahaminya.
Soleh akhirnya pulang
dengan memendam segalatanda tanya itu tanpa mampu ia jawab. Ia hanya yakin
kepada kedua orang tuanya sebagai satu-satunya orang yang dapat ia percaya di
dunia ini yang terasa sempit.
Perasaanitu masih terbawa
sesampainya di rumah. Ia taruh begitu saja keranjang sampah itu, kemudian ia
rebahkan tubuhnya di atas sofa yang isi di dalamnya sudah berganti beraneka
macam sampah, serta tambalan disana-sini yang dijahit sendiri. Sofa usang itu
bapaknya dapat sebagai imbalan karena telah mengembalikan dompet milik
seorang pengusaha pembuat sofa, yang ia temukan ketika memulung sampah. Tidak
hanya sofa, Bapaknya juga mendapatkan sejumlah uang yang cukup lumayan untuk
dibuat modal memperbaiki rumah. Walaupun bukan tembok tapi setidaknya dinding
dari kardus itu sudah diganti dengan anyaman bambu yang tidal lagi menjadi
beban pikiran ketika musim penghujan tiba.
Sekitar dua jam ia terbawa
lelap, sebelum dibangunkan ibunya untuk sholat dzuhur. Sambil menunggu adzan
ashar berkumandang Solehpun seperti biasa melanjutkan bacaan ayat-ayat Tuhan
sisa semalam, yang senantiasa menenteramkan hatinya.
######
Gema bersahutan suara
kemenangan, dengan lantunan keagungan Asma Tuhan serasa bulu kuduk berdiri.
Soleh merinding seperti ada hawa ghaib yang merasuki jiwanya untuk segera
membebaskan diri menyambut kemenangan ini. Iapun tersenyum menyambut kembali
kedatangan jiwa selama sebulan penuh bergerilya. Walaupun senyum itu ia
paksakan, dan akan terasa hambar ketika jiwa-jiwa sudah terbiasa bergerilya
menahan lapar mencari makan.
Tawa riuh anak-anak dengan
aneka bunyi-buyian. Percikan kembang api di sela-sela kegembiraan mereka
seakan menghapus sejenak keinginan dan cita-cita mereka yang harus mereka
tangisi dengan air mata darah. Soleh menatap mereka penuh keluguan. Asma
Tuhan, mereka dendangkan bak nyanyian ratapan tentang nasib yang kurang
beruntung.
Pak Amat tampak di
belakang anak-anak itu dengan langkah pelan. Soleh buru-buru menghampiri
Bapaknya itu, ia tidak tega melihatnya begitu lelah, kemudian iapun
menuntunnya sampai kerumah. Keranjang di punggungnya terlihat kosong, di
dalamnya hanya terisi bungkusan plastik.
Setelah meneguk segelas
air putih penawar lelah yang dibawakan sang istri, Pak Amat kemudian membuka
bungkusan itu dengan senyum mengembang. Sebuah baju koko dan sarung, lengkap
beserta peci putih.
"Ini
untukkamu..!!!!", kata Pak Amat kepada Soleh
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar