PENDAHULUAN
Selama tiga dasawarsa terakhir,
dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat.
Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid
dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921
SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang
Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar
300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri.
Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai
ketimpangan pendidikan di tengah-tengah
masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara
kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan,
b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar
Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan
juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem
pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pertama, pendidikan cenderung
menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya
mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge,
yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan
sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan
pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi
sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan
di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat?
Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita
bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang
bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan
tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada
penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah
usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak
realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Peranan Pendidikan:
Mitos atau Realitas?
Pembangunan merupakan proses yang
berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk
aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan
kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan
tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock, dalam Education
and Development: A Conflict Meaning (1992),
mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan
ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja
untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c)
untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan
dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi
pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma
Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa
keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup
penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut
pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan
merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan
keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam
proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara
pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan
lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa
investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate
of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam
bidang fisik.
Sejalan dengan paradigma Fungsional,
paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a)
mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan
kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki
kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh
karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas
secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma Fungsional dan paradigma
Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak
dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat
analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik.
Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan
dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan
atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian
menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah
direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan
yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS,
pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan.
Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan
serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai,
kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output,
telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input
dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental
input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka
akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang
dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia
pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya
bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu
asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek
pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung
tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak
pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik
yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan
pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko
pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu
menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan
pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus
diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang
bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi.
Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang
lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan
perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide
dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode
akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan
dilatih.
Sesuai dengan peran pendidikan
sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan
masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single
track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan
pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu
menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar
proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur
yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan
pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman selama ini
menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan
sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya
berjudul Education versus Qualifications menyatakan
pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan
munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan
vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang
muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem
persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya
lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan
pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus
dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam
pembangunan.
Penjelasan paradigma peranan
pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita
dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak
dapat diketemukan secara tepat dan pasti
bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan
individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi
produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan
teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan
kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang
cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process,
yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih
sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan
sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan
ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem
persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi
realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu,
kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan
perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan
politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of
growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan
tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan
ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok
masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan
sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan
produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya
dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan
produktivitas tidak selalu sering.
Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu
menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan
di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya
berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi
individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan
kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil
pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual
yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin
lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society:
An Historicaf Sosiology of Education and
Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak
mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih
tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan
keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di
dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai
lembaga pendidikan yang lebih canggih.
Paradigma Baru:
Pendidikan Sistemik-Organik
Pembaharuan pendidikan nasional
persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam
pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur
bangsa sendiri.
Paradigma peranan pendidikan dalam
pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan
oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan
pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan
kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini,
pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab
kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya
dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga
pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja
yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan
kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan
ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran pendidikan dalam
pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma
pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan
teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek,
peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari
suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau
dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar
kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam
sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan
berikutnya.
Paradigma pendidikan
Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan
harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada
proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2)
Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus
dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan
Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks.
Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa
mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia
kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta
didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan
sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka
kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain,
pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk
mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang
strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem
persekolahan.
Dengan double tracks
ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan
dan fleksibilitas yang tinggi untuk
menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang muncul di
masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi
tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya
kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk
memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan
teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia
tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai
bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki
keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan
proses yang berlangsung di dunia kerja.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab
I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem
pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan
Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi
pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. Perbandingan
dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili
oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili
oleh sistem pendidikan Jepang.
Tulisan kedua, membahas bagaimana
kualitas pendidikan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia
pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada
persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya
kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi
adalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan erat
berkaitan dengan keberhasilan
peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan dorongan dari
sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.
Sudah barang tentu, desentralisasi
yang memberikan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula
aktivitas pada level kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus
berubah; paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada
sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari
perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab 5, memmembahas bagaimana
perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.
Pada Bab 2 dibahas bagaimana
pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja
profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar
apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk
itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru
harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap
akan dapat melaksanakan tugas memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara
lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan
usaha para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi berbagai
arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun standar profesional
guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru
diarahkan pada sosok guru pada era globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena
guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard
profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan
dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat
kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan
tentang tantangan guru pada era globalisasi
yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi,
ekonomi, sosial, dan budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai
perubahan tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk
menghadapi berbagai perubahan.
Bab 3 menyajikan bahasan untuk
mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang
suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran,
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak
"pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang
berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun
dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa
pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas
globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya
bangsa harus pula memahami globalisasi yang dapat dikaji berdasarakan
perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan
yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang
mendasar adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan
pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru
dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal
yang mudah tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan
menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru
di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah
mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru
pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula tentang
bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa
kata hasil-hasil penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia
kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan
ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang,
ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi
keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk
mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model
diharapkan akan dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa
memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur
sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut memegang peran penting. Oleh
karena itu, dalam bab ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan
bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu,
kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik
semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang
utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana reformasi pendidikan
harus dilaksanakan.
2.1. Meningkatkan
Kualitas Guru
Setiap kali kita berada pada masa
akhir tahun ajaran sekolah perhatian masyarakat akan tertuju kepada betapa
rendahnya kualitas pendidikan sekolah menengah yang ditunjukkan dengan
rendahnya hasil nilai ebtanas murni (NEM). Rendahnya skor di atas akan senantiasa
dikaitkan dengan rendahnya mutu guru dan rendahnya kualitas pendidikan guru.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan sasaran sentral yang
dibenahi adalah kualitas guru dan kualitas pendidikan guru.
Berbagai
usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru telah dilaksanakan
dengan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan, misalnya diintroduksirnya proyek
perintis sekolah pembangunan, pengajaran dengan system modul, pendekatan
pengajaran CBSA, tetapi mengapa sampai detik ini usaha-usaha tersebut belum
juga menunjukkan hasilnya?
A. Mengabaikan guru
Sudah banyak usaha-usaha yang
dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya kualitas guru
dan pendidikan guru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun patut disayangkan
usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan guru tersebut
dilaksanakan berdasarkan pandangan dari "luar kalangan guru ataupun luar
pendidikan guru". Terlalu banyak kebijaksanaan di bidang pendidikan yang
bersifat teknis diambil dengan sama sekali tidak mendengarkan suara guru.
Pengambilan keputusan yang menyangkut guru di atas seakan-akan melecehkan guru
sebagai seseorang yang memiliki "kepribadian".
Sebagai contoh yang masih hangat
adalah diintroduksirnya pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif dalam proses
belajar mengajar. Keyakinan para pengambil kebijaksanaan atas kehebatan CBSA
telah mendorong dikeluarkannya penetapan keharusan guru untuk menggunakan
pendekatan tersebut dalam proses belajar mengajar. Barangkali keyakinan ini tidak
hanya bersifat teoritis, tetapi juga berdasarkan hasil-hasil penelitian. Namun
sayangnya penetitian-penelitian yang menyangkut proses belajar mengajar di
kelas selama ini lebih banyak bersifat informatif sehingga jauh dari memadai
dikarenakan penelitian tersebut melihat pengajaran pandangan "luar
guru".
Pengambil kebijaksanaan di bidang
pendidikan tidak pernah menghayati apa dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi
di ruang-ruang kelas. Misalnya, dampak jumlah murid yang besar, keberanian
murid untuk menyampaikan gagasan rendah, motivasi lebih terarah untuk belajar
guna menghadapi tes daripada belajar untuk memahami pelajaran yang disampaikan
guru, target materi pelajaran yang begitu berat bagi seorang guru, dan
sebagainya. Kalau hal-hal tersebut mendapat perhatian niscaya kebijaksanaan
yang berkaitan dengan pendekatan pengajaran bisa lain, paling tidak untuk
sementara waktu.
Patut disimak misalnya pertanyaan
yang diajukan oleh guru-guru: "Mengapa kita tidak dilatih saja bagaimana
cara mengajar dengan ceramah yang paling tepat dan baik, dari pada diharuskan
mengajar dengan CBSA? Seharusnya sesudah bisa melaksanakan pengajaran dengan
metode ceramah yang benar baru kita belajar metode yang lain".
Tersendat-sendatnya pelaksanaan CBSA
dewasa ini merupakan bukti bahwa setiap kebijaksanaan di bidang pendidikan,
apalagi pengajaran di kelas, yang meninggalkan pandangan guru sebagai orang
yang paling tahu keadaan kelas cenderung mengalami kegagalan, sebab
"pandangan guru" sangat diperlukan dalam setiap usaha peningkatan
kualitas hasil pendidikan.
B. Mentalitas dan vitalitas
Ada tiga
kegiatan penting yang diperlukan oleh guru untuk bisa meningkatkan kualitasnya
sehingga bisa terus menanjak pangkatnya sampai jenjang kepangkatan tertinggi.
Pertama para guru harus memperbanyak tukar pikiran tentang hal-hal yang
berkaitan dengan pengalaman mengembangkan materi pelajaran dan berinteraksi
dengan peserta didik. Tukar pikiran tersebut bisa dilaksanakan dalam perternuan
guru sejenis di sanggar kerja guru, ataupun dalam seminar-seminar yang
berkaitan dengan hal itu. Kegiatan ilmiah ini hendaknya selalu mengangkat topik
pembicaraan yang bersifat aplikatif. Artinya, hasil pertemuan bisa digunakan
secara langsung untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Hanya
perlu dicatat, dalam kegiatan ilmiah semacam itu hendaknya faktor-faktor yang
bersifat struktural administrative harus disingkirkan jauh-jauh. Misalnya,
tidak perlu yang memimpin pertemuan harus kepala sekolah.
Kedua, akan lebih baik kalau apa yang
dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah yang dihadiri para guru adalah
merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para guru sendiri. Dengan
demikian guru harus melakukan penelitian. Untuk ini perlulah anggapan sementara
ini bahwa penelitian hanya dapat dilakukan oleh para akademisi yang bekerja di
perguruan tinggi atau oleh para peneliti di lembaga-lembaga penelitian harus
dibuang jauh-jauh. Justru sekarang ini perlu diyakini pada semua fihak bahwa
hasil-hasil penelitian-penelitian tentang apa yang terjadi di kelas dan di
sekolah yang dilakukan oleh para guru adalah sangat penting untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Sebab para gurulah yang nyata-nyata memahami dan
manghayati apa yang terjadi di sekolah, khususnya di kelas.
Masih terlalu banyak masalah-masalah
yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di kelas yang sampai saat ini
belum terpecahkan dan perlu untuk dipecahkan. Misalnya, langkah-langkah apa
harus dilaksanakan untuk menghadapi murid yang malas atau mempunyai jati diri yang
rendah atau pemalu di kelas. Bagaimana mendorong peserta didik agar mempunyai
motivasi untuk membaca. Bagaimana cara menanggulangi peserta didik yang
senantiasa mengganggu temannya. Masalah-masalah di atas jarang diteliti,
kalaupun pernah diteliti maka pendekatannya terlalu teoritis akademis sehingga
tidak dapat diterapkan dalam praktek proses belajar mengajar sesungguhnya.
Ketiga, guru harus membiasakan diri
untuk mengkomunikasikan hasil penelitian yang dilakukan, khususnya lewat media
cetak. Untuk itu tidak ada alternatif lain bagi guru meningkatkan kemampuan
dalam menulis laporan penelitian.
C. Peran PGRI
Sebagai suatu organisasi professi
guru yang memiliki anggota lebih dari dua juta, PGRI secara moral mempunyai
tanggung jawab untuk mendorong dan memberikan agar para guru bisa melaksanakan
tiga kegiatan di atas. PGRI bias memperbanyak pertemuan-pertemuan ilmiah,
menerbitkan pedoman-pedoman penelitian yang dapat cepat dicerna guru,
menerbitkan jurnal-jumal sebagai media komunikasi ilmiah para anggota, dan
melaksanakan lomba penelitian atau karya tulis yang lain. Untuk itu, kiranya
PGRI perlu lebih meningkatkan kualitas tubuhnya sendiri.
.2. Standar
Profesional Guru
Dalam usaha peningkatan kualitas
pendidikan disadari satu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan
mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, yang memiliki
kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan di masa
depan.
Dalam kaitan mempersiapkan guru yang
berkualitas dimasa depan, dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini dihadapkan
pada persoalan bagaimana meningkatkan kualitas sekitar 2 juta guru yang
sekarang ini sudah bertugas di ruang-ruang kelas.
A. Kualitas dan karir
Pada dasarnya peningkatan kualitas
diri seseorang harus menjadi tanggung jawab diri pribadi. Oleh karenanya usaha
peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan
adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan
kualitas kerja sebagai pengajar profesional.
Kesadaran
ini akan timbul dan berkembang sejalan dengan kemungkinan pengembangan karir
mereka. Oleh karena itu pengembangan kualitas guru harus dikaitkan dengan
perkembangan karir guru sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta. Gambaran
yang ideal adalah bahwa pendapatan dan karir, dalam hal ini jenjang jabatan dan
kepangkatan merupakan hasil dari peningkatan kualitas seseorang selaku guru.
Urutan proses di atas menunjukkan
bahwa jenjang kepangkatan dan jabatan yang tinggi hanya bisa dicapai oleh guru
yang memiliki kualitas profesional yang memadai. Sudah barang tentu alur pikir
tersebut didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan jenjang kepangkatan dan
jabatan guru berjalan seiring dengan peningkatan pendapatannya.
Proses dari timbulnya kesadaran
untuk meningkatkan kemampuan profesional di kalangan guru, timbulnya kesempatan
dan usaha, meningkatnya kualitas profesional sampai tercapainya jenjang
kepangkatan dan jabatan yang tinggi memerlukan iklim yang memungkinkan
berlangsungnya proses di atas. Iklim yang kondusif hanya akan muncul apabila di
kalangan guru timbul hubungan kesejawatan yang baik, harmonis, dan obyektif.
Hubungan tersebut bisa dimunculkan antara lain lewat kegiatan profesional
kesejawatan.
Dengan demikian, untuk pembinaan dan
peningkatan profesional guru perlu dikembangkan kegiatan professional
kesejawatan yang baik, harmonis, dan obyektif. Secara sistematis pengembangan
kesejawatan ini memerlukan:
a.
wadah /kelembagaan
b.
bentuk kegiatan,
c.
mekanisme,
d.
standard professional practice.
B. Wadah dan kelembagaan
Wadah dan kelembagaan untuk
pengembangan kesejawatan adalah kelompok yang merupakan organ bersifat
non-struktural dan lebih bersifat informal. Wadah ini dikembangkan berdasarkan
bidang studi atau rumpun bidang studi pada masing-masing sekolah. Anggota yang
memiliki kepangkatan tertinggi dalam setiap rumpun diharapkan bisa berfungsi
sebagai pembimbing.
Kalau ada anggota memiliki
kepangkatan yang sama, maka diharapkan secara bergiliran salah satu darinya
berfungsi sebagai pembimbing anggota yang lain. Dengan bentuk wadah dan
kelembagaan semacam ini maka di setiap sekolah akan terdapat lebih dari satu
kelompok.
Keberadaan kelompok akan memungkinkan
para guru untuk bisa tukar fikiran dengan rekan sejawat mengenai hal ikhwal
yang berkaitan interaksi guru dengan para siswa. Bagi seorang pekerja
profesional, termasuk guru, komunikasi kesejawatan tentang profesi yang
ditekuni sangatlah penting. Namun sayangnya, justru komunikasi kesejawatan
inilah yang belum ada di kalangan profesi guru di tanah air kita.
C. Asah, asuh, asih
Kelompok yang dibentuk merupakan
wadah kegiatan di mana antara anggota sejawat bisa saling asah, asuh dan asih
untuk meningkatkan kualitas diri masing-masing khususnya dan mencapai kualitas
sekolah serta pendidikan pada urnumnya.
Asah artinya satu dengan anggota
sejawat yang lain saling membantu untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.
Asuh berarti di antara anggota kesejawatan saling membimbing dengan tulus dan
ikhlas untuk peningkatan kemampuan profesional dan asih berarti di antara
anggota kesejawatan terdapat hubungan kekeluargaan yang akrab.
Oleh karena itu kelompok yang
beranggotakan para guru suatu bidang studi sejenis harus menitik-beratkan pada
aktifitas profesional.
Secara terperinci kegiatan kelompok
ditujukan untuk:
1.
Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan
proses belajar mengajar.
Kegiatan
yang dilaksanakan antara lain :
a. Diskusi
tentang satuan pelajaran.
b. Diskusi
tentang substansi meteri pelajaran.
c. Diskusi
pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi pengajaran.
d. Melaksanakan
observasi aktivitas rekan sejawat di kelas.
e. Mengembangkan
evaluasi penampilan guru oleh peserta didik.
f. Mengkaji
hasil evaluasi penampilan guru oleh peserta didik sebagai feedback bagi anggota
kelompok.
2.
Meningkatkan penguasaan dan pengembangan keilmuan,
khususnya bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya. Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain :
a. Kajian jurnal dan buku baru.
b. Mengikuti jalur pendidikan
formal yang lebih tinggi.
c. Mengikuti seminar-seminar
dan penataran-penataran.
d. Menyampaikan pengalaman
penataran dan seminar kepada anggota kelompok.
e. Melaksanakan penelitian.
3.
Meningkatkan kemampuan untuk mengkomunikasikan masalah
akademis.
Kegiatan yang dilaksanakan antara
lain:
a. Menulis artikel.
b. Menyusun laporan penelitian.
c. Menyusun makalah.
d. enyusun laporan dan review
buku.
D. Mekanisme
Kegiatan kelompok dilaksanakan
secara rutin dan berkesinambungan. Sebagaimana konsep asah, asuh dan asih, maka
setiap anggota kelompok memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam
setiap kegiatan tanpa memandang jenjang kepangkatan, jabatan dan gelar akademik
yang disandangnya. Secara bergiliran setiap anggota melaksanakan kegiatan
sebagaimana disebutkan di atas.
Input, feedback,
komentar dan saran-saran sejawat atas penampilan salah seorang anggota kelompok
kesejawatan diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan sesuai dengan
kebutuhan. Untuk hasil observasi kelas, misalnya kelompok kesejawatan mungkin
bisa mengembangkan format observasi bisa dilaksanakan secara sistematis,
objektif dan rasional, sehingga anggota yang diobservasi bisa memperoleh input
tertulis di samping juga input lisan.
Secara periodik ketua-ketua kelompok
kesejawatan di setiap bidang studi di sekolah bisa mengadakan diskusi atau
pertemuan guna membahas kemajuan dan perkembangan kelompok masing-masing.
E. Standar Profesional Guru
Pada dasarnya kelompok yang
diuraikan di atas adalah merupakan wadah aktifitas profesional untuk
meningkatkan kemampuan profesional guru. Aktifitas yang dimaksudkan ini tidak
bersifat searah, melainkan bersifat multiarah. Artinya, aktifitas yang
dilaksanakan bersifat komprehensif dan total yang mencakup presentasi,
observasi, penilaian, kritik, tanggapan, saran, dan bimbingan.
Untuk menjamin bahwa kegiatan
kelompok bisa berlangsung dengan baik, sehingga dapat diujudkan hubungan timbal
balik kesejawatan yang obyektif bebas dari rasa rikuh, pekewuh dan
sentimen perlu dikembangkan suatu norma kriteria yang obyektif sebagai dasar
untuk saling memberikan penilaian terhadap karya dan penampilan sejawat.
Akan lebih baik kalau norma dan
kriteria ini harus dikembangkan oleh masing-masing kelompok kesejawatan itu
sendiri. Sudah barang tentu pengembangan norma dan kriteria kesejawatan ini
berdasarkan acuan kerangka teoritis dan praktis yang bisa dikaji. Misalnya norma
dan kriteria untuk menilai proses belajar mengajar yang baik bisa dikembangkan
berdasarkan "kerangka perilaku" guru yang baik.
2.3. Profil
Guru Masa Depan
Pendidikan merupakan suatu rekayasa
untuk mengendalikan learning guna mencapai tujuan yang direncanakan
secara efektif dan efisien. Dalam proses rekayasa ini peranan "teaching"
amat penting, karena merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk
mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai kepada siswa sehingga apa yang
ditransfer memiliki makna bagi diri sendiri, dan berguna tidak saja bagi
dirinya tetapi juga bagi masyarakatnya.
Mengajar hanya dapat dilakukan
dengan baik dan benar oleh seseorang yang telah melewati pendidikan tertentu
yang memang dirancang untuk mempersiapkan guru. Dengan kata lain, mengajar
merupakan suatu profesi. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat, muncul dua kecenderungan: Pertama, proses mengajar menjadi sesuatu
kegiatan yang semakin bervariasi, kompleks, dan rumit. Kedua, ada kecenderungan
pemegang otoritas structural, ingin memaksakan kepada guru untuk mempergunakan
suatu cara mengajar yang kompleks dan sulit. Sebagai akibat munculnya dua
kecenderungan di atas, maka guru dituntut untuk menguasai berbagai metode
mengajar dan diharuskan menggunakan metode tersebut. Misalnya, mengharuskan
mengajar dengan CBSA. Untuk itu, guru harus dilatih dengan berbagai metode dan
perilaku mengajar yang dianggap canggih. Demikian pula, di lembaga pendidikan
guru, para mahasiswa diharuskan menempuh berbagai mata kuliah yang berkaitan
dengan mengajar. Namun sejauh ini perkembangan mengajar yang semakin kompleks
dan rumit belum memberikan dampak terhadap mutu siswa secara signifikan.
Tidaklah mengherankan kalau kemudian muncul pertanyaan mengapa mengajar menjadi
sedemikan kompleks dan rumit?
A. Profesi mengaiar
Pekerjaan profesional dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori: Hard profession dan Soft
Profession. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard profession
apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah
yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini
adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat distandarisasikan.
Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun pendidikan itu berlangsung.
Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan
tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan
dokter dan pilot merupakan contoh yang tepat untuk mewakili kategori hard
profession. Sebaliknya, kategori soft profession adalah
diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri pekerjaan
tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab, langkah-langkah
dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi dan situasi
tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak menuntut pendidikan yang
dapat menghasilkan lululsan dengan standar tertentu melainkan menuntut lulusan
dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini dari waktu ke waktu harus
ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service framing
bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan dan advokat,
merupakan contoh dari kategori profesi ini.
Mengajar merupakan suatu seni untuk
mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang diarahkan oleh
nilai-nilai pendidikan, kebutuhan-kebutuhan individu siswa, kondisi lingkungan,
dan keyakinan yang dimiliki oleh guru. Dalam proses belajar mengajar, guru adalah
orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang
menarik, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas norma-norma
yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model
bagi para siswa. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembangan
masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati
batasbatas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Dalammelaksanakan tugas tersebut guru akan dihadapkan pada perbagai problem
yang muncul dan sebagian besar problem tersebut harus segera dipecahkan serta
diputuskan pemecahannya oteh guru itu sendiri pada waktu itu pula. Sebagai
konsekuensinya, yang akan dan harus dilakukan oleh guru tidak mungkin dapat
dirumuskan dalam suatu prosedur yang baku.
Agar transfer tersebut dapat
berlangsung dengan lancar, maka guru paling tidak harus senantiasa melakukan
tiga hal: a) menggerakkan, membangkitkan dan menggabungkan seluruh kemampuan
yang dimiliki siswa; b) menjadikan apa yang ditransfer menjadi sesuatu yang
menantang diri siswa, sehingga muncul intrinsic-motivation untuk
mempelajarinya; dan, c) mengkaji secara mendalam materi yang ditransfer
sehingga menimbulkan keterkaitan dengan pengetahuan yang lain.
Profesi guru adalah lebih cocok
dikategorikan sebagai Soft Profession. Karena dalam mengajar guru
dapat melaksanakan dengan berbagai cara yang tidak harus mengikuti suatu
prosedur baku, dan aspek dan "sense" dan "art"
memegang peran yang amat penting. Misalnya, mungkin saja seorang guru mengajar
dengan menyajikan kesimpulan pada awal pelajaran yang kemudian baru
dilaksanakan pembahasan. Pada kesempatan lain, ia mengajar dengan menyampaikan
bahasan dulu baru menarik kesimpulan. Kalau dokter membedah dahulu baru
kemudian membius berarti dokter tersebut melakukan malpraktek, dan pasti akan
menghasilkan kecelakaan.
Namun, dewasa ini pekerjaan mengajar
diperlakukan sebagai hard profession, sehingga mengajar menjadi
suatu proses yang sedemikian kompleks. Sebagai konsekuensinya, maka perlu
disusun suatu prosedur perilaku baku dalam mengajar. Secara sadar atau tidak,
proses pembakuan prosedur mengajar ini mematikan kreativitas guru. Akibat lebih
jauh adalah pekerjaan mengajar bersifat inhuman, diperlakukan sebagai suatu
bagian dalam proses industri, yang dapat dikendalikan dan diatur dengan
serangkaian Juklak dan Juknis. Kematian kreativitas guru sebagai suatu
kehilangan yang patut ditangisi. Sebab, kreativitas adalah merupakan
"ruh" dalam proses belajar mengajar.
B. Dimensi mengajar
Proses transfer pengetahuan atau
sering dikenal dengan istilah Proses Belajar Mengajar (PBM) memiliki dua
dimensi. Pertama adalah aspek kegiatan siswa: Apakah kegiatan yang dilakukan
siswa bersifat individual atau bersifat kelompok. Kedua, aspek orientasi guru
atas kegiatan siswa: Apakah difokuskan pada individu atau kelompok. Berdasarkan
dua dimensi yang masing-masing memiliki dua kutub tersebut terdapat empat model
pelaksanaan PBM. Pertama, apa yang disebut Self-Study. Yakni, kegiatan siswa
dilaksanakan secara individual dan orientasi guru dalam mengajar juga bersifat
individu. Model pertama ini memusatkan perhatian pada diri siswa. Agar siswa
dapat memusatkan perhatian perlu diarahkan oleh dirinya sendiri dan bantuan dari luar, yakni guru. Siswa harus dapat
mengintegrasikan pengetahuan yang baru diterima ke dalam pengetahuan yang telah
dimiliki. Untuk pelaksanaan model Self-Study ini perlu didukung dengan
peralatan teknologi, seperti komputer. Keberhasilan model ini ditentukan
terutama oleh kesadaran dan tanggung jawab pada diri sendiri.
Kedua, apa yang dikenal dengan
istilah cara mengajar tradisional. Model ini memiliki aktivitas siswa bersifat
individual dan orientasi guru mengarah pada kelompok. Pada model ini kegiatan
utama siswa adalah mendengar dan mencatat apa yang diceramahkan guru. Seberapa
jauh siswa dapat mendengar apa yang diceramahkan guru tergantung pada ritme
guru membawakan ceramah itu sendiri. Siswa akan dapat mengintegrasikan apa yang
didengar ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki apabila siswa dapat
mengkaitkan pengetahuan dengan apa yang diingat. Model ini sangat sederhana,
tidak memerlukan dukungan teknologi, cukup papan tulis dan kapur. Keberhasilan
model ini banyak ditentukan oleh otoritas guru.
Ketiga, apa yang disebut model
Persaingan. Model ini memiliki aktivitas yang bersifat kelompok, tetapi
orientasi guru bersifat individu. Model ini menekankan partisipasi siswa dalam
kegiatan PBM, semua siswa harus aktif dalam kegiatan kelompok tersebut.
Seberapa jauh siswa dapat berpartisipasi dalam kegiatan akan ditentukan oteh
seberapa jauh kegiatan memiliki kebebasan dan dapat membangkitkan semangat
kompetisi. Pengetahuan yang diperoleh dan dapat dihayati merupakan hasil
diskusi dengan temannya. Model ini memerlukan teknologi baik berupa alat
ataupun berupa manajemen seperti bentuk konferensi dan seminar. Keberhasilan
model ini terutama ditentukan oleh adanya saling hormat dan saling mempercayai
di antara siswa. CBSA, merupakan salah satu contohnya.
Keempat, apa yang dikenal dengan
istilah Model Cooperative-Collaborcitive. Model ini memiliki
aktivitas siswa yang bersifat kelompok dan orientasi guru juga bersifat
kelompok. Model ini menekankan kerjasama di antara para siswa, khususnya.
Kegiatan siswa di arahkan untuk mencapai tujuan bersama yang telah merupakan
konsensus di antara mereka. Konsensus ini didasarkan pada nilai-nilai yang
dihayati bersama. Oleh karena itu, dalam kelompok akan senantiasa dikembangkan
pengambilan keputusan. Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan
kerjasama di antara para siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di
samping tujuan bersama yang akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam
pembelajaran ini juga di arahkan untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di
antara para siswa. Dengan pendekatan ini, guru tidak selalu memberikan
tugas-tugas secara individual, melainkan secara kelompok. Bahkan penentuan
hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip kelompok. Artinya, hasil individu
siswa tidak hanya didasarkan kemampuan masing-masing, tetapi juga dilihat
berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan demikian, siswa yang pandai akan
menjadi tutor membantu siswa yang kurang pandai demi prestasi kelompok sebagai
satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya bertanggung jawab atas kemajuan dan
keberhasilan dirinya, tetapi juga bertanggung jawab atas keberhasilan dan
kemajuan kelompoknya.
Keempat model tersebut tidak ada
yang lebih baik satu atas yang lain. Sebab modal mengajar yang baik adalah
model mengajar yang cocok dengan karakteristik materi, kondisi siswa, kondisi
lingkungan dan kondisi fasilitas. Di samping itu pula, di antara keempat model
tersebut tidaklah bersifat saling meniadakan. Artinya, sangat mungkin dalam
mengajar memadukan berbagai model tersebut di atas.
Keempat model tersebut pada intinya
menekankan bahwa dalam proses belajar mengajar apa yang dilaksanakan memiliki
empat aspek, yakni: a) menyampaikan informasi, b) memotivasi siswa, c)
mengkontrol kelas, dan, d) merubah social arrangement.
C. Kemampuan yang dibutuhkan
Agar dapat melaksanakan empat
langkah tersebut di atas, guru hanya memerlukan tiga kemampuan dasar, yakni a)
didaktik, yakni kemampuan untuk menyampaikan sesuatu secara oral atau ceramah,
yang dibantu dengan buku teks, demontrasi, tes, dan alat bantu tradisional
lain; b) coaching, di mana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berlatih dan mempraktikan keterampilannya, mengamati sejauh mana siswa mampu
mempraktekkan keterampilan tersebut, serta segera memberikan umpan balik atas
apa yang dilakukan siswa; dan, c) socratic atau mauitic question,
di mana guru menggunakan pertanyaan pengarah untuk membantu siswa mengembangkan
pandangan dan internalisasi terhadap materi yang dipelajari. Tanpa menguasai
tiga kemampuan dasar tersebut, ibaratnya pemain sepakbola yang tidak memiliki
kemampuan dasar bermain bola, seperti bagaimana menendang atau heading
yang baik dan benar, betapapun dididik dengan gaya samba Brazil atau gerendel
Italia tetap saja tidak akan dapat memenangkan pertandingan. Demikian pula
untuk guru, tanpa memiliki tiga kemampuan dasar tersebut, betapapun para guru
dilatih berbagai metode mengajar yang canggih tetap saja prestasi siswa tidak
dapat ditingkatkan. Sebaliknya, dengan menguasai tiga kemampuan dasar tersebut,
metode mengajar apapun akan dapat dilaksananakan dengan mudah oleh yang
bersangkutan. Sudah barang tentu apabila guru telah menguasai dengan baik
materi yang akan disampaikan.
Sudah saatnya posisi mengajar
diletakan kembali pada profesi yang tepat, yakni sebagai soft profession,
di mana unsur art dan sense memegang peran yang amat penting. Oleh karena itu,
untuk pembinaan dan pengembangan profesional kemampuan guru yang diperlukan
bukannya instruksi, juklak dan juknis serta berbagai pedoman lain, yang cenderung akan mematikan kreativitas
guru. Melainkan, memperbaiki dan meningkatkan tiga kemampuan dasar yang harus
dimiliki guru sebagaimana tersebut di atas, serta memberikan kebebasan kepada
guru untuk berinovasi dalam melaksanaakan proses belajar mengajar.
.4. Globalisasi
dan Tuntutan Peningkatan Kualitas Guru
Globalisasi merupakan suatu
keniscayaan bagi semua bangsa. Bangsa Indonesia sudah mulai merasakan bagaimana
manis dan pahitnya terbawa arus globalisasi. Gerakan reformasi yang berhasil
menumbangkan rezim Soeharto tidak lepas dari berkah reformasi. Sebaliknya,
merebaknya kejahatan dan pornografi, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari rasa
pahit globalisasi. Globalisasi akan membawa perubahan yang mencakup hampir
semua aspek kehidupan, termasuk bidang teknologi, ekonomi dan sosial politik.
A. Kecenderungan perkembangan
teknologi
Perkembangan teknologi pada akhir
abad XX ini berlangsung sangat cepat, terutama bertumpu pada tiga bidang:
bio-teknologi, material science atau teknologi bahan dan
teknologi Elektronika dan Komputer. Perkembangan bio-teknologi telah
mempengaruhi berbagai jenis produk, seperti bidang kesehatan dan obat-obatan
dan bahan makan. Temuan-temuan bio-teknologi akan menghasilkan berbagai produk
sinthesis. Di bidang ilmu bahan, telah memungkinkan diciptakannya berbagai
bahan konstruksi yang tidak perlu merusak lingkungan, karena bukan barang
tambang. Temuan yang akan memiliki dampak tidak kalah pentingnya adalah di
bidang elektronika. Temuan di bidang ini melahirkan berbagai produk teknologi
komunikasi, robot, dan laser.
Kemajuan di bidang teknologi
komunikasi memungkinkan transaksi business lewat kaca komputer,
sedangkan pengembangan robot memungkinkan lahirnya tenaga kerja robot untuk
dunia industri. Kecermatan dan disiplin kerja robot sudah barang tentu akan
melebihi kemampuan tenaga kerja manusia. Perkembangan bidang komputer telah
memungkinkan dimanfaatkan dalam berbagai produk, seperti pilot automatics
pada pesawat terbang, menjadikan rancang bangun produk semakin cepat dan
cermat, memudahkan pelayanan jasa transportasi dan berbankan. Temuan-temuan di
produk laser menghasilkan kemajuan di bidang
ilmu kedokteran. Berbagai operasi akan dapat dilaksanakan dengan
memanfaatkan sinar laser. Perkembangan laser juga merupakan fondasi untuk
perkembangan teknologi komunikasi lebih lanjut.
Temuan-temuan bidang teknologi akan
terus berkembang karena adanya sifat saling mengkait antara temuan satu dengan
temuan yang lain. Temuan di bidang bio-teknologi dikombinasikan dengan bidang material
science akan mampu menghasilkan "bahan yang canggih". Bahan ini
dikembangkan pada level "moleculer". Hasilnya, produk
bahan baru ini akan lebih ringan, lebih
kecil, lebih kuat dan lebih fleksibel, sehingga dapat digunakan sebagaimana
yang diinginkan. Kombinasi ternuan bio-teknologi dan material science
juga akan mempercepat perkembangan bidang komputer, dengan diketemukannya,
produk sumber padat energi tinggi. Produksi-produksi elektronika memerlukan
energi. Tanpa diketemukan produk sumber energi, pekembangan produk elekttronika
akan terhambat. Sebaliknya, ternuan produk sumber energi yang lebih padat dan
lebih tinggi kekuatannya, maka perkembangan produksi elektronika akan semakin
meningkat. Temuan chip komputer akan memungkinkan seseorang membawa komputer
dalam saku bajunya. Komputer tersebut sangat interaktif dan wireless.
Multi fungsi terdapat dalam komputer, sebagai alat telepon, fax dan penyimpan
data. Di samping itu, perkembangan industri komputer akan melahirkan "Edutainment",
yakni pendidikan yang menjadi hiburan dan hiburan yang merupakan pendidikan.
Dengan "Edutainment" proses pendidikan akan semakin menarik
dan menghasilkan lulusan yang semakin berkualitas.
B.
Kecenderungan perkembangan bidang ekonomi.
Keberhasilan revolusi di bidang
pertanian pada akhir abad XX telah mengurangi ketergantungan bangsa-bangsa Asia
akan bahan makan dari luar negeri dan bahkan pada awal abad XXI ketergantungan
tersebut akan dapat dihilangkan sama sekali. Sudah barang tentu hai ini akan
meningkatkan kemampuan ekonomi nasional, khususnya neraca pembayaran.
Seiring dengan proses revolusi
hijau, bangsa-bangsa di Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara telah
memulai proses industrialisasi. Di penghujung abad XX dan memasuki abad XXI,
bangsa-bangsa di Asia sedang mempercepat revolusi industri dalam jangka waktu
50 tahun yang di negaranegara Barat revolusi ini berlangsung selama 200 tahun.
Pada awal abad XXI enam dari sepuluh besar negara-negara dengan GDP tertinggi
akan diduduki oleh negara-negara di Asia: China, Jepang, India, Indonesia,
Korea Selatan, dan Thailand. Pertumbuhan pesat yang mungkin dapat
disebutsebagai keajaiban ataupun keanehan, disebabkan oleh; a) kemampuan dalam
mengelola sumber daya manusia, b) kerja keras penduduknya, baik dari kalangan
buruh, pengusaha, ataupun pejabat pemerintah, c) orientasi achievement
ekonomi di kalangan politikus, dan, d) kemampuan memobilisasi investasi. Pada
tahun-tahun mendatang, pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia akan
berlangsung sekitar 6 sampai dengan 10 persen per tahun, sebaliknya
negara-negara lain hanya mampu tumbuh rata-rata sekitar 2 persen. Kecenderungan
pertumbuhan ini merupakan daya tarik bagi para penanam modal asing. Sifat
spiralitas akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia tersebut di
atas akan semakin tinggi.
Perkembangan
bidang bio-teknologi akan berdampak pada bidang ekonomi. Kemajuan teknologi
akan meningkatkan kemampuan produktivitas dunia industri baik dari aspek
teknologi industri maupun pada aspek jenis produksi. Investasi dan reinvestasi
yang berlangsung secara besar-besaran yang akan semakin meningkatkan
produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak perkembangan teknologi di
dunia industri akan semakin penting. Tanda-tanda telah menunjukkan bahwa akan
segera muncul teknologi bisnis yang memungkinkan konsumen secara individual
melakukan kontak langsung dengan pabrik sehingga pelayanan dapat dilaksanakan
secara langsung dan selera individu dapat dipenuhi, dan yang lebih penting
konsumen tidak perlu pergi ke toko. Namun, di sisi lain kemajuan di bidang
teknologi menyebabkan juga dunia industri tidak memerlukan tenaga kerja
sebanyak pada masa sebelumnya. Hasilnya, penyerapan tenaga kerja tidak
sebagaimana yang diharapkan.
Kecenderungan perkembangan teknologi
dan ekonomi, akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan kualifikasi tenaga
kerja yang diperlukan. Kualifikasi tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan akan mengalami perubahan yang cepat. Akibatnya, pendidikan yang
diperlukan adalah pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja yang mampu
mentransformasikan pengetahuan dan skill sesuai dengan tuntutan
kebutuhan tenaga kerja yang berubah tersebut.
C.
Kecenderungan perkembangan bidang sosial politik
Kemajuan di bidang teknologi yang
diiringi dengan kemajuan di bidang ekonomi memiliki dampak sosio-politik dan
kultural masyarakat. Kemajuan teknologi di bidang kedokteran dan kemajauan
ekonomi mampu menjadikan produk kedokteran menjadi komoditi, dan akan
menyebabkan perubahan besar di bidang demografi.
Angkatan kerja muda di Indonesia dan
di negara-negara Asia pada urnumnya mendominasi bagian penduduk. Mereka
menguasai pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengoperasikan teknologi
yang modern. Hal ini merupakan hasil dari keberhasilan di bidang pendidikan
yang dapat memberikan kesempatan penduduk usia sekolah untuk mengikuti
pendidikan formal. Angka partisipasi pendidikan di kawasan Asia sangat tinggi.
Di bidang kesehatan kemajuan yang dicapai tidak kalah dengan bidang pendidikan.
Perluasan fasilitas kesehatan sudah sampai pelosok desa, sehingga tingkat
kesehatan penduduk meningkat, di samping angka pertumbuhan penduduk dan
kematian bayi dan anak merosot tajam. Dibandingkan dengan negara-negara Asia
lain, angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi. Tetapi, diramalkan
pada awal abad XXI angka tersebut turun dengan drastis. Dengan nutrisi dan
kesehatan yang semakin baik, tenaga kerja Indonesia akan semakin mampu bersaing
di pasar internasional, mampu memanfaatkan sistem ekonomi dan politik modern,
dan menjadi tentara yang mampu mengoperasionalkan persenjataan canggih.
Stabilitas politik telah dinikmati
oleh sebagian besar negara-negara Asia, khususnya di Asia Timur dan Tenggara,
dan lebih khusus lagi di Indonesia. Sistem pemerintahan di negara-negara sering
disebut "soft authoritarian", di mana hak-hak asasi,
perumahan, makan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan jaminan
keselamatan dapat dipenuhi, tetapi kebebasan politik dibatasi. Memang, beberapa
negara di Asia masih melaksanakan pemerintahan yang bersifat otoriter, seperti
Myanmar.
Pertumbuhan teknologi dan ekonomi di
kawasan ini akan mendorong munculnya kelas menengah baru. Kemampuan,
keterampilan serta gaya hidup mereka sudah tidak banyak berbeda dengan kelas
menengah di negara-negera Barat. Dapat diramalkan, kelas menengah baru ini akan
menjadi pelopor untuk menuntut kebebasan politik dan kebebasan berpendapat yang
lebih besar.
Perubahan politik di negara-negara
Asia, ditunjukkan oleh adanya proses regenerasi kepemimpinan. Kepemimpinan
generasi pertama negara-negara Asia modern, seperti Sukarno dan Nehru, sudah
diganti dengan generasi kedua atau bahkan generasi ketiga. Seperti di Jepang
dari generasi Yoshida, sudah diganti dengan generasi kedua, Kiichi Miyazawa dan
generasi ketiga Ryutaro Hashimoto. Demikian pula, Korea Selatan, dari generasi
pertama, Syngman Rhee telah diganti genersi kedua, Chun Doo Hwan dan diganti
generasi ketiga Kim Yung Sam. Sudah barang tentu peralihan generasi
kepemimpinan ini akan berdampak dalam gaya dan substtansi politik yang
diterapkan. Nafas kebebasan dan persamaan semakin kental.
Di bidang politik internasional,
juga terdapat kecenderungan tumbuh berkembangnya regionalisme. Kemajuan di
bidang teknologi komunikasi telah menghasilkan kesadaran regionalisme. Ditambah
dengan kemajuan di bidang teknologi transportasi telah menyebabkan meningkatnya
kesadaran tersebut. Kesadaran itu akan terujud dalam bidang kerjasama ekonomi,
sehingga regionalisme akan melahirkan kekuatan ekonomi baru.
D. Kecenderungan perkembangan
bidang kultural
Secara umum, abad XXI akan ditandai
dengan munculnya kekuatan ras dan budaya baru. Bangsa-bangsa Asia tidak lagi
sebagai warga yang harus taat pada hukum internasional Barat yang didominasi oleh
tradisi Judeo-Christian, tetapi mereka juga menuntut untuk ikut menyusun hukum
itu, yang dijiwai oleh Hindu, Budha, confusianisme dan Islam. Kedua tradisi
tersebut, Barat dan Asia, di samping persamaan juga memiliki perbedaan yang
tajam. Tradisi Barat lebih bersifat logis dan analitis, sedangkan tradisi Asia
lebih bersifat intuitif dan seringkali emosional. Tradisi Barat menekankan
hak-hak, sedangkan tradisi Asia lebih menekankan kewajiban. Tradisi
Barat lebih menekankan pada
individu, di Asia menekankan masyarakat. Di Barat keputusan diambil dengan
voting, di Asia dengan musyawarah.
Kemajuan
ekonomi di negara-negara Asia melahirkan fenomena yang menarik. Perkembangan
dan kemajuan ekonomi telah meningkatkan rasa percaya diri dan ketahanan
diri sebagai suatu bangsa
akan semakin kokoh.
Bangsa-bangsa Barat tidak lagi dapat melecehkan bangsa-bangsa Asia.
Kekuatan baru negara-negara Asia
akan mematahkan dominasi Barat di dunia intemasional. Malahan John Naisbitt
dalam MegaTrend Asia, meramalkan perkembangan yang terjadi di negara-negara
Asia merupakan perkembangan yang penting di dunia. Dampaknya tidak saja bagi
bangsa Asia, tetapi juga bagi seluruh penghuni planet ini. Proses modernisasi
yang berlangsung di Asia akan mempengaruhi perkembangan dunia pada abad XXI.
Perkembangan yang cepat di bidang
teknologi, diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak kalah cepatnya akan
berdampak pada aspek kultural dan nilai-nilai suatu bangsa. Tekanan, kompetisi
yang tajam di pelbagai aspek kehidupan sebagai konsekuensi globalisasi, akan
melahirkan generasi yang disiplin, tekun dan pekerja keras. Namun, di sisi
lain, kompetisi yang ketat pada era globalisasi akan juga melahirkan generasi
yang secara moral mengalami kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki jalan
pintas yang bermental "instant". Dengan kata lain, kemajuan
teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, khususnya pada dua dasawarsa
terakhir ini, telah mengakibatkan kemerosotan moral di kalangan warga
masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan pelajar. Kemajuan kehidupan
ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan berbagai keinginan
material, telah menyebabkan sebagian warga masyarakat menjadi "kaya dalam
materi tetapi rmskin dalam rohani".
Di dunia pendidikan, globalisasi
akan mendatangkan kemajuan yang sangat cepat, yakni munculnya media massa,
khususnya media elektronik sebagai sumber ilmu dan pusat pendidikan. Dampak
dari hal ini adalah guru bukannya satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
Hasilnya, para siswa bisa menguasai pengetahuan yang belum dikuasai oleh guru.
Oleh karena itu, tidak mengherankan pada era globalisasi ini, wibawa guru
khususnya dan orang tua pada umumnya di mata siswa merosot. Kemerosotan wibawa
orang tua dan guru dikombinasikan dengan semakin lemahnya kewibawaan
tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti gotong royong dan
tolong-menolong telah melemahkan kekuatan-kekuatan sentripetal yang berperan
penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat lanjut bisa dilihat bersama,
kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja dan pelajar semakin
meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian, corat-coret,
pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan.
Di sisi lain, pengaruh-pengaruh
pendidikan yang mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan diri, kesabaran,
rasa tanggung jawab, solidaritas sosial, memelihara lingkungan baik sosial
maupun fisik, hormat kepada orang tua, dan rasa keberagamaan yang dijudkan
dalam kehidupan bermasyarakat, justru semakin melemah. Para pendidik, khususnya
para guru, lebih khusus lagi para pendidik dan guru yang berkecimpung pada
sekolah keagamaan atau sekolah yang dikelola oleh Organisasi Keagamaan, harus
mengambil perhatian masalah ini dan mencari cara-cara pemecahannya.
2.5. Meningkatkan
Kualitas Guru dalam Proses Belajar Mengajar
A. Tantangan dunia pendidikan
Proses globalisasi merupakan
keharusan sejarah yang tidak mungkin dihindari, dengan segala berkah dan
mudhoratnya. Bangsa dan negara akan dapat memasuki era globalisasi dengan tegar
apabila memiliki pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan, terutama
ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas.
Dalam proses belajar mengajar tersebut guru memegang peran yang penting. Guru
adalah kreator proses belajar mengajar. la adalah orang yang akan mengembangkan
suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya,
mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang
ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi
anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembaagan
masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati
batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Tugas utama guru adalah
mengembangkan potensi siswa secara maksimal lewat penyajian mata pelajaran.
Setiap mata pelajaran, dibalik materi yang dapat disajikan secara jelas, memiliki nilai dan karakteristik tertentu
yang mendasari materi itu sendiri. Oleh karena itu, pada hakekatnya setiap guru
dalam menyampaikan suatu mata pelajaran harus menyadari sepenuhnya bahwa
seiring menyampaikan materi pelajaran, ia harus pula mengembangkan watak dan
sifat yang mendasari dalam mata pelajaran itu sendiri.
Materi pelajaran dan aplikasi
nitai-nilai terkandung dalam mata pelajaran tersebut senantiasa berkembang
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Agar guru senantiasa dapat
menyesuaikan dan mengarahkan perkembangan, maka guru harus memperbaharui dan
meningkatkan ilmu pengetahuan yang dipelajari secara terus menerus. Dengan kata
lain, diperlukan adanya pembinaan yang sistematis dan terencana bagi para guru.
B. Karakteristik kerja guru
Semua di antara kita sudah sangat
akrab dengan guru, baik sering berhubungan, membawahi ataupun jadi guru
sendiri. Tetapi, berapa banyak di antara kita yang pernah merenungkan
sesungguhnya bagaimana kerja guru itu? Pemahaman akan hakekat kerja guru ini
sangat penting sebagai landasan dalam mengembangkan program pembinaan dan
pengembangan guru. Kalau direnungkan secara mendalam, maka kita akan dapat
menemukan beberapa karakteristik kerja guru, antara lain:
1.
Pekerjaan guru adalah pekerjoan yang bersifat
individualistis non colaboratif.
2.
Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang dilakukan dalam
ruang yang terisolir dan menyerap seluruh waktu.
3.
Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang kemungkinan
terjadinya kontak akademis antar guru rendah.
4.
Pekerjaan guru tidak pernah mendapatkan umpan balik.
5.
Pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu
kerja di ruang kelas.
Marilah kita bicarakan satu persatu
karakteristik guru di atas. Karakteristik pertama, pekerjaan guru bersifat
individualistis non colaboratif, memiliki arti bahwa guru dalam melaksanakan
tugas-tugas pengajarannya memiliki tanggung jawab secara individual, tidak
mungkin dikaitkan dengan tanggung jawab orang lain. Pekerjaan guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar dari waktu ke waktu dihadapkan pada
pengambilan keputusan dan melakukan tindakan. Dalam pengambilan keputusan dan
tindakan itu harus dilaksanakan oleh guru secara mandiri. Sebagai contoh, di
tengah proses belajar mengajar berlangsung terdapat siswa yang tertidur
sehingga siswa yang lain berisik. Guru harus mengambil keputusan dan menentukan
tindakan saat itu, dan
tidak mungkin meminta pertimbangan
teman guru yang lain. Oleh karena itulah, wawasan dan kecermatan sangat penting
bagi seorang guru.
Karakteristik kedua, pekerjaan guru adalah pekerjaan yang
dilakukan dalam ruang yang terisolir dan menyerap seluruh waktu. Hal ini sudah
diketahui bersama, bahwa hampir seluruh waktu guru dihabiskan di ruang-ruang
kelas bersama para siswanya. Implikasi dari hal ini adalah bahwa keberhasilan
kerja guru tidak hanya ditentukan oleh kemampuan akademik, tetapi juga oleh
motivasi dan dedikasi guru untuk terus dapat hidup dan menghidupkan suasana
kelas.
Karakteristik ketiga, pekerjaan guru
adalah pekerjaan yang kemungkinan terjadinya kontak akademis antar guru rendah.
Bisa dicermati, setiap hari berapa lama guru bisa berinteraksi dengan sejawat
guru. Dalam interaksi ini apa yang paling banyak dibicarakan. Banyak bukti
menunjukkan bahwa interaksi akademik antar guru sangat rendah. Kalau dokfer
ketemu dokter yang paling banyak dibicarakan adalah tentang penyakit, penemuan
teknik baru dalam pengobatan. Kalau insinyur ketemu insinyur, yang dibicarakan
adalah adanya teknik baru dalam membangun jembatan, penemuan untuk meningkatkan
daya bangunan air, dan sebagainya. Tetapi apabila guru ketemu guru, apa yang
dibicarakan? Rendahnya kontak akademik guru ini di samping dikarenakan soal
waktu guru yang habis diserap di ruang-ruang kelas, kemungkinan juga karena
kejenuhan guru berinteraksi akademik dengan para siswanya.
Karakteristik keempat, pekerjaan
guru tidak pernah mendapatkan umpan balik. Umpan balik adalah informasi baik
berupa komentar ataupun kritik atas apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan
proses belajar mengajar, yang diterima oleh guru. Berdasarkan umpan balik
inilah guru akan dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar
mengajarnya. Muncul pertanyaan, kalau guru tidak pernah mendapatkan umpan
balik, bagaimana guru dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pengajarannya?
Karakteristik kelima, pekerjaan guru
memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas. Waktu kerja guru
tidak terbatas hanya di ruang-ruang kelas saja. Dalam banyak hal, justru waktu
guru untuk mempersiapkan proses belajar mengajar di ruang kelas lebih lama.
Berkaitan dengan padatnya waktu guru itu, muncul pertanyaan kapankah guru dapat
merenungkan melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan bagi para
siswanya?
Di samping
karakteristik pekerjaan guru, karakteristik disiplin ilmu pengetahuan sangat
penting artinya untuk difahami, khususnya oleh guru sendiri. Sebab, guru harus
menjiwai disiplin ilmu yang harus diajarkan. Di Amerika Serikat, misalnya,
kalau ada konferensi guru-guru, orang akan segera dapat membedakan guru
berdasarkan disiplin ilmu yang diajarkan: mana guru matematik dan mana guru
ilmu sosial.
Namun realitas menunjukkan bahwa
kualitas guru belum sebagaimana yang diharapkan. Berbagai usaha yang serius dan
sungguh-sungguh serta terencana harus secara terus menerus dilakukan dalam
pengembangan kualitas guru.
Berdasarkan karakteristik kerja guru
sebagaimana dikemukakan di atas, berbagai cara pembinaan guru telah
dilaksanakan. Teknik pembinaan yang telah dikembangkan dan diterapkan adalah
dengan sistem PKG. Di samping itu, telah dikembangkan pula MGMP dan SKG. Untuk
meningkatkan dan memperdalam penguasaan materi telah dilaksanakan pula Kursus
Pendalaman Materi (KPM), dan untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi telah
dilatihkan pemanfaatan komputer dalam pengajaran matematika.
2.6. Mempersiapkan
Guru untuk Masa Depan
Sungguhpun sudah begitu banyak upaya
dan kegiatan untuk meningkatkan mutu guru, hasil-hasil evaluasi tahap akhir
siswa menunjukkan bahwa nilai mereka belum mengalami kenaikan yang berarti.
Kalau kita menggunakan pola pikir linier:
Penataran Guru ---» Mutu
Guru Meningkat ---» Kualitas Kerja Guru Meningkat ---» Mutu Siswa Meningkat
Sudah barang tentu dapat disimpulkan
bahwa penataran yang telah dilaksanakan telah berhasil meningkatkan mutu guru,
tetapi belum berhasil meningkatkan mutu kerja guru, sehingga mutu siswa belum
meningkat. Barangkali dilihat dari semboyan PKG: Dari Guru-Oleh Guru-Untuk
Guru, tujuan PKG sudah dicapai. Mungkin semboyannya perlu diubah, menjadi: Dari
Guru, Oleh Guru, Untuk Guru dan Siswa. Mengapa mutu guru telah berhasil
ditingkatkan tetapi kemampuan kerja guru belum meningkat? Salah satu jawaban
bisa kita kembalikan pada salah satu karakteristik kerja guru, yakni guru
adalah pekerjaan yang tidak pernah mendapatkan umpan balik. Hal ini logis,
karena tanpa umpan balik guru tidak tahu kualitas apa yang dikerjakan, tidak
tahu di mana kelemahan dan kelebihannya, dan akibatnya guru tidak tahu mana
yang perlu ditingkatkan.
Oleh karena itu, nampaknya di
samping meneruskan kegiatan pembinaan yang telah ada selama ini, pembinaan guru
diarahkan untuk mengembangkan suatu sistem dan teknik bagi guru untuk bisa
mendapatkan umpan balik dari apa yang dikerjakan dalam proses belajar mengajar.
Dua model peningkatan mutu yang perlu dipertimbangkan adalah a) memperkuat hidden
curriculum dan b) mengembangkan teknik refleksi diri (seff-reffection).
A. Hidden curriculum
Hidden curriculum
adalah proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat pada diri siswa. Proses ini
dilaksanakan lewat perilaku guru selama melaksanakan proses belajar mengajar.
Untuk menanamkan sikap disiplin, guru harus memberikan contoh bagaimana
perilaku mengajar yang disiplin. Misalnya, memulai dan mengakhiri pelajaran
tepat pada waktunya. Kalau guru bertujuan menanamkan kerja keras pada diri
siswa, maka guru memberikan tugas-tugas yang memadai bagi siswa dan segera diperiksa
dan dikembalikan kepada siswa dengan umpan balik. Pengembalian tugas-tugas
siswa tanpa ada umpan balik pada kertas pekerjaan secara langsung akan
menanamkan sifat tidak usah kerja keras. Karena siswa beranggapan kerja mereka
tidak dibaca guru.
Kegiatan pembinaan yang diperlukan
adalah:
1.
Mengkaji
secara lebih mendalam
makna hidden curriculum.
2.
Secara sadar merancang pelaksanaan hidden curriculum.
3.
Mengidentifikasi momen untuk melaksanakan hidden
curriculum.
B. Self-reflection
Self-reflection adalah suatu
kegiatan untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan
untuk mendapatkan umpan balik dari apa yang telah dilakukan. Umpan balik
tersebut antara lain berupa: a) pemahaman siswa tentang apa yang telah
disampaikan, b) perilaku guru yang tidak efisien dan tidak efektif, c) perilaku
guru yang efisien dan efektif, d) perilaku yang perlu diperbaiki, e) perilaku
yang diinginkan oleh siswa dan, f) perilaku yang seharusnya dikerjakan.
Berdasarkan self-reflection inilah guru akan memperbaiki perilaku dalam proses
belajar mengajar.
Paling tidak ada dua cara bagi guru
untuk melakukan self-reflection, yakni: a) guru menampung pendapat siswa pada
setiap akhir kuartal dan, b) guru malaksanakan action research. Cara yang
pertama dilakukan lewat cara guru mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang
mengungkap bagaimana perilaku selama mengajar, dan memberikan
pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dijawab oleh siswa. Berdasarkan jawaban
tersebut guru akan mendapatkan gambaran diri pada waktu melaksanakan proses
belajar mengajar.
Action research, sebagai cara kedua,
merupakan kegiatan meneliti sambil mengajar atau mengajar yang diteliti. Siapa
yang mengajar dan siapa yang meneliti? Guru sendiri yang melakukan keduanya
datam waktu yang sama.
3.1. Praktek
Pendidikan Berwajah Ke-indonesia-an
Pendidikan
dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan
pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup,
sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek
tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di
sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang
sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, meski memiliki rencana dan
program yang jelas tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai
pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal.
Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan secara informal tanpa tujuan
yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
Dengan mendasarkan pada konsep
pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan
atau "enculturation", suatu proses untuk mentasbihkan
seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pemyataan
ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat akan
menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk
goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat.
Tuntutan keharmonisan antara
pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus
mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori
pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang
bersangkutan.
A. Praktek pendidikan modern
Bangsa Indonesia telah mengalami
berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan
Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda,
pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan
(Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan
tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan
pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda,
praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek
pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.
Praktek pendidikan zaman kolonial
Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi
secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat
ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu
menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan
kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak
kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.
Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan
penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga
kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber
dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan
diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari
kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara
pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda.
Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran
yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan
kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam
tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang
amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan
disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa
Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional
tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari
penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan
nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan
nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap
dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara.
Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme.
Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial,
politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik
terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu
sendiri. Hal ini sangat terasa terutama
pada periode Orde Lama (tahun
1959-1965).
Praktek
pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak
dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah
tahun 1966 pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol.
Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan
instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau
seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada
pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung
pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam
pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada
kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan
ekonomi.
Perkembangan pendidikan nasional
yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil
yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan
nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang
bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya
birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah
pada rigiditas. Birokrasi pusat
cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis.
Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah
pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan
murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak
mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan
pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala
wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA,
kokurikuler dalam bentuk kliping koran.
Lebih lanjut, sentralisasi dan
berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan
keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia
dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap
diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip
persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando;
interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang
dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.
Karena kemerosotan kualitas
pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia,
kualitas pendidikan yang bersifatsentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas
pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan
desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan
suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung
berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang
perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang
dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya
untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi
hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya
untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"
Kalau desentralisasi hanya sekedar
mengurangi beban tanggung jawab di puncak kekuasaan dengan memberikan sebagian
tugas-tugas administrasi kepada aparat yang lebih rendah maka desentralisasi
tidak akan banyak artinya sebagai sarana peningkatan kualitas pendidikan.
Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan
ketidak-mampuan struktur dan sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan
yang mendasar pada sistem pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas
akan sia-sia. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia
pendidikan kita sekarang ini adalah desentralisasi yang mendasar.
Ada beberapa tujuan yang perlu
dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus
lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah.
Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses
pendidikan.
Di samping mempertanyakan
kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan
bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang
bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini
sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan
Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi
massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.
Adapula satu bentuk produk proses
pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan
semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di
kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak
menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu.
Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya,
tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus
merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman
anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan
ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka
100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan
hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen
pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas
jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di
kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.
Tekanan kemiskinan menimbulkan
obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala
cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah
"kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk
mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama
dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara
khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga
kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the
whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang
berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh
seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri
tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.
Dua mental tersebut bisa menjadi
faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada upaya
untuk mengembalikan kesadaran di kalangan masyarakat khususnya generasi muda;
pentingnya pencapaian tujuan jangka panjang, memahami makna proses yang harus,
dilalui dan menyadari akan pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri
sendiri.
B. Pendidikan dan kebudayaan
Berbagai penyimpangan yang ada dalam
masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas
jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai
ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan
dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata
lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan
budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang
berwajah Indonesia.
Pendidikan merupakan proses yang
berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan
orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak
pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses
pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro"
merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan
etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras
sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena
saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena
itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan
dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati
sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan
rasa keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih
sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik
membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung
tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan
adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam
praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi budaya yang perlu dikembangkan
dan manakah yang harus ditinggalkan ?
Untuk bisa menjawab pertanyaan
tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat
multidisipliner.
C. Penelitian pendidikan
yang diperlukan
Tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan
pendidikan kita yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu
akibat kemandegan ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu
pendidikan disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang
rendah. Dengan demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an
harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Agenda penelitian untuk menemukan
pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk
menemukan nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki
nilai positif bagi praktek pendidikan. Mtsalnya, nilai "Ratu adil di
dukung, ratu zalim disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan
sosial.
Kedua, penelitian yang membandingkan
nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pendidikan di rumah (keluarga) dan
pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai penekanan orang tua untuk memerintah
langsung anak atau mendikte anak di satu pihak dan tekanan dalam proses belajar
mengajar di sekolah. Sudah barang tentu kedua nilai tersebut bertentangan.
Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan anak didik?
Ketiga, penelitian yang menjawab
makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar negara. Misalnya, dalam
alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa yang cerdas". Apa
maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan sama antara masyarakat
agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada masyarakat informatif.
Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk menuju masyarakaat
industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?
Keempat, penelitian yang mencari
titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan pendidikan luar sekolah.
Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua sistem pendidikan
tersebut memiliki peran yang penting.
Kelima, penelitian yang memusatkan
pada kebijaksanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat keterkaitan
antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran pemerintah di
bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati pendidikan?
Keenam, penelitian yang mengkaji
kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa mendatang. Bagaimanakah
dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia pendidikan khususnya dan
bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya agar kita bisa menguasai dan
merubah kecenderungan tersebut?
Ketujuh, penelitian yang mengkaji
peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan. Misalnya, bagaimana hubungan
yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI, sekolah dengan surat kabar dan
radio?
Akhirnya, perlu dipikirkan adanya
penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media
penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas.
3.2. Pendidikan
Berwawasan Global
Krisis demi krisis mulai dari
moneter, ekonomi, politik dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia,
merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus
globalisasi. Informasi bergerak sedemikian cepat sehingga menimbulkan dampak yang
berantai. Demonstrasi menduduki bandara cepat menjadi mode, misalnya.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat
dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang
akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia
harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan
sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan
dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis.
Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para
peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif
dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Di samping itu,
pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan
segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu altematif yang
dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Premis untuk memulai pendidikan
berwawasan gobal adalah bahwa informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia
yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami
lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan
masyarakat lain dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh Psikolog Csikszentmihalyi dalam bukunya The
Evolving Self: A Psychology for the Third
Millenium, 1993, yang menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang
seimbang dan sehat memerlukan "an understanding of the
complexities of an increasingly complex and
interdependent world".
A. Perspektif kurikuler
Pendidikan berwawasan global dapat
dikaji berdasarkan dua perspektif: Kurikuler dan perspektif Reformasi.
Berdasarkan perspektif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu
proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas
menengah dan profesional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami
masyarakatnya dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri:
a) mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik
berat memahami adanya saling ketergantungan, b) mempelajari berbagai cabang
ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan
setempat, dan, c) mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan
keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang
lebih baik.
Oleh karena itu, pendidikan
berwawasan global akan menekankan pembahasan materi yang mencakup: a) adanya
saling ketergantungan di antara masyarakat dunia, b) adanya perubahan yang akan
terus berlangsung dari waktu ke waktu, c) adanya perbedaan kultur di antara
masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh karena itu perlu adanya
upaya untuk saling memahami budaya yang lain, d) adanya kenyataan bahwa
kehidupan dunia ini memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam ujud
ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang, dan, e) untuk dapat memenuhi
kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil menimbulkan konflik-konflik.
Berdasarkan perspektif kurikuler
ini,pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi ke arah
perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang
dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat
integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat
multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.
B. Perspektif reformasi
Berdasarkan perspektif reformasi,
pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang
untuk mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan dasar intelektual dan
tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat sangat kompetitif dan
dengan derajat saling ketergantungan antar bangsa yang amat tinggi. Pendidikan
harus mengkaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan
nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Oleh karena itu sekolah
harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat kita harus selalu dikaji
dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.
Implikasi
dari pendidikan berwawasan global menurut perspektif reformasi tidak hanya
bersifat perombakan kurikulum, melainkan juga merombak sistem, struktur dan
proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial
tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan
global harus merupakan kombinasi antara kebijakan sosial disatu sisi dan disisi
lain sebagai kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu,
sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya
kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.
Kebijakan pendidikan yang berada di
antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan
tidak semata ditata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana
yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Melainkan,
pendidikan juga diatur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk
menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga
berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatunya
dengan rinci.
Di samping itu, pendidikan
berwawasan global bersifat sistemik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif
dan kreatif-demokratis. Bersifat sistemik-organik berarti sekolah merupakan
sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak dapat dilihat sebagai
hitam-putih, melainkan setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari
keseluruhan interaksi yang ada.
Fleksibel-Adaptif, berarti
pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning dari pada teaching.
Peserta didik dirangsang memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus
dipelajari dan continues learning. Tetapi, peserta didik tidak
akan dipaksa untuk mempelajari sesuatu yang tidak ingin dipelajari. Materi
yang. dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain
dikaitkan secara padu dan dalam open-system environment. Pada pendidikan ini
karakteristik individu mendapat tempat yang layak.
Kreatif-demokratis, berarti
pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa
menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Secara paedogogis, kreativitas dan
demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada
proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki
makna.
Untuk memasuki era globalisasi
pendidikan harus bergeser ke arah pendidikan yang berwawasan global. Dari
perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum
yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan
perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global menuntut kebijakan
pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan
yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme
pasar. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat
demokratis, fleksibel dan adaptif.
3.3. Tantangan
Pengembangan Sekolah di Masa Depan
Pengalaman pembangunan di
negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara di dunia barat,
membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum
telah diakui bahwa pendidikian merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan.
Secara fisik pendidikan di dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga
kerja dari segala strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi
pembangunan. Dari aspek non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan
semangat dan jiwa modern, yang diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi
pada "akal" dan teknologi, memandang masa depan dengan penuh semangat
dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai
kemampuan (self efficacy) untuk menciptakan masa depan
sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang
memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan
cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang
menaruh perhatian yang besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil
mengantarkan negara-negara maju (dvelopped countries) dari
kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat
seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula
mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan
sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat
pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan unuk
mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus
meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga
domestik ke Barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil angka buta huruf
menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education
achievement dari penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan
menaikkan pendidikan di kalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli
mulai melihat tanda-tanda "lampu-kuning" pada sistem pendidikan pada
negara-negara yang sedang berkembang, termasuk di Indonesia, menimbulkan
problema: meninggalkan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan
dan memberikan tekanan yang berat pada anggaran belanja. Hal ini disebabkan
oleh karena perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan
teknologi, berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan
tertinggal di belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai
pendorong proses kemajuan, melainkan menjadi "pengikut proses
kemajuan". Mulailah para ahli, khususnya di bidang pendidikan
mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka impor dari barat:
relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di dunia sedang
berkembang?
Persoalan-persoalan pendidikan dan
pembangunan yang terjadi di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia,
secara mendasar berbeda dengan problema yang ada di negara-negara Barat.
Persoalan pendidikan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan falsafah dan
budaya bangsa. Winarno Surachmad (1986) memperingatkan "... bahwa ilmu
kependidikan yang tidak lahir dan tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya tidak
akan pernah mampu melahirkan potensi untuk menangani masalah yang tumbuh di bumi
ini". (h.5). Barangkali, pendapat tersebut sangat ekstrim, namun tuntutan
bahwa ilmu kependidikan yang akan digunakan untuk memecahkan problema di suatu
negara hendaknya tidak lepas dari kondisi budaya setempat memang perlu untuk
mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari para perencana dan
pengambil keputusan di bidang kebijaksanaan pendidikan. Teori-teori Barat
tentang pendidikan dan pembangunan tidaklah senantiasa bersifat universal. Jiwa
dan watak bangsa harus menjiwai sistem pendidikan itu sendiri.
A. Perkembangan dan problem
pendidikan
Semenjak Orde Baru, khususnya mulai
PELITA I, perkembangan sektor pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat.
Pemerintah memberikan prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan
didasarkan pada asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia
akan berhasil dengan baik. Didukung dengan hasil minyak bumi, maka perkembangan
sarana fisik, khususnya gedung sekolah dasar dapat dilaksanakan pada
tingkatyang luar biasa. Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket
dicetak, training dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru
diselenggarakan. Dan hasilnya secara statistik perkembangan pendidikan di
Indonesia sangat menggembirakan.
Namun, dibalik angka-angka di atas,
dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi problema yang berat, yang dapat
dikategorikan menjadi: a) internal in-efficiency, b) external
in-efficiency, dan c) ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal
in-efficiency dalam sektor pendidikan berujud dalam bentuk tingginya
angka drop-outs dan angka repeaters (ulang kelas yang sama).
Sedangkan external in-efficiency berujud lulusan pendidikan tidak
dapat diserap oleh pasar tenaga kerja ataupun dapat dipakai tetapi antara
pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan pendidikan yang diperoleh. Sedang
ketidakmerataan pendidikan berujud adanya perbedaan memperoleh kesempatan
pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara penduduk kota dan penduduk desa
dan antara kaya dan miskin.
External in-efficiency
pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor yang lain,
khususnya sektor ekonomi dan politik. Sebagaimana telah disinggung di atas
modernisasi di bidang ekonomi jauh lebih cepat dari pada modernisasi di bidang
pendidikan. Perubahan-perubahan bidang ekonomi dan teknologi sedemikian cepat,
di lain pihak perubahan dunia pendidikan berjalan lambat. Perubahan-perubahan
pada sistem dan kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cepat, karena
adanya suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang sangat
luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman
pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan
dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan proyeksi
keadaan masyarakat di masa mendatang. Namun pada era teknologi dewasa ini
sangat sulit atau dapat dikatakan hampir tidak mungkin bisa meramalkan keadaan
masa mendatang dengan tepat. Akibat dari ketidakmampuan pendidikan
memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa mendatang, pendidikan juga tidak
mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi dan
industri. Art dan peranan manpower planning semakin merosot
karena tidak bisa merencanakan demand dan supply tenaga kerja
dengan tepat Maka rentetan berikutnya adalah naiknya tingkat pengangguran
terdidik tidak dapat terelakkan lagi.
Problema ketiga adalah
ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan. Ketidakmerataan ini bisa
dilihat menurut sex, tempat tinggal, dan terutama menurut status sosial ekonomi.
Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan menjembatani jurang antara
kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat sudah banyak mendapatkan
kritikan dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan bukti bukti empiris dari
dunia ketiga, menunjukkan bahwa justru pendidikan memperbesar jurang kaya dan
miskin. Sebab pada diri pendidikan itu sendiri terdapat stratifikasi sosial
(lihat, Karabel dan Halsey, 1977).
Kalau ketidakmerataan memperoleh
pendidikan menurut sex dan desa/kota, sudah mulai dapat diperkecil dengan
berbagai kebijakan pendidikan yang telah dilaksanakan, tidak demikian dengan
ketidakmerataan pendidikan di antara penduduk miskin dan kaya. Perbedaan
pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin masih sulit untuk
dipecahkan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas sekolah. Kualitas sekolah
dan juga jenis atau jurusan akan menentukan status di masa depan. Sedangkan
sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh sekolah "favorit"
datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga yang relatif miskin akan
memperoleh sekolah yang juga relatif rendah kualitasnya. Hal ini tidak
mengherankan, karena anak didik yang dapat memenuhi kualifikasi untuk masuk
sekolah favorit sebagian besar adalah anak dari keluarga yang relatif mampu, yang
memang secara riil lebih pandai.
B. Pengalaman dan tantangan
Kesadaran bahwa pendidikan harus
senantiasa tanggap terhadap kemajuan telah mendorong para ahli dan pengambil
keputusan di bidang pendidikan untuk terus menerus mengadakan pembaharuan. Pembaharuan
pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan ketiga problema di
atas: internal in-efficiency, external in-efficiency,
dan ketidakmerataan pendapatan. Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di
sektor pendidikan: misalnya, perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik
dalam arti content dan instructional delivery system,
merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang
canggih.
Namun pembaharuan-pembaharuan yang
teiah dilaksanakan tidak jarang mengandung kelemahan dan perlu untuk dikritik.
Salah satu kritik pernah dilontarkan oleh Winarno Surachmad (1986) yang menilai
bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia bersifat tambal sulam dan kurang
mendasar. Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi baru
dengan isi yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980)
yang ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang,
termasuk sangat tepat untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia.
Mereka menyatakan bahwa pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat
dipraktekkan karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana.
Pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan cenderung bersifat "technocratic
perspective", artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi
dari suatu perubahan daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno,
1986). Di samping itu pendidikan di negara sedang berkembang cenderung
mengambil alih apa yang telah berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga
inovasi yang dilaksanakan bersifat "metropolitan sentris". Karena
bersifat "metropolitan sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan
pendidikan akan mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara pendidikan di
urban dan di rural. Hal ini bisa dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap
untuk menerima pembaharuan yang dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal
pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia tidak mempunyai strategi
monitoring dan prosedure evaluasi yang mantap. Sebagai contoh bisa disebut
pembaharuan sistem dan kurikulum sekolah pembangunan.
Lebih mendasar lagi, tidak jarang
pembaharuan yang kita laksanakan merupakan pengambilalihan dari Barat, tanpa
mengadakan modifikasi yang berarti dan mempertanyakan secara mendalam hakekat
dan aspek-aspek yang pokok yang ada pada ide yang akan diambil tersebut. Dengan
mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan dapat diperhitungkan
kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya pembaharuan pendidikan harus
berdasarkan pada What is, tidak pada What ought to
be; pembaharuan harus cocok dengan realitas ruang-ruang kelas. Sebagai
ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh pembaharuan pada metoda
pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua pokok bahasan dicantumkan
metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda yang harus digunakan.
Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi" pendidikan di Amerika
pada tahun-tahun 1960-an. Metoda CBSA mementingkan proses berpikir dan melatih inquiry
skid. Kelebihan lain dari metoda ini adalah meningkatkan critical
thinking, merangsang intrinsic motivation dan memberikan
kemungkinan daya ingat yang lama pada diri siswa (Bruner, 1961). Namun perlu
diingat bahwa metoda ini memerlukan persyaratan tertentu untuk bisa
diimplementasikan. Misalnya, pelaksanaan metoda CBSA memerlukan kondisi dan
iklim kelas yang tidak terlalu formal dan fleksibel. Guru harus mempunyai
pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid sudah terpatri kecintaan dan
kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai pikiran-pikiran dan
bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi.
Patut kita pertanyakan sudahkah
syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan siswa-siswa di tanah air kita?
Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia jauh dari yang diperlukan. Kelas-kelas
masih sangat kaku dan formal. Pengetahuan para guru relatif terbatas, oleh
karena itu mereka tidak berani membicarakan apa yang di luar silabi. Karena
membicarakan di luar silabi memang di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid
cenderung untuk mendengarkan, menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh
guru. Apa yang diterangkan oleh guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh
karena itu tidak perlu dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan
kalau metoda CBSA hampir dapat dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam
ruang-ruang kelas. Selama kondisi tersebut belum terpenuhi metoda CBSA tidak
akan pernah hadir di kelas secara riil.
Dalam setiap pembaharuan pendidikan,
guru memegang peran yang strategis, sebab merekalah yang merupakan pelaksana
pembaharuan pada level kelas. Namun, pengalaman di Indonesia menunjukkan guru
lebih banyak dilihat sebagai objek dalam
pembaharuan pendidikan. Sehingga setiap
kebijaksanaan sebagai ujud pembaharuan pendidikan lebih banyak bersifat
instruksi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru
untuk berimprovisiasi. Perencanaan dan kebijaksanaan nasional memang perlu,
namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan pembaharuan pendidikan sangat tergantung
pada semangat, rasa keterlibatan, dan kesadaran para guru. Guru akan memberikan
respon yang positif pada setiap usaha pembaharuan yang akan dapat meningkatkan
kemampuan profesional mereka dan memberikan ruang bagi mereka untuk
berimprovisasi secara aktif dalam proses pembaharuan tersebut. Oleh karena itu
setiap upaya pembaharuan pendidikan seharusnya menjadikan guru sebagai
partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai penerima pembaharuan. Pembaharuan
pendidikan yang cenderung menjadikan guru sebagai objek dan sekedar penerima
pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi, cenderung untuk gagal. Dalam kaitan
ini perlu untuk didengar pendapat Fullan (1985) bahwa keberhasilan pembaharuan
pendidikan tergantung pada apa yang difikir dan dilakukan guru.
Di samping apa yang dikemukakan di
atas, pembaharuan pendidikan di negara-negara sedang berkembang, termasuk di
Indonesia, jarang mengevaluasi dan mengembangkan aspek lain dari pendidikan
formal di luar kurikulum dan kemampuan guru. Di samping aspek kurikulum dan
kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah
merupakan "a mini society".
Sebagai suatu masyarakat kecil,
sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana sekolah itu berada. Apa yang
terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya terujud juga dalam sekolah.
Di sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat para anggotanya, baik anak
didik maupun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan yang harus dipatuhi,
terdapat interaksi antara sesamanya baik secara individual maupun kelompok,
terdapat konflik-konflik interes baik nampak maupun tersembunyi. Sangsi-sangsi
akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar tatanan yang ada. Hak-hak dan
kewajiban guru dan murid diakui.
Dalam proses "transfer of
culture", termasuk di dalamnya proses pembentukan kepribadian,
sikap, rasa dan juga intelektualitas, aspek sekolah sebagai "a mini
society" sangat penting artinya. Model sekolah Muhammadiyah dengan
memadukan antara Masjid dan gedung sekolah, merupakan bentuk pengakuan
pentingnya aspek sekolah sebagai masyarakat kecil tersebut.
Dalam dunia pendidikan terdapat dua
teori yang berkaitan dengan sekolah sebagai masyarakat kecil ini. Pertama,
sekolah tempat melatih dan mempersiapkan anak didik untuk terjun pada kehidupan
mereka di masa mendatang. Kedua, sekolah merupakan kehidupan riil anak didik
itu sendiri, bukannya tempat mempersiapkan anak didik. "School is not
preparation for life, but life it self"
(Dewey, 1944).
Implikasi praktis dari teori
pertama, anak didik dalam proses pendidikan diberlakukan sebagai objek pendidikan.
Mereka merupakan objek yang tengah digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi
kehidupan di kemudian hari. Mereka bukanlah subjek di dunia sekolah yang ada
ini. Sayangnya, kemajuan yang pesat di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan
perubahan-perubahan yang berlangsung di masyarakat sangat cepat dan sulit itu
bisa diramalkan dengan tepat (lihatToffler, 1974, 1981). Oleh karena itu timbul
pertanyaan, bagaimana mempersiapkan anak didik untuk mengarungi kehidupan di
kemudian hari itu sendiri tidak bisa diprediksi?
Teori kedua, menekankan hendaknya
sekolah diselenggarakan sedemikian rupa sehingga betul-betul merupakan
kehidupan riil anak didik itu sendiri. Implikasi dari teori ini adalah anak
didik merupakan subjek dari proses pendidikan. Kehidupan sosial anak didik
dalam masyarakat kecil tersebut merupakan dasar dan sumber dari transformasi
kehidupan. Peran paling penting dalam proses pendidikan bukanlah terletak pada
mata pelajaran yang diberikan, melainkan pada aktifitas dan interaksi sosial anak
didik itu sendiri. Peran guru menurut falsafah ini lebih banyak bersifat tut
wuri handayani; memberikan dorongan dan motivasi agar para anak didik mampu
memperluas kemampuan pandang, unluk mengembangkan berbagai altematif dan
pengambilan keputusan dalam aktifitas kehidupan serta memperkuat kemauan untuk
mendalami dan mengembangkan apa yang dipelajari dalam proses kehidupan itu.
Namun, perlu difahami pula, bahwa dengan menjadikan anak didik sebagai subjek
dalam proses pendidikan tidak berarti sekolah bersifat "value free".
Tetap saja, sekolah lewat guru dan kurikulum akan menanamkan values,
tetapi dengan cara "value-fair". Artinya dalam usaha
menanamkan nilai-nilai, guru tidak akan memaksakan sesuatu nilai tertentu
kepada anak didiknya. Melainkan guru melakukan usaha-usaha dengan berbagai cara
atau metoda, berbagai alat bantu, agar anak didik akan membenarkan dan menerima
nilai-nilai yang ia ajarkan, anak didik sendirilah yang menemukan dan
mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah untuk ditanamkan pada anak
didiknya.
Banyak keberatan dari para ahli atas
bentuk sekolah berdasarkan teori yang pertama. Keberatan yang terpenting adalah
dengan menjadikan anak didik sebagai objek berarti pendidikan merupakan
tindakan "mencomot" anak didik dari lingkungannya sendiri untuk
dimasukkan ke dalam lingkungan yang lain yang belum tentu sesuai atau malahan
asing bagi anak didik. Lingkungan baru itu bernama sekolah. Kalau anak didik
tidak cocok dengan lingkungan baru, sebagai objek, anak didik tidak bisa berbuat
apa-apa. Masalahnya akan menjadi rumit, kalau apa yang dilihat, diterima dan
dihayati dalam lingkungan "mini society" ini tidak sama
atau malahan bertentangan dengan apa yang ia lihat, terima dan hayati dari
lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat. Akibat dari keadaan ini, tidak
mengherankan kalau banyak anak didik yang mengikuti pelajaran di sekolah dengan
setengah hati.
Di fihak lain, lebih banyak para
ahli yang keberatan dengan teori kedua. Keberatan pokoknya adalah berkisar pada
kekhawatiran pendidikan akan menjadi proses yang tanpa arah dan
"anarkis".
Sudah barang tentu pembaharuan
pendidikan di negara kita di masa mendatang harus pula memperhitungkan aspek
sekolah sebagai "a mini society" ini.
Pembaharuan pendidikan tidak berarti harus mengambil salah satu teori
pendidikan secara murni. Yang penting adalah bagaimana pembaharuan pendidikan
bisa membuahkan kebijaksanaan yang mengarahkan agar pendidik bisa memanfaatkan
variasi interaksi dan pengalaman riil yang diperoleh anak didik di sekolah
sebagai upaya untuk mencapai keberhasilan pendidikan.
Ada tiga hal yang telah dikemukakan
dalam pembahasan tentang pembaharuan pendidikan: kurikulum, guru dan sekolah
sebagai "a mini society". Pengembangan sekolah
di masa depan di mana perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat sangat
cepat dan unpredictabfe, ketiga hal tersebut tidak bisa ditinggalkan.
C.
Sekolah Dasar di masyarakat yang berubah
dengan cepat
Dalam proses pendidikan, sekolah
dasar menempati posisi yang sangat vital dan strategis. Kekeliruan dan
ketidaktepatan dalam melaksanakan pendidikan di tingkat dasar ini akan
berakibat fatal untuk pendidikan tingkat selanjutnya. Sebaliknya, keberhasilan
pendidikan pada tingkat ini akan membuahkan keberhasilan pendidikan tingkat lanjutan.
Sayangnya, berbagai fihak justeru menempatkan pendidikan dasar lebih rendah
daripada tingkat pendidikan yang lain, terbukti antara lain, dengan adanya
kualifikasi dan gaji guru sekolah dasar yang berbeda dengan sekolah lanjutan.
Usaha-usaha meningkatkan kualitas
sekolah dasar sudah sangat mendesak. Tanpa ada peningkatan kualitas sekolah
dasar yang mendasar, usaha-usaha peningkatan kualitas sekolah lanjutan menengah
pertama dan atas tidak akan berhasil dengan maksimal. Di samping itu kondisi-kondisi
yang ada menunjukkan bahwa secara kuantitas penyediaan fasilitas sekolah dasar
sudah memadai. Pada tahun 1986, sudah
lebih dari 94% anak umur sekolah dasar (umur 7 - 12) telah tertampung di
sekolah-sekolah. Malahan sebagai hasil dari program pengendalian penduduk,
pertambahan murid sekolah dasar kelas satu sudah mulai menurun. Untuk
tahun-tahun mendatang ini, gejala-gejala menurunnya murid kelas satu akan
semakin nampak jelas terasa. Oleh karena itu, problema sekolah dasar akan
bergeser dari bagaimana menyediakan fasilitas bergerak kepada bagaimana
mengorganisir sekolah dasar yang semakin kecil tetapi bisa semakin berkualitas.
Bagi sekolah negeri barangkali problema ini tidak begitu terasa, tetapi bagi
swasta yang terjadi adalah sebaliknya.
Dalam hubungan dengan usaha
peningkatan kualitas sekolah dasar, Beeby (1983) mengidentifikasi dua bentuk
usaha peningkatan kualitas sekolah. Bentuk pertama, peningkatan kualitas sistem
dan manajemen sekolah. Hal ini berhubungan dengan "the flow of
students". Kedua, peningkatan kualitas berkenaan dengan proses
belajar-mengajar di ruang-ruang kelas.
Usaha peningkatan kualitas yang
berhubungan "the flow of students" pada dasarnya
bertujuan untuk menghilangkan pemborosan sebagai akibat internal in-efficiency
in education. Kebijaksanaan apa yang dapat dikembangkan sehingga tingkat
anak didik mengulang kelas dan putus sekolah bisa ditekan, bahkan kalau mungkin
dihilangkan. Wajib Belajar Pendidikan Dasar, untuk anak umur 7-15 tahun dan
pembebasan uang SPP merupakan kebijaksanaan yang penting dan tepat untuk
mengurangi tingkat putus sekolah ini.
Untuk menghilangkan "repeaters"
nampaknya lebih sulit. Apalagi informasi berkenaan dengan sebab-sebab ulang
kelas ini sangat sedikit. Salah satu usaha untuk menghilangkan ulang kelas
adalah dengan menetapkan "automatic class promotion system".
Dengan sistem ini anak didik setiap tahun secara otomatis akan naik kelas.
Sehingga nanti umur anak didik akan menunjukkan kelasnya. Sudah barang tentu
kebijaksanaan ini harus diiringi dengan kebijaksanaan "remedial programs".
Anak didik yang tidak bisa mengikuti pelajaran atau tertinggal harus mengikuti
pelajaran tambahan. Kebijaksanaan ini untuk negara kita tidaklah mustahil,
mengingat jumlah murid sekolah dasar semakin kecil sebaliknya jumlah guru
berlebihan. Dengan semakin kecilnya rasio murid-guru, maka guru akan bisa
mengenal dengan tepat perkembangan anak didik.
Dalam
peningkatan mutu SD, masalah kurikulum, kualitas guru dan lingkungan keluarga
perlu mendapat perhatian. Pada level nasional, pengembangan kurikulum merupakan
proses politik, administrasi dan birokrasi, serta sekaligus proses
profesionalisme. Proses ini mengandung negosiasi antara harapan-harapan dan
sumber-sumber yang tersedia. Apabila dalam proses pengembangan kurikulum ini
masalah-masalah yang riil ada di kelas diperhitungkan maka kurikulum akan
memberikan sumbangan yang besar pada peningkatan kualitas sekolah. Dua
hal yang perlu mendapatkan
perhatian adalah kebutuhan lingkungan dan kemampuan guru.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
pada waktu yang lalu melontarkan ide perlunya warna lokal pada kurikulum
pendidikan kita. Ide tersebut sangatlah tepat dan perlu untuk mendapatkan support
dan partisipasi dari para pendidik. Kebhinekaan masyarakat kita yang tercermin
dalam banyak aspek kehidupan: lingkungan fisik, sosial dan budaya, perlu untuk
diperhitungkan dalam pengembangan kurikulum. Realitas kebhinekaan ini,
merupakan dasar yang logis untuk mengembangkan kurikulum nasional yang berwarna
lokal. Kurikulum yang "murni bersifat nasional" sulit untuk bisa
diterima. Kurikulum yang demikian itu akan menghasilkan keterasingan pada
sementara anak didik, sebab apa yang dipelajari di sekolah tidak relevan dengan
lingkungan sekelilingnya.
Proses pengembangan kurikulum berwarna
lokal dalam kurikulum nasional hendaknya lebih banyak menarik partisipasi para
pendidik. Kalau di tingkat nasional pengembangan kurikulum lebih banyak
dilakukan oleh para "perencana dan administrator pendidikan", maka
pengembangan kurikulum lokal seyogyanya lebih banyak ditentukan oleh pendidik
sendiri.
Selain isi kurikulum (intended
curriculum) maka sistem pengajaran (the instructionat delivery
system) perlu untuk mendapat perhatian. Pendidikan pada tingkat sekolah
dasar diarahkan untuk mengembangkan kreatifitas, kecintaan dan loyalitas pada
tanah air, dan critical thinking pada diri anak didik. Untuk
mencapai tujuan ini maka model Student Active Learning adalah
merupakan metoda yang paling tepat. Kemampuan para guru sekolah dasar perlu
untuk ditingkatkan. Usaha-usaha peningkatan kualitas guru sekolah dasar ini
harus mendasarkan pada kemampuan guru yang ada sekarang ini untuk diarahkan
pada kemampuan yang diinginkan. Untuk ini perlu ada kegiatan "need of
assessment" sehingga berdasarkan kegiatan itu bisa disusun "peta
kualitas guru". Hal ini menghindarkan adanya "in service
training" yang tidak tepat. Langkah yang lebih mendasar, adalah
meningkatkan kualitas guru secara formal.
Usaha peningkatan kualitas guru
perlu pula dilakukan secara formal. Dalam arti pensyaratan untuk menjadi guru
sekolah dasar tidak cukup lulusan SPG, melainkan perlu ditingkatkan menjadi
lulusan perguruan tinggi. Hal ini sudah saatnya, mengingat tenaga guru sekolah
dasar sudah lebih dari cukup. Di samping itu untuk melaksanakan pengembangan
sekolah dasar di masa depan memang memerlukan tenaga guru yang memiliki
kualifikasi lebih tinggi. Untuk menghadapi pembaharuan-pembaharuan pendidikan
di masa mendatang dan menanggapi perubahan-perubahan di masyarakat yang sangat
cepat itu, kualifikasi guru SD tamatan SPG sangat diragukan kemampuannya.
Diharapkan pula dengan persamaan kualifikasi untuk menjadi guru sekolah dasar
dan guru sekolah lanjutan, di masa mendatang perbedaan "derajat"
antara kedua tingkat pendidikan itu juga akan hilang. Labih daripada itu,
adanya integrasi lembaga pendidikan dalam satu institusi akan menguntungkan
dalam menyusun rencana pengembangan kurikulum pendidikan calon guru secara
integral dan menyeluruh, termasuk pula kurikulum untuk "in-service training".
Usaha-usaha pengembangan kreatifitas
anak didik dan kecintaannya pada tanah air dapat dilaksanakan pula lewat proses
interaksi yang terjadi di sekolah. Sebagaimana yang telah disinggung di depan,
sekolah adalah merupakan "a mini society". Guru harus bisa
memanipulasi aktifitas dan interaksi anak didik untuk mengembangkan kreatifitas
anak dan kecintaan pada tanah air. Misalnya, bagaimana guru bisa memberikan
kesempatan pada anak didik untuk menentukan kegiatan olah raga yang akan
dilaksanakan, apa yang harus dilakukan pada anak yang tidak mengerjakan
pekerjaan rumah, membuat peraturan-peraturan di kelas ataupun di luar
kelas.
Hasil pendidikan di sekolah dasar
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Penelitian-penelitian yang dilakukan baik
di negara Barat maupun di negara kita membuktikan statement di atas (lihat
Sudarsono, 1984; Johnstone & Jiyono, 1983; Simmons, 1980). Ada lima aspek
dari lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap hasil pendidikan sekoiah
dasar. Pertama, pola perilaku anak dan orang tua; kedua, bantuan dan petunjuk
orang tua dalam belajar; ketiga, diskusi antara orang tua dan anak; dan,
keempat, penggunaan bahasa di rumah, dan aspirasi pendidikan orang tua.
Anak dari kalangan keluarga di mana
ada struktur kegiatan memiliki prestasi yang lebih baik dari pada anak yang
datang dari kalangan keluarga yang tidak mempunyai struktur kegiatan. Memiliki
struktur kegiatan berarti dalam keluarga tersebut ada jadwal kegiatan dan
tanggung jawab anak secara jelas. Kapan waktu belajar, waktu bermain, waktu
membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah tangga. Waktu-waktu tersebut harus
ditepati. Pelanggaran yang dilakukan akan dapat mengakibatkan tidak dapat
melihatTV, misalnya.
Bantuan dan petunjuk orang tua bagi
anak dalam kegiatan-kegiatan belajar sangat diperlukan. Anak yang datang dari
keluarga di mana orang tuanya membantu dan memberikan petunjuk belajar
mempunyai prestasi yang lebih baik daripada anak yang datang dari keluarga yang
tidak mau tahu tentang kegiatan belajar anaknya. Sekolah bagi anak bukanlah
merupakan kegiatan yang gampang. Orang tua perlu memberikan support dan
dorongan agar anak bisa tetap pada interes dan kesenangan dalam belajar. Anak
akan sering menghadapi kesulitan dalam satu mata pelajaran tertentu atau lebih.
Kesulitan-kesulitan akan menyebabkan anak patah semangat untuk belajar dan
tidak jarang menyebabkan anak mempunyai "self-concept" yang
jelek. Usaha-usaha membesarkan hati manakala anak menghadapi kesulitan dan
memberikan pujian manakala anak mendapatkan prestasi yang baik sangat
diperlukan bagi anak-anak sekolah dasar.
Kegiatan belajar anak pada
hakekatnya tidak hanya berlangsung di sekolah atau di ruang-ruang kelas. Di
luar sekolah pun proses ini berlangsung. Orang tua bisa menggunakan kesempatan
kumpul sebagai media bagi anak untuk belajar. Anak-anak yang datang dari
keluarga di mana sering melakukan diskusi antara anggota keluarga menunjukkan
prestasi yang lebih baik daripada anak yang di rumah tidak pernah
berbincang-bincang dengan orang tua atau saudaranya.
Prestasi anak yang datang dari
keluarga di mana komunikasi sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia (bahasa
yang digunakan di sekolah) lebih tinggi daripada prestasi anak yang di rumah
tidak menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indoensia di rumah akan
memperkaya kemampuan bahasa anak. Secara langsung anak mengembangkan kemampuan
bahasa Indonesia di rumah.
Keluarga merupakan tempat di mana
anak bisa mendapatkan motivasi untuk belajar dan mengembangkan harapan-harapan
pendidikan dan gaya hidup di masa depan. Orang tua mempunyai peranan yang
sangat besar dalam mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anak. Orang
tua seyogyanya mempunyai informasi yang jelas tentang aktifitas anak di
sekolah, mata pelajaran apa yang membuat anak senang dan tidak senang, di mana
kelebihan dan kekurangan anak dalam belajar. Orang tua di samping memberikan support
seyogyanya juga memberikan standar yang harus dicapai oleh anak. Anak-anak yang
datang dari keluarga di mana orang tua mengembangkan motivasi dan aspirasi
belajar anak, memiliki prestasi yang lebih tinggi dari pada anak yang datang
dari keluarga di mana orang tua tidak pemah mengembangkan motivasi dan aspirasi
pendidikan anaknya.
Melihat hasil-hasil penelitian di
atas, maka usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dasar, khususnya,
bisa dipisahkan dari lingkungan keluarga. Orang tua tidak bisa menyerahkan
secara 100% agar anaknya dididik di sekolah. Perlu ada kerjasama antara sekolah
dan orang tua dalam usaha meningkatkan kualitas sekolah. Orang tua perlu
mendapatkan informasi apa yang harus dilakukan di rumah untuk menunjang
keberhasilan anak di sekolah. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di
Indoensia bisa dijadikan bahan untuk diinformasikan kepada orang tua. Problemanya,
siapa yang harus melakukan?
Sekolah-sekolah mempunyai lembaga
Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Sampai saat ini lembaga
tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal, baru terbatas untuk menghubungkan
dana pembangunan gedung. Sesungguhnya BP3 ini bisa ditingkatkan peranannya,
dari pengumpul uang pembangunan gedung menjadi pemegang peran mempertemukan apa
yang terjadi di sekolah dan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua kepada
anaknya di rumah, dalam kaitannya dengan proses belajar anak di sekolah.
Dengan kata, lain untuk peningkatan
kualitas pendidikan di sekolah dasar perlu ada kerjasama yang erat antara orang
tua dan guru, antara sekolah dan rumah. Orang tua tahu apa yang terjadi di
sekolah, sebaliknya guru bisa memberikan pengarahan apa yang seyogyanya
dilakukan oleh orang tua terhadap anak dalam rangka menunjang keberhasilan anak
di sekolah.
D. Peranan IKIP
Dalam setiap pembaharuan pendidikan,
IKIP sebagai lembaga pencetak guru mempunyai posisi strategis. Di samping berfungsi
mencetak guru, IKIP dituntut untuk bisa melakukan penelitian-penelitian yang
bisa mendukung usaha-usaha pembaharuan.
Ide-ide baru diharapkan muncul di
lembaga pendidikan guru ini. Tugas yang tidak kalah pentingnya lagi adalah
menyediakan tempat bagi "'in-service training". Dalam
kaitan dengan pengembangan sekolah di masa depan, IKIP seyogyanya memberikan
perhatian kepada usaha-usaha peningkatan kualitas guru sekolah dasar.
Semenjak Pelita I pendidikan di
Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Namun demikian, masih banyak
problema yang harus dipecahkan. Salah satunya adalah bagaimana dapat
mengembangkan sekolah yang mampu menghadapi perubahan-perubahan di masyarakat
yang berlangsung dengan cepat. Untuk itu, pembaharuan pendidikan yang mendasar
perlu untuk dilaksanakan. Strategi yang paling tepat, adalah melaksanakan
pembaharuan di bidang kurikulum, peningkatan kualitas guru dan menggunakan
sekolah sebagai "a mini society" sebagai sarana
pendidikan. Pembaharuan lebih dititik beratkan pada tingkat sekolah dasar.
Dalam kaitannya dengan pembaharuan sekolah dasar, perlu disinkronkan antara
pendidikan di sekolah dan pendidikan di rumah.
Dalam setiap pembaharuan pendidikan,
guru harus diberikan kesempatan untuk berperan secara aktif. Sebab, pada
hakekatnya, pembaharuan dilaksanakan di kelas-kelas. Sehubungan dengan peran
guru, maka IKIP sebagai lembaga yang mempersiapkan guru, perlu untuk
meningkatkan kualitasnya, khususnya, kualitas staf pengajar.
Pacta zaman modern peranan
pendidikan dalam pembangunan guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
semakin penting. Pengalaman pembangunan ekonomi dinegara-negara Asia Timur
khususnya, membuldikan statement tersebut. Secara lebih terperinci,
pengalaman pembangunan ekonomi di Korea Selatan, menunjukkan adanya keterkaitan
yang jelas antara pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Pendidikan diukur dengan
partisipasi pendidikan untuk anak usia sekolah dan pertumbuhan diukur dengan
pendapatan perkapita, menunjukkan adanya critical mass (Boediono,
1996) pendidikan yang diperlukan untuk mewujudkan angka pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Di samping itu, kualitas pendidikan juga memiliki peranan yang
penting. Kualitas pendidikan memiliki arti bahwa lulusan pendidikan memiliki
kemampuan yang sesuai, sehingga dapat memberikan kontribusi yang tinggi bagi
pembangunan. Kualitas pendidikan, terutama
ditentukan oleh proses
belajar mengajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas. Dalam proses
belajar mengajar tersebut guru memegang peran yang penting. Guru adalah creator
proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas
bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik dan mampu mengekspresikan ide-ide
dan kfeativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara
konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi anak didik.
Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembaagan masyarakatnya
akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas
kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Namun, realitas menunjukkan kualitas
pendidikan di negara kita masih memprihatinkan. Selama ini kualitas pendidikan
yang antara lain dicerminkan oleh NEM atau nilai ujian UMPTN dari tahun ke
tahun cenderung statis tidak menunjukkan angka yang meningkat. Keadaan ini
merupakan tanda-tanda bahwa kualitas pendidikan jalan di tempat, tidak ada
peningkatan kualitas pendidikan. Sudah barang tentu keadaan tersebut berkaitan
dengan proses yang berlangsung di ruang-ruang kelas. Proses belajar mengajar di sekolah belum
sebagaimana yang diharapkan. Ruang-ruang kelas menjadi tempat yang menakutkan,
membosankan dan menjemukan bagi para siswa. Ruang-ruang kelas belum dapat
berperan sebagai tempat di mana siswa ditantang untuk menunjukkan kebolehannya.
Sebaliknya, ruang-ruang kelas merupakan tempat di mana identitas dan
kepribadian "aku''nya telah diluluhkan menjadi raw input
dalam mesin besar industri pendidikan. Mereka para siswa bukan merupakan subjek
dalam proses pendidikan, melainkan sebagai objek dalam pendidikan. Oleh karena
sebagai raw input mereka harus tunduk dan patuh atas aturan dan
prosedur yang telah ditetapkan oleh fihak sekolah.
Salah satu penyebab dari keadaan
dunia pendidikan yang kurang menggembirakan tidak pelak lagi ditujukan pada
ketidakmampuan guru. Banyak tanda-tanda menunjukkan bahwa kualitas guru belum
sebagaimana yang diharapkan.
E. Permasalahan guru
Permasalahan pendidikan dapat
didekati dengan pendekatan macrocosmics dan microcosmics.
Pendekatan macrocosmics berarti permasalahan guru dikaji dalam kaitannya
dengan faktor-faktor lain di luar guru. Hasil pendekatan ini adalah bahwa
rendahnya kualitas guru dewasa ini di samping muncul dari keadaan guru sendiri
juga sangat terkait dengan faktor-faktor luar guru. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas guru, antara lain:
a) penguasaan guru atas bidang studi, b) penguasaan guru atas metode
pengajaran, c) kualitas pendidikan guru, d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru,
f) status guru di masyarakat, g) manajemen sekolah, h) dukungan masyarakat,
dan, i) dukungan pemerintah.
Penguasaan guru atas bidang studi
yang akan diajarkan kepada para siswa merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya.
Sebab, dengan materi bidang studi tidak saja guru akan mentransformasikan ilmu
pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih daripada itu, dengan materi bidang studi
itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong
kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada
diri siswa. Penguasaan kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga
penting. Tetapi perlu dicatat bahwa, kemampuan metode dalam pengajaran kalau
diujudkan dalam simbol bagaikan angka "0". Artinya, betatapun banyak
dan tingginya kemampuan metodologi pengajaran tidak memiliki nilai apa-apa,
apabila tidak digabungkan dengan angka lain 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 9
yang merupakan wujud dari kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah
penguasaan materi bidang studi inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu
studi menunjukkan bahwa penguasaan bidang studi para guru kalau diujudkan dalam
skor yang terentang antara 0-10, terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata
pelajaran matematika dan IPA lebih rendah lagi.
Rendahnya penguasaan guru pada
bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru dan rekrutmen colon
guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk kurikulum yang
mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan guru. Fase pertama
ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru (IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum
kurikulum IKIP 1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum pendidikan guru tidak
jauh berbeda dengan kurikulum jurusan yang sama di universitas. Perbedaannya
adalah pada mahasiswa pendidikan guru di samping memiliki bekal bidang studi
yang memadai, juga ditambah dengan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan
didaktik khusus. Pada waktu diberlakukannya kurikulum pendidikan guru 1984,
terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan guru harus lebih
menekankan pada metode mengajar dibandingkan dengan penguasaan materi bidang
studi. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau beban SKS di lingkungan
pendidikan guru didominasi oleh mata kuliah pendidikan. Sebaliknya, mata kuliah
bidang studi jauh berkurang. lbaratnya, pada kurikulum 1984 ini cara memegang
kapurpun diajarkan di IKIP/FKIP/STKIR Hasilnya, lulusan pendidikan guru dengan
kurikulum 1984 tidak mampu mengajar sebagaimana seharusnya. Pada akhir tahun
1980-an kembali terdapat perubahan kurikulum di lingkungan pendidikan guru.
Namun, kurikulum baru juga menunjukkan ambivalensi antara penekanan pada bidang
studi dan pada metode mengajar. Oleh karena itu hasil pendidikan guru masih
juga diragukan, khususnya di bidang penguasaan bidang studi.
Sesungguhnya perubahan kurikulum
pendidikan guru yang terjadi tidak bisa dilepaskan begitu saja pada pemahaman
akan hakekat profesi guru. Apakah guru diketagorikan sebagai hard profession
atau soft profession. Sebab, masing-masing kategori memiliki implikasi
yang berbeda terhadap lembaga dan program pendidikan guru. Suatu pekerjaan
dapat dikategorikan sebagai hard profession apabila pekerjaan
tersebut dapat didetailkan dalam perilaku dan langkah-langkah yang jelas dan
relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan bagi profesi ini adalah menghasilkan output
pendidikan yang dapat distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan
seragam di manapun pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang
sudah mampu dan akan terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri
meskipun tanpa pendidikan lagi. Pekerjaan dokter merupakan contoh yang tepat
untuk mewakili kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession
adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri
pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab,
langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi
dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak
menuntut pendidikan dapat menghasilkan lulusan dengan standar tertentu
melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini
dari waktu ke waldu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas
pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service
training bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan,
advokat, dan guru merupakan contoh dari kategori profesi ini.
Berdasarkan pemahaman bahwa tugas
guru merupakan soft profession, maka diperlukan perubahan yang mendasar
pada proses pendidikan guru kita. IKIP tidak perlu diperluas menjadi
universitas, sebaliknya IKIP harus dilebur dalam universitas. Apakah ke dalam
universitas yang sudah ada atau baru bukan hal yang prinsip. Prinsip yang
mendasar adalah bahwa semua fakultas atau bidang studi di universitas
memberikan kesempatan kepada para mahasiswa yang sudah menyelesaikan mata
kuliah bidang studi untuk memiliki sertifikat mengajar dengan mengambil mata
kuliah pendidikan dan praktek mengajar di sekolah. Dengan demikian, sistem
pendidikan guru ini memiliki kelebihan dari yang sekarang ini. Pertama,
pendidikan guru adalah S1 PLUS bidang pendidikan. Kedua, pendidikan guru tidak
inferior dibandingkan dengan pendidikan ilmu murni. Ketiga, pendidikan guru akan
memperoleh input yang berkualitas dengan mengundang mahasiswa yang
berotak cemerlang. Memang terdapat kemungkinan sangat sedikit mahasiswa yang
mengambil sertifikasi mengajar. Namun, keadaan ini hanya bersifat sementara,
karena kekurangan tenaga guru akan meningkatkan daya saing guru.
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan
dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun,
kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu
negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau tidak
ditimbang dengan kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar
dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan
akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan
perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu, bukan hanya gaji yang penting
melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan
status guru. Lagu “Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sangat mulia dan
terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda sering lagu tersebut diperdengarkan,
dan hadirin terbuai dengan kesyahduan. Namun, barangkali bagi guru sendiri akan
lebih senang kalau lagu diubah menjadi "Guru Pahlawan Penuh Tanda Jasa”.
Dengan demikian, kelak tidak hanya muballigh yang ber BMW atau Mercy, tetapi
juga para guru akan ber-Kijang atau ber-Escudo, simbol kemakmuran masyarakat
dewasa ini. Namun, barangkali merupakan suatu kemustahilan, paling tidak untuk
jangka pendek, untuk merealisir kompensasi guru yang memadai kalau hanya
bersandarkan kepada anggaran pemerintah. Barangkali, sudah masanya untuk
dipikirkan mobilisasi dana pendidikan atau dana kesejahteraan guru yang berasal
dari masyarakat. Kalau untuk keperluan lain dana mudah diperoleh misalnya untuk
prestasi olah raga, mengapa tidak bagi prestasi guru? Di sinilah letaknya,
partisipasi orang tua dan dukungan masyarakat mutlak diperlukan untuk
meningkatkan kualitas guru.
Kualitas
guru yang ditunjukkan oleh kualitas kerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen
pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis, dengan menempatkan
pengambilan keputusan di tangan-tangan yang jauh dari guru tidak menguntungkan
bagi usaha meningkatkan kualitas kerja guru. Misalnya, keharusan guru untuk
mengajar dengan CBSA, menempatkan guru pada posisi yang tidak menyenangkan.
Sebab, pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas sangat tergantung pada
kondisi dan situasi yang dipengaruhi oleh berbagai variabel. Oleh karena itu
keputusan tentang bagaimana proses belajar mengajar harus dilaksanakan yang
ditentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru
yang paling tahu apa yang harus dilakukan. Di fihak lain, dengan adanya
ketentuan dari pusat beban guru lebih ringan. Karena kegagalan dalam rnengajar bukan
hanya dikarenakan olehnya tetapi juga oleh instruksi dari atas yang tidak jalan
karena tidak cocok dengan keadaan di lapangan. Oleh karena itu, pemberian
otoriomi yang lebih besar kepada guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar akan memberikan rasa tanggung jawab lebih besar kepada guru. Rasa
tanggung jawab ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru.
Dengan pendekatan microcosmics dapat
dideskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat tergantung pada kemampuan dan
dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras dari siswa di fihak
lain. Oleh karena itu, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar juga
harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa. Tugas
tersebut tidak ringan mengingat karakteristik yang melekat pada pekerjaan guru.
Karakteristik pertama adalah pekerjaan guru bersifat individual dan cenderung non-collaborative.
Kedua, pekerjaan guru dilakukan di ruang-ruang kelas yang terisolir dalam
jangka waktu yang lama. Ketiga, ini merupakan akibat pertama dan kedua, waktu
guru untuk berdialog akademik dengan sesama guru sangat terbatas. Karakteristik
kerja guru ini menyebabkan guru merupakan pekerjaan yang tidak pernah
mendapatkan umpan balik. Tanpa adanya umpan balik sulit bagi guru untuk dapat meningkatkan
kualitas profesinya. Umpan balik merupakan sesuatu yang diperlukan oleh guru.
Untuk itu, guru perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan
self-reflection, untuk mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana
hasilnya.
Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics
dan microcosmics, menunjukkan bahwa persoalan guru dapat dikategorikan
ke dalam berbagai kelompok. Mengikuti model analisis yang dikembangkan Boediono
mengelompokan sasaran wajib belajar menjadi 8 kelompok berdasarkan kemampuan
ekonomi dan aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru dapat dikategorikan
berdasarkan tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan kurang, kemampuan
dengan predikat mampu dan tidak mampu, dan variable dedikasi dengan predikat
penuh dedikasi dan kurang dedikasi. Dengan demikian terdapat delapan kelompok
guru: 1) ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi, 2) ekonomi cukup, mampu,
tetapi tidak memiliki dedikasi, 3) ekonomi cukup, kurang mampu, tetapi memiliki
dedikasi tinggi, 4) ekonomi cukup, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi, 5)
ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh dedikasi, 6) ekonomi tidak mampu, tidak
memiliki dedikasi tetapi mampu, 7) ekonomi kurang, tidak mampu tetapi memiliki
dedikasi tinggi, dan, 8) ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak memiliki
dedikasi.
Sudah barang tentu, kebijakan dan
program peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar
tidak mungkin secara spesifik mendasarkan pada kategorisasi tersebut. Betapapun
juga, gambaran kategori tersebut perlu untuk direnungkan dalam membenahi dan
menata guru dewasa ini. Paling tidak, upaya peningkatan kualitas guru dengan
penataran untuk meningkatkan kemampuan tidak cukup. Sebab, masih ada faktor
lain yang perlu sentuhan, yakni semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya.
F. Kebijakan meningkatkan
kualitas
Kebijakan dan program peningkatan
kualitas guru daiam melaksanakan proses belajar mengajar harus menyentuh tiga
aspek sebagaimana dikemukakan di atas: aspek kemampuan, aspek semangat dan dedikasi,
dan aspek kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang tidak mencakup
ketiga aspek tersebut cenderung akan mengalami kegagalan.
Kebijakan untuk meningkatkan
kualitas guru harus banyak bertumpu pada inisiatif dan kemauan yang datang dari
fihak guru sendiri. Dengan kata lain guru sebagai subjek bukannya objek. Untuk
pengembangan kemampuan guru untuk belajar (bukan mengajar) sangat penting.
Kemampuan belajar mencakup kemampuan untuk membaca dan mengkaji fenomena
masyarakat secara efisien, kemampuan untuk menentukan bahan yang relevan dan
perlu untuk dikaji, dan, kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Dalam
kaitan ini suatu mekanisme atau prosedur untuk munculnya umpan balik bagi guru
sangat penting artinya. Salah satu yang mungkin dilaksanakan adalah membekali
guru dengan kemampuan untuk melakukan self reflection, lewat action
research.
Kemampuan
untuk belajar ini akan dapat terus hidup dan tumbuh subur manakala guru
memiliki cukup ruang untuk berinisiatif dan berimprovisasi. Untuk itu instruksi,
jukiak dan juknis yang berkaitan dengan pengajaran harus diminimalkan, kalau
tidak dapat dihilangkan sama sekali. Perluasan otoritas guru ini harus pula
diiringi dengan kebijakan untuk mengembangkan sistem accountabilitas sekolah
yang jelas dan transparan. Sekolah, termasuk guru harus menyusun program dan
target kegiatan yang jelas dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa dan
masyarakat. Hasil kerja sekolah atas pencapaian target harus dapat dievaluasi
dengan jelas oleh orang tua dan masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua
dan masyarakat sebagai konsumen. Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada
prioritas paling tinggi. Untuk itu, sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah
harus dapat bekerja secara mandiri. Sekolah harus dijiwai watak ekonomi, kerja
efektifdan efisien. Dalam kaitan inilah, school site based
management merupakan suatu tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas
sekolah. Dengan sistem manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk
tanggung jawab memajukan sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung jawab ini
pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk memberikan
yang terbaik bagi siswanya.
Upaya peningkatan kualitas guru
untuk meningkatkan kualitas lulusan harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan
guru. Prinsip school site based management menuntut
partisipasi dari fihak orang tua siswa dan masyarakat lebih besar. Partisipasi
yang pertama berkaitan dengan upaya mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi
kedua adalah aktivitas mereka dalam ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh
karena itu, sistem kerjasama orang tua dan sekolah perlu dikembang-suburkan.
Dalam mobilisasi dana pendidikan
akan terjadi ketimpangan antara satu sekolah dengan sekolah lain, sebagai
akibat adanya perbedaan kualitas sekolah. Terdapat kecenderungan bahwa semakin
berkualitas suatu sekolah maka akan semakin besar kemampuan sekolah untuk
memobilisasi dana pendidikan dari kalangan orang tua siswa dan masyarakat Sudah
barang tentu hal ini tidak perlu untuk dicegah. Yang penting adalah alokasi
anggaran pendidikan pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah
masing-masing. Anggaran pemerintah seyogyanya diarahkan ke sekolah-sekolah yang
tidak mampu memobilisasi dana disebabkan kemampuan orang tua siswa yang rendah.
Usaha yang tiada pernah mengenal
akhir bagi suatu negara adalah usaha untuk meningkatkan kemakmuran bangsanya.
Hal itu dikarenakan padahakekatnya apa yang dinamakan kemakmuran tidak ada
batasnya. Negara yang sudah sedemikian maju pun, seperti Jepang, Jerman dan
Amerika Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras untuk mencapai tingkat
kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara sedang berkembang,
nampaknya harus berusaha lebih keras dalam upaya meningkatkan kemakmuran
masrarakatnya. Suatu keuntungan bagi negara- negara sedang berkembang termasuk
Indonesia, adalah bisa mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh
negara-negara yang sudah terdahulu mengalami kemajuan. Dalam kaitan ini, dalam
upaya meningkatkan kemakmuran
bangsanya, kiranya negara-negara sedang berkembang patut menyimak
peringatan Task Force on Teaching as a
Profession on the Carnegie Forum on Education
and the Economy bahwa "Dalam usaha kemajuan, suatu
bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua kebenaran yang fundamental ; yakni, a),
keberhasilan usaha mencapai kemajuan tergantung pada keberhasitan menciptakan
kualitas pendidikan yang lebih baik daripada sebelumnya, dan b). kunci
keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan tergantung pada keberhasilan
mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional yang memiliki kekuatan
dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan sekolah masa depan.
G. Perubahan yang terus
berubah
Proses pendidikan tidak berlangsung
dalam suasana yang steril dan vakum, melainkan proses pendidikan akan
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan, baik sosial, politik, budaya,
ekonomi, dan agama. Oleh karenanya, dalam usaha meningkatkan kualitas
pendidikan dan kualitas guru para pemegang kebijakan di bidang pendidikan harus
senantiasa mengkaji dan memahami perkembangan masyarakat. mengkaji dan memahami
masyarakat lingkungan di mana pendidikan senantiasa bereaksi merupakan sesuatu
yang tidak ringan, untuk tidak mengatakan hal itu sebagai sesuatu yang berat.
Tetapi persoalannya akan semakin pelik, karena apa yang dinamakan dengan
lingkungan masyarakat senantiasa berubah dengan cepat. Sir Charles R Snow,
Filosof dan sastrawan berkebangsaan Inggris, dalam suatu karya klasiknya The
Two Cultures memberikan gambaran kecepatan perubahan yang terjadi
di masa depan dengan menyatakan "bahwa selama sejarah umat manusia sampai
abad ini tingkat perubahan sosial sangat lambatnya sehingga perubahan dapat
berlangsung tanpa kita ketahui. Tetapi lambatnya perubahan sosial tidak akan
terjadi lagi. Perubahan sosial di masa datang/depan akan berlangsung sangat
cepat. Begitu cepatnya perubahan sehingga imajinasi kita sekalipun tidak kuasa
mengikutinya".
Setiap perubahan sosial yang terjadi
membawa problema baru di masyarakat. Unluk menghadapi problema-problema baru
tersebut masyarakat menuntut pembaharuan pendidikan dan kualifikasi baru untuk
guru. Dengan demikian, pembaharuan harus pula dilaksanakan pada lembaga
pendidikan guru.
Banyak problema yang akan dihadapi
oleh masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi adanya perubahan-perubahan sosial
yang cepat di masa mendatang. Antara lain:
1.
Fungsi dan daya guna lembaga-lembaga sosial akan
merosotdan tuntutan individu dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat
semakin meningkat.
2.
Timbulnya apa yang disebut "disinformation through
over information". Informasi yang berkembang di masyarakat akan
melimpah sehingga Naisbitt mengatakan masyarakat akan ditenggelamkan oleh
informasi. Akibatnya informasi yang ada hanya mempunyai daya laku semakin
pendek. Keadaan ini juga mempengaruhi di bidang pengetahuan di mana
"kebenaran hari ini adalah suatu hal yang salah untuk hari
berikutnya".
3.
Melimpahkan informasi yang ada di masyarakat akan
membawa kontradiksi informasi dan peningkatan kecepatan perubahan, yang pada
gilirannya akan melecehkan kekuasaan di segala aspek kehidupan. Termasuk
kekuasaan orang tua, kekuasaan tokoh-tokoh agama, dan juga kekuasaan pemimpin
politik.
4.
Berkembangnya rasa "pesimisme" di kalangan
masyarakat terhadap perkembangan yang ada, misalnya pertumbuhan penduduk yang
cepat, kejahatan yang meningkat, kerusakan lingkungan yang semakin meluas.
Pesimisme yang berlebihan akan bisa menimbulkan sikap tak acuh ataupun
sebaliknya, sikap radikal revolusioner.
5.
Empat krisis uang telah disebut di depan akan
menimbulkan krisis di dalam memahami apa yang terjadi di dunia ini. Ellol,
sosiolog Perancis, menggambarkan krisis ini dengan mengemukakan,"Kita
semua hidup di dalam suatu masyarakat yang tidak bisa dibayangkan. Seseorang
tidak lagi bisa memiliki pengetahuan tentang masa depan melebihi apa yang
diketahui tentang masa kini ....... Jalinan hubungan antara fenomena, reaksi
satu terhadap yang lain, mekanisme hubungan antara peristiwa satu dengan yang
lain yang tidak terduga, dampak dari informasi yang tidak dapat diperhitungkan
lagi, faktor-faktor yang saling mengkait yang muncul begitu terpisah satu
dengan yang lain......... dan perasaan terjebak pada keadaan yang memusingkan sehingga tidak dapat
melepaskan diri. Masyarakat nampaknya tidak bisa melepaskan dari keadaan yang
membingungkan disebabkan apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa dilihat
secara menyeluruh komprehensif.
M. Implikasi pada dunia
pendidikan
Trend
perkembangan dunia sebagaimana ditunjukkan dengan adanya perubahan sosial yang
cepat di atas menuntut adanya paradigma baru dunia pendidikan. Yakni adanya
pandangan holistis. Pandangan ini berarti pendidikan akan menekankan pada
pendekatan yang menyeluruh dan bersifat global. Pandangan holistis ini akan
menimbulkan dua pembaharuan di dunia pendidikan, a). Bahwa pendidikan akan
menekankan pada anak didik "berfikir secara global dan bertindak bersifat
lokal", dan b). pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak semata-mata
bermakna ekonomis, tetapi meliputi pula keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas
dan kebaikan untuk semuanya.
Dengan adanya paradigma baru di atas
maka tuntutan kualifikasi hasil pendidikan juga akan berubah. Pendidikan
dituntut untuk menekankan pengembangan kemampuan tertentu pada diri anak didik.
Antara lain : a) kemampuan untuk mendekati permasalahan secara global dengan
pendekatan multidisipliner, b) kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang
sedemikian deras, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kehidupan
sehari-hari, c) kemampuan untuk menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain
secara kreatif, d) meningkatkan kemandirian anak karena tingkat otonomi
kehidupan pribadi dan keluarga semakin tinggi, e) menekankan pengajaran lebih
pada learning how to learn, dari pada learning
something.
Sebagai
konsekuensi paradigma baru pendidikan, dan tuntutan pembaharuan pendidikannya
maka dunia pendidikan memerlukan guru-guru dengan kualifikasi dan kemampuan
baru. Sebagai konsekuensi lebih lanjut berarti pembaharuan pendidikan menuntut
pembaharuan bagi pendidikan guru. Pembaharuan pada pendidikan guru pada
dasarnya di arahkan agar pendidikan guru mampu menghasilkan guru-lulusan sesuai
dengan tuntutan kualifikasi masa depan di mana masyarakat senantiasa berubah
dengan cepat.
Implikasi perubahan masyarakat yang
beritingsung dengan cepat dan pembaharuan pendidikan pada pendidikan guru
antara lain dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Masyarakat
mengalami perubahan-perubahan yang berlangsung terus-menerus dalam tempo yang
cepat mengakibatkan pengetahuan dan kemampuan guru "merosot". Sebaliknya,
perubahan-perubahan yang cepat menuntut guru harus senantiasa meningkatkan
kemampuan dirinya untuk bisa memenuhi tuntutan perubahan. Sehingga pada
hakekatnya para guru di masa depan dituntut untuk bisa mengembangkan life
long education. Oleh karena itu lembaga pendidikan guru perlu
mengembangkan inservice training yang berkesinambungan. Dengan inservice
training yang berkesinambungan ini diharapkan guru senantiasa mampu
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan perkembangan
masyarakat. Salah satu model yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan guru
adalah mengembangkan hubungan dengan alumni dalam suatu struktur organisasi
yang memadai yang bisa berfungsi untuk menyebarkan pengetahuan kepada para
anggota baik lewat modul-modul ataupun majalah-majalah. Kesemuanya dalam upaya
menempatkan para anggota pada posisi yang mampu menyadap pengetahuan baru.
2. Di masa
depan arus informasi berlangsung pada debit yang sangat deras. Alfin Toffler
mengatakan masyarakat akan dihadapkan pada over choices, pilihan
yang berlebih-lebihan. Dalam keadaan yang sedemikian ini kemampuan yang
dibutuhkan oleh warga masyarakat adalah kemampuan untuk mengambil keputusan
yang tepat. Dengan demikian pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan pengambilan keputusan tersebut. Implikasinya pada lembaga
pendidikan guru adalah bahwa beranjak dari semata-mata menekankan pada mastery
learning ke arah pada pengembangan critical thinking, decision
making skills dan communication skills. Dengan demikian
pendidikan lembaga pendidikan guru akan menekankan pada pengembangan kemampuan
untuk menseleksi informasi, kemampuan untuk memahami dan memecahkan problema,
kemampuan untuk mengembangkan alternatif, dan kemampuan untuk mengambil
keputusan. Konsekuensi lebih lanjut proses belajar mengajar pada lembaga
pendidikan guru harus bergeser dari subject oriented menjadi problem
oriented.
3. Membanjiri
informasi di masyarakat menuntut penekanan pada proses lebih daripada hasil.
Dengan demikian penyampaian materi dalam proses belajar akan lebih bersifat problem
oriented daripada bersifat materi oriented. Hal ini
menyebabkan guru tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi
bagi anak didik. Guru akan lebih banyak dituntut berperan sebagai fasilitator
dan motivator dalam proses belajar mengajar. Implikasinya, lembaga pendidikan
guru harus bisa memberikan model, bagaimana peran dosen sebagai fasilitator dan
motivator. Dengan kata lain, perlu ada perubahan penampilan para dosen lembaga
pendidikan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengajar.
4. Perubahan-perubahan
yang berlangsung dengan cepat, mengakibatkan struktur pekerjaan dan kualifikasi
pekerjaan juga akan berubah dengan cepat. Akibatnya, pendidikan tidak bisa lagi
mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia kerja dengan sebaik-baiknya. Hal
ini dikarenakan kecepatan perubahan yang terjadi menjadikan kurikulum
memecahkan masalah yang sebenarnya tidak ada, dan tidak mampu memecahkan
masalah yang sesungguhnya dihadapi. Dengan demikian kurikulum akan senantiasa
memerlukan revisi yang relatif cepat. Konsekuensinya, diperlukan guru-guru yang
mempunyai daya adaptasi tinggi, untuk mampu menghadapi perubahan kurikulum.
Keadaan ini menuntut pada pendidikan guru untuk bisa menghasilkan lulusan yang
mampu mengembangkan materi pelajaran yang senantiasa berkembang dan berubah.
Oleh karena itu lembaga pendidikan guru perlu untuk menyusun kurikulum yang
lebih mempunyai daya fleksibilitas dan adaptasi yang tinggi.
3.4. Mempersiapkan
Kurikulum Pendidikan Abad XXI
Pendidikan merupakan
suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek
yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara
pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan
hidup. Prosesnya bersifat kompleks dikarenakan interaksi di antara berbagai
aspek tersebut, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi
lingkungan, metode mengajar yang digunakan, tidak selamanya memiliki sifat dan
bentuk yang konsisten yang dapat dikendalikan. Hal ini mengakibatkan penjelasan
terhadap fenomena pendidikan bisa berbeda-beda baik karena waktu, tempat maupun
subjek yang terlibat dalam proses. Dalam proses pendidikan tersebut diatas,
kurikulum menempati posisi yang menentukan. lbarat tubuh, kurikulum merupakan
jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai,
pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan
bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan.
Disebut berdimensi jangka panjang karena
proses-pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa
depan, suatu masa yang tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa
kini. Berkaitan dengan kurikulum, dimensi jangka panjang ini memberikan
pemahaman bahwa suatu kurikulum harus merupakan jembatan bagi peserta didik
untuk dapat mengantarkan dari kehidupan masa kini ke kehidupan masa depan.
Peserta didik yang berada di bangku
sekolah dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat
baik bagi diri, keluarga dan masyarakatnya pada abad XXI. Oleh karena itu,
muncul pertanyaan bagaimana sosok kurikulum pendidikan untuk abad XXI ?
A. Brain
researchs
Suatu kurikulum pendidikan ditentukan oleh dua
faktor dasar, yakni, faktor internal yang berupa pemahaman atas bagaimana
sistem kerja otak, dan, faktor eksternal yang berupa kualifikasi dan kemampuan
yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Pemahaman terhadap proses pendidikan dewasa ini
didasarkan pada asumsi bahwa intelegensi merupakan ciri bawaan (heredity)
yang bersifat statis. Asumsi ini didukung oleh hasil brain research kala
itu sebagaimana dilaporkan oleh Eral Hunt (1995) yang antara lain menunjukkan
bahwa: a) sistem kerja otak statis, b) penyebaran intelegensi sebagai kurva
normal berbentuk be// shape, c) terdapat kemungkinan untuk
menentukan secara spesifik berapa besar intelegensi yang diperlukan untuk
mempelajari konsep dan skill tertentu di sekolah dan menguasai
fungsi-fungsi vokasional yang diperlukan dalam kehidupan, d) tes standarisasi
dapat dipergunakan untuk mengukur intelegensi seseorang dan memprediksi
kemampuan yang akan dapat dicapai, dan, e) intelegensi terdiri dari kemampuan numeric
dan fingual.
Implikasi dari hasil brain research ini adalah bahwa
seseorang dalam belajar bersifat pasif, hanya mampu mempelajari sesuatu
informasi secara bertahap poin demi poin, dalam praktek pendidikan siswa
dijadikan objek yang bersifat pasif dalam menerima transmisi pengetahuan dari
sumbernya, dan pemahaman komprehensif adalah strukturisasi pengetahuan dan
terjadi lewat hapalan dari serpihan-serpihan informasi, serta proses pemahaman
harus dikendalikan dari luar berupa sederetan aktivitas yang dilakukan oleh
pengajar. Pendidikan merupakan proses penyampaian informasi tersebut dan
menariknya kembali lewat tes-tes yang difokuskan pada komponen intelegensi yang
statis dan penguasaan pengetahuan. Operasionalisasi dari ide ini adalah
munculnya beberapa konsep dalam kurikulum, seperti a) pokok bahasan, b)
sub-pokok bahasan, c) mata pelajaran requirement, d) mata pelajaran
pokok, e) mata pelajaran pendukung, f) pengayaan, g) remedial, dan
lain-lainnya.
Penelitian mutakhir sistem kerja otak sebagaimana
diuraikan oleh Caineand Caine (1991) dalam bukunya Making connection: Teaching
and human brain, menunjukkan bukti yang berbeda.
Intelegensi ternyata bersifat dinamis dan dapat berkembang. Lebih daripada itu,
intelegensi tidak hanya berkaitan dengan aspek cognitive semata, tetapi
berkaitan pula dengan emosi, sehingga disebut dengan Emotion Intellegence
yang disingkat EQ (sebagai pelengkap IQ). Bukti-bukti menunjukan bahwa
dalam keberhasilan pendidikan seseorang peranan IQ hanya sekitar 20 %. Sisanya
80 % sebagian besar ditentukan oleh EQ dan faktor kedewasaan sosial. EQ adalah kemampuan
seseorang untuk mengendalikan aspek-aspek psikologis dalam diri sendiri yang
mencakup a) amarah, b) kesedihan, c) rasa takut, d) kenikmatan, e) cin+a, f)
terkejut, g) jengkel, dan, h) malu. Kemampuan mengendalikan aspek psikologis
diperlukan agar EQ ini bisa bekerja secara harmonis dengan IQ. Singkat kata,
kalau EQ baik otak akan dapat bekerja dengan baik pula.
Emosi akan memberikan respon terhadap stimulus yang
diterima secara sangat cepat, begitu cepatnya sehingga otak belum sempat
bereaksi. Ketidakmampuan mengendalikan aspek-aspek psikologis tersebut (atau EQ
di atas) menyebabkan perilaku seseorang tidak didasarkan oleh otak tetapi oleh
emosi. Oleh karenanya, kemampuan mengendalikan aspek psikologis atau EQ ini
perlu dilatih dan dikembangkan untuk menghasilkan respon-respon yang baik dan
tepat.
Hasil-hasil penelitian sistem kerja otak mutakhir
tersebut juga menunjukkan bahwa:
1.
Pemahaman adalah merupakan hasil
interaksi siswa dengan informasi dalam situasi spesifik.
2.
Keahlian memerlukan pengalaman yang
banyak dan analitik.
3.
Ingatan dan penggunaan apa yang diingat
tersebut membutuhkan proses informasi yang mendalam yang ditentukan oleh
kebermaknaan informasi tersebut.
4.
Intelegensi tidak hanya memiliki aspek
cognitive (berwajah cognitive atau didominasi oleh aspek cognitive)
tetapi memiliki multi aspek (banyak
wajah). Howard Gardner, ahli psikologi Cognitive dari Harvard University, telah
mengembangkan teori multiple abilities, talents, and skills.
Teori lama yang hanya menekankan pendidikan pada dua kemampuan: verbal-linguistics
dan logical-mathematical, sudah ketinggalan zaman. Terdapat berbagai
kemampuan atau bakat yang dapat memperkaya dan memajukan kehidupan dalam
merespon lingkungan secara efektif. Berbagai kemampuan tersebut antara lain:
a. Kapasitas
untuk memahami ruang dan bidang yang dapat dipergunakan untuk memahami berbagai
keberadaan geografis, navigasi atau untuk mengembangkan persepsi seseorang.
Dalam tingkat yang sederhana, adalah kemampuan untuk memahami berbagai
bentuk-bentuk yang berkaitan.
b. Bodily-kinesthetic
ability untuk mengontrol gerakan dan perilaku tubuh seseorang dan
menangani objek secara profesional.
c. Musical-rhytmatical ability untuk
menghasilkan atau mengapresiasi
ritme, nada dan berbgai bentuk ekspresi musik.
d. Interpersonal
capacity untuk menanggapi secara tepat temperamen, moods, motivasi
keinginan fihak lain.
e. Intrapersonal
knowledge dari perasaannya, kekuatan, kelemahan, keinginan serta
kemampuan diri sendiri untuk mengambil kesimpulan sebagai petunjuk perilakunya
sendiri.
f. Logical-mathematical ability untuk
menjabarkan sesuatu secara logis
atau pola pengelompokan numerik, dan menangani hubungan panjang yang saling
berkaitan.
g. Verbal-Linguistics
sensitivity atas suara, irama, makna kata dan sensitif terhadap berbagai
fungsi bahasa.
Brain research memastikan bahwa pengalaman konkret,
kompleks dan beraneka warna sangat esensial bagi proses belajar mengajar. Siswa
perlu memahami secara baik pola-pola yang lebih besar sebab bagian-bagian
senantiasa tertempel pada keutuhan, fakta senantiasa berada pada konteks yang
beraneka warna, dan satu subjek pasti terkait dengan banyak isu dan subjek
lain. Apa yang harus dikuasai oleh siswa adalah pemahaman yang bermakna. Otak
diciptakan sebagai suatu pola detektor yang bekerja secara dinamis, dan
memahami suatu subjek sebagai hasil dari pemahaman hubungan dari berbagai
faktor.
Hal di atas tidak berarti bahwa teori dan sesuatu
yang abstrak tidak perlu dipelajari, melainkan sebaliknya, dalam dunia yang
berubah dengan cepat, semakin banyak teori, konsep, dan pemahaman dimiliki oleh
seseorang, semakin besar kemampuan orang tersebut untuk mentransfer dan menjual
skill yang dimiliki.
B. Pergeseran
struktur tenaga kerja
Bagaimana dampak pergeseran struktur tenaga kerja
terhadap pendidikan? Dunia kerja tetap saja harus menyediakan jutaan dollar
untuk pelatihan, terutama untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan high-level-cognitive
dan technical skill yang diperlukan pada era industri informasi
ini. Apa maknanya bagi dunia pendidikan? Dunia pendidikan harus berani
mengevaluasi untuk menentukan seberapa besar materi yang ada sekarang ini yang
perlu diberikan kepada peserta didik. Sekolah perlu mengurangi materi yang
sekarang ini dan menambah materi-materi baru yang diperlukan oleh dunia
industri di masa mendatang. Oleh karena itu, membangun jembatan antara sekolah
dan dunia kerja harus merupakan program dari sekolah.
Pada abad XX dunia kerja ditandai dengan produksi
massal dan terstandarisasi untuk menurunkan ongkos produksi. Proses produksi
semacam ini bersifat mekanistis yang memerlukan tenaga kerja khusus namun
kontrol tenaga kerja terbatas, sistem quality control jelas, dan
proses produksi harus dijauhkan dari kemalasan tenaga kerja.
Namun proses produksi pada abad XXI berubah. Pasar
dewasa ini bersifat fleksibel, harus dapat segera menanggapi perubahan, dan
kerjasama .dalam menyusun ongkos merupakan kunci utama untuk dapat menang dalam
persaingan. Oleh karena itu, organisasi dunia industri memerlukan a) integrasi
dari semua bagian dari proses produksi seperti bagian perencanaan, mesin,
pemasaran, proses produksi, dll., b) herarkis struktur organisasi yang
mendatar, c) desentralisasi tanggung jawab, dan, d) lebih banyak melibatkan
karyawan dalam pengambilan keputusan di segala jenjang. Sistem ini akan lebih
responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan perubahan, fleksibel, dan lebih
memungkinkan untuk melaksanakan pembaharuan yang berlangsung secara terus
menerus. Narnun, sistem ini memerlukan tenga kerja yang memiliki skiil
yang berbeda-beda dan skiil yang lebih tinggi serta lebih terdidik.
Persoalan yang muncul adalah: 1) Berapa besar konsekuensi dari perubahan
tersebut? 2) Seberapa besar cakupan perubahan pada berbagai perusahaan pada
dunia industri. 3) Sebarapa jauh perubahan tersebut akan terjadi secara
permanen?
Pada masa awal perubahan, tetap saja lebih banyak
pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja dengan skill yang rendah, seperti
dalam usaha rumah makan, warung kebutuhan sehari-hari dan kerja administrasi kantor,
dan tipe pekerjaan tersebut akan merupakan pilihan utama bagi pencari
kerja untuk pertama kali. Namun dalam
perkembangannya tahap demi tahap dunia kerja harus direstrukturisasi sehingga
merupakan pekerjaan yang memerlukan kemampuan pekerja yang lebih tinggi.
Pendidikan tidak hanya mempersiapkan peserta didik
untuk mampu bekerja pada satu jenis bidang yang relevan. Melainkan, pendidikan
harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu memasuki berbagai bidang
kerja. Sekolah Menengah Umum, di samping harus mampu mempersiapkan lulusan
untuk memasuki dunia pendidikan tinggi, harus pula mampu mempersiapkan lulusan
untuk siap memasuki pelatihan dari dunia kerja untuk memasuki berbagai bidang.
Namun, dibalik itu kita harus mencatat temuan hasil
suatu penelitian. Dalam research cognitive, antropologi dan otak, sebagaimana
dilaporkan oleh Raizen (1989) dalam Reforming education at work:
A Cognitive science perspective, menunjukkan bahwa
seseorang belajar secara berbeda lewat pengalaman dalam kehidupan dibandingkan
pengalaman dari sekolah formal. Namun, meski hasil-hasil penelitian tersebut
meyakinkan, apa yang terdapat dalam proses pendidikan formal tetap saja tidak
pernah memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman yang terjadi di luar
sekolah. Hasilnya terdapat kesenjangan antara pengalaman di sekolah dan apa
yang ada di masyarakat, antara lain sebagai berikut:
1. Sekolah menekankan
pada individual performance, sebaliknya apa yang terjadi
di luar sekolah senantiasa menekankan socially shared performance.
2. Sekolah
menekankan pada pemikiran yang tidak memerlukan alat bantu, sebaliknya dunia
kerja senantiasa memerlukan alat bantu.
3. Sekolah
senantiasa menekankan pada simbol-simbol yang terpisah dari objek, sebaliknya
kehidupan dunia kerja menekankan pada upaya riil dalam menangani objek.
4. Sekolah
bertujuan untuk menyerap pengetahuan dan skill secara urnum, sebaliknya
dunia kerja memfokuskan pada pengetahuan dan skill yang relevan dengan
situasi tertentu.
C. Implikasi
pendidikan jangka panjang
Hasil Brain research dan pergeseran struktur
tenaga kerja tersebut di atas mengajarkan pada kita hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pada diri siswa perlu dikembangkan
kemampuan dasar, meliputi: a) basic skills, b) thinking skill,
dan, c) personal skill. Basic skill antara lain
membaca dan menginterpretasikan informasi, menulis dan mengembangkan informasi,
matematik dan berhitung, mendengarkan, dan berbicara. Thinking skill
terdiri dari: kreativitas, pengambilan keputusan, problem solving,
visualizing, knowing hot to learn, dan, reasoning.
Personal skill meliputi: kemampuan mengendalikan diri, tanggung
jawab, self-esteem, sociability, self-management, dan
integritas-kejujuran.
Kedua, kemampuan mengembangkan di tempat kerja,
mencakup: a) kemampun untuk mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan dan
mengalokasi sumber-sumber, b) bekerjasama dengan orang lain (interpersonal
skill), c) menguasai dan memanfaatkan informasi, d) memahami hubungan
sosial, organisasi, dan teknologi yang kompleks (sistem) dan dapat bekerja
sesuai dengan sistem serta menyempurnakan sistem yang ada, dan, e) bekerja
dengan berbagai teknologi, termasuk pemilihan, aplikasi, perawatan dan
memecahkan problem.
Ketiga, sistem pengelolaan penyampaian bahan
pelajaran bercirikan sebagai berikut: a) penyajian materi bersifat tematik yang
merupakan kombinasi beberapa pokok bahasan yang bersifat lintas bidang, b)
pengajar merupakan team teaching bukan lagi individual, c) model
cooperatiye learning sebagai pengganti individual learning,
dan, d) outcome aspek afektif lebih jelas.
Lebih khusus, hasil-hasil penelitian sistem kerja
otak dan pergeseran struktur tenaga kerja dalam jangka panjang memiliki
implikasi terhadap proses belajar mengajar, sebagai berikut :
PERBEDAAN
PROSES PEMBELAJARAN
MODEL LAMA DAN
MODEL BARU
No
|
Aspek
|
Pemahaman Sistem Kerja Otak dan
Struktur Kerja Lama
|
Pemahaman Sistem Kerja Otak dan
Struktur Kerja Baru
|
1.
|
Penyajian Materi
|
Tersusun dalam pokok bahasan dan sub
pokok bahasan
|
Tersusun dalam problem, tema dan
terintegrasi
|
2.
|
Outcome |
Aspek kognitif sangat menonjol, aspek
afektif lemah
|
|
3.
|
Guru
|
Individual
|
Team Teaching |
4.
|
Prosedur
|
Relatif rigid
|
Relatif fleksibel
|
5.
|
Sasaran
|
Pemahaman konsep
|
Pemahaman konsep, hubungan dan
keterkaitan
|
6.
|
Pinsip-model Learning
|
Individual learning |
Cooperative learning |
7.
|
Sasaran evaluasi
|
Individu
|
Individu dan kelompok
|
8.
|
Pola belajar
|
Potongan demi potongan menjadi gambar
|
Kerangka untuk ditempel gambar
|
D. Implikasi
dalam pendidikan jangka pendek
Berbagi kebijakan dan inovasi pendidikan dewasa ini,
sadar atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang
memiliki IQ relatif tinggi. Sebut saja sebagai contoh pembaharuan kurikulum dan
diperkenalkannya matematika modern lebih menguntungkan mereka para siswa yang
memiliki otak relatif encer. Ditambah lagi dengan sistem pengajaran yang
bersifat klasikal tanpa membedakan perbedaan individu menyebabkan anak yang
berotak encer akan semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal
akan tetap ketinggalan. Sedangkan, fakta menunjukkan siswa yang memiliki otak
relatif encer paling tinggi hanya sekitar 10%. Dengan kata lain, kebijakan dan
pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan hanya menguntungkan bagi 10% siswa
terpandai.
Temuan-temuan penelitian otak (brain research)
mutakhir seperti yang diungkapkan oleh Goleman dalam buku ’Emotion Intelfigence’,
memberikan kemungkinan dikembangkannya kebijakan yang dapat meningkatkan
keberhasilan pendidikan 90% siswa yang memiliki intelegensi biasa-biasa atau
malah relatif lemah. Artinya, sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan,
sehingga meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya.
Apakah emosi itu? Emosi menurut Goleman, adalah
"suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan
psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi,
bersama dengan campuran, variasi, mutasi dan nuansanya." EQ, merupakan
kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah
kegiatan yang mendatangkan hasil optimal.
Dengan emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk
dapat berfungsi dengan baik.
Penjabaran emosi
seringkali muncul dalam berbagai bentuk. Antara lain, marah, ketakutan,
perasaan senang, cinta, kesedihan, kenikmatan, keterkejutan, kejengkelan, dan
malu. Emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang sejalan dengan perkembangan
usia seseorang. Semakin dewasa emosi yang dimiliki akan semakin matang. Namun,
kedewasaan emosi juga bisa berkembang sebagai hasil interaksi dengan
lingkungan, baik interaksi tersebut disengaja oleh fihak lain ataupun tidak.
Dengan demikian, guru bisa berperan sebagai faktor lingkungan. Secara sadar
ataupun tidak, baik direncanakan ataupun tidak perilaku mengajar guru di kelas
mempengaruhi perkembangan emosi siswa. Oleh karena itu, pemahaman baru tentang
kerja otak mengajarkan pada kita yang bergerak di dunia pendidikan, bahwa
selain melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi yang meningkatkan
kemampuan otak siswa, para pendidik, khususnya guru harus pula memiliki program
aksi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Keberhasilan
guru mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi akan menghasilkan
perilaku siswa yang baik. Jadi, terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil
mengembangkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang
terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara
optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.
Namun, perkembangan emosi siswa banyak dipengaruhi
dengan proses yang terjadi di luar sekolah, terutama di lingkungan keluarga.
Oleh karena itu, dalam upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa
mengendalikan emosi, guru harus senantiasa melakukan komunikasi dengan orang
tua siswa. Tidak jarang, siswa tidak memiliki rasa memiliki keluarga, artinya,
mereka ini tidak merasa aman dan nikmat di lingkungan keluarga. Dalam kasus ini
peran sekolah yang penting.
Upaya sekolah mengembangkan kemampuan siswa
mengendalikan emosi didasarkan pada tiga hal:
Pertama, sekolah harus mampu menciptakan rasa aman
bagi para siswa:
1. Atmosfir
kelas yang demokratis
2. Guru
memahami kondisi siswa.
Kedua, sekolah harus mampu menciptakan self-efficcy
pada diri siswa, yakni rasa bahwa ia memiliki kemampuan untuk melaksanakan
tugas-tugas sekolah. Langkah yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Guru
harus menghindari dari menyalahkan siswa. Untuk mengatakan bahwa siswa salah
harus diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak membikin siswa malu.
2. Guru
menghindarkan diri dari perilaku mengejek siswa yang dapat merendahkan mental
yang bersangkutan.
3. Guru
lebih banyak mempersilakan siswa secara sukarela (voluntir) menjawab pertanyaan
atau soal. Kalau menunjuk siswa, guru perlu menghindarkan diri dari menyuruh
siswa untuk menjawab pertanyaan atau soal, yang guru sendiri sudah memiliki
pandangan bahwa siswa tersebut tidak akan bisa menjawab.
4. Sekolah
harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan emosinya daripada
membendung dan menumpas emosi siswa. Olah raga dan kegiatan kesenian merupakan
saluran yang paling baik untuk menyalurkan emosi siswa.
5. Guru
harus bersedia dikritik oleh siswa tanpa menunjukkan rasa marah atau jengkel.
Siswa akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi apabila para guru
terlebih dahulu memiliki hal yang sama.
Pergeseran struktur
tenaga kerja, memiliki implikasi dalam perspektif jangka pendek, antara lain
sebagai berikut:
1. Sekolah
dan Guru harus mulai memperbanyak tugas-tugas yang harus dikerjakan secara
kelompok, dengan tujuan meningkatkan kemampuan siswa bekerjasama dalam
kelompok.
2. Sekolah
dan guru harus senantiasa mengembangkan kaitan antara apa yang dipelajari di
sekolah dan kehidupan riil di masyarakat.
3. Siswa
dibiasakan dan dilatih untuk mencermati apa yang terjadi di lingkungannya,
serta menyusun laporan sebagai hasil pengamatan tersebut.
4. Semenjak
dini siswa sudah dibiasakan dengan tugas-tugas yang memiliki dampak positif
bagi masyarakatnya. Misal, kerja bakti, siswa mengajar anak yang lebih muda.
Ketiga, sekolah harus dapat membantu siswa dalam
menyalurkan emosi lewat kegiatan yang positif dan konstruktif.
3.5. Kebersamaan dalam Belajar untuk
Menghilangkan Ketimpangan
A. Ketimpangan dalam pendidikan
Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang
bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses
integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan
kelompok miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for
Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari
1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara
kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa. Diramalkan bahwa kekayaan
dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk
miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga
penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200
industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia,
tetapi hanya menyerap 1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif
rendah. Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial
bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi
dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks.
Ujung-ujungnya, persoalan ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu
proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya
perlu dijadikan topik pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari
pemecahannya secara jernih.
Merupakan sesuatu yang jamak, bahwa bangsa yang
menghadapi problem akan menengok kepada pendidikan. Peran apakah yang dapat
dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk memecahkan persoalan kesenjangan sosial
tersebut? Namun, ternyata pendidikan sendiri tidak bebas dari ketimpangan
sosial. Malahan banyak paedagog atau sosiolog, seperti Randall Collins dalam
The Credentiai Society: An Historical Sosiology
of Education and Stratafication, mengemukakan
bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses
stratafikasi sosial itu sendiri. Di Indonesia tesis ini didukung dengan adanya
pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu dan
miskin. Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang lebih luas untuk
memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan di
universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat
yang tidak mampu harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki
sekolah yang tidak berkualitas sepanjang masa sekolahnya.
Tidak jarang
sekolah yang jelek yang berada di kota-kota, lebih khusus lagi di kota-kota
besar cenderung akrab dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Di samping itu
lingkungan sekolah yang tidak berkualitas cenderung memunculkan kekerasan.
Anak-anak dari keluarga miskin yang berada di sekolah-sekolah yang "tidak
bermutu" sadar bahwa mereka tidak akan mampu bersaing dengan anak-anak
dari sekolah yang "bermutu" yang kebanyakan datang dari keluarga
mampu. Mereka, sejak dini sudah dipaksa memendam dendam yang tidak pernah
terekspresikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan anak-anak yang lahir dari
kelompok miskin cenderung menjadi penganggur, lingkungan fisik dan psikis
tergencet serta dibayangi dengan tindak kejahatan. Hal ini acapkali menjadikan
anak memiliki emosi yang tidak stabil, mudah marah, agresif dan frustasi, dan
gampang terkena provokasi.
Latar belakang keluarga yang didominasi oleh
kemiskinan ini menjadikan mereka yang semula menganggap sekolah sebagai surga,
ternata mengalami kenyataan yang berbeda. Di sekolah mereka sering menemui
kenyataan betapa sulit untuk menjadikan guru sebagai panutan dan sekaligus
pengayom. Interaksi di sekolah justru semakin menjadikan mereka frustrasi.
Sekolah tidak memberikan kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri mereka
sendiri. Keadaan bertambah buruk manakala banyak guru dapat dikatakan tidak
mampu lagi menciptakan hubungan yang bermakna dengan para siswa dengan baik.
Hal ini dikarenakan beban kurikulum yang terlalu sarat di samping kondisi
sosial ekonomi menyebabkan guru tidak dapat berkonsentrasi dan melakukan
refleksi dalam melaksanakan pengabdian profesionalnya. Tanpa ada kontak yang
bermakna dan berkesinambungan antara guru dan siswa, guru tidak akan mampu
mengembangkan wawasan siswa mengenai perilaku masa kini demi keberhasilan di
masa depan.
B. Dimensi ketimpangan
Dimensi ketimpangan sosial di sekolah sesungguhnya
tidak serumit yang terjadi di masyarakat luas. Mark Griffin dan Margaret
Batten, peneliti pendidikan berkebangsaan Australia, dalam bukunya 'Equity
in Schools: An independent Perspective',
mengemukakan dua aspek penting dalam mengkaji ketimpangan di dunia pendidikan.
Pertama ujud ketimpangan, yang dapat terjadi dalam ujud input, yakni
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, atau ketimpangan dalam
ujud output atau hasil pendidikan. Kedua, ukuran ketimpangan, yang dapat
diukur pada level individu atau ketimpangan pada level kelompok, seperti
kelompok siswa kaya dan miskin, kelompok siswa berasal dari desa dan dari kota,
kelompok siswa laki-laki dan siswa pe rempuan. Apa yang dikernukakan oleh kedua
peneliti pendidikan tersebut amat penting untuk merencanakan intervensi lewat kebijakan
pendidikan guna mengatasi problem ketimpangan pendidikan.
Aspek ketimpangan dalam ujud output pendidikan
dipusatkan pada kualitas lulusan baik dalam arti nilai akhir ujian seperti NEM
ataupun dalam arti kualitas kemampuan lulusan. Dimensi tersebut dapat
dianalisis pada level mikro individual atau dalam level makro atau kelompok.
Intern suatu sekolah dapat diketemukan perbedaan prestasi antar siswa yang erat
berkaitan dengan latar belakang status sosial masing-masing individu. Tetapi di
samping itu, perbedaan diketemukan dalam perbandingn antar kelompok, baik
intern satu sekolah maupun antar sekolah. Sekali lagi perbedaan tersebut erat
berkaitan dengan status sosial ekonomi kelompok yang bersangkutan.
James Coleman dalam 'Equality of educational
opportunity' merupakan sosiolog yang telah membuktikan adanya realitas
ketimpangan output pendidikan dalam kaitan dengan ketimpangan input
pada level kelompok di Amerika Serikat. Namun, hanya sekitar 10% varian
ketimpangan output yang dapat dijelaskan oleh ketimpangan input.
Artinya, ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio guru-siswa, kualitas guru,
hanya memberikan kontribusi kecil dalam menimbulkan ketimpangan output.
Sedangkan Frederick Jenck dalam laporan penelitian Inequity
in Education membuktikan ketimpangan output pendidikan
dengan menggunakan pada level individual. Namun, kajian ketimpangan pendidikan
yang didasarkan pada output pendidikan dikritik keras oleh John Keevess,
lewat artikelnya Equitable Opportunities in Australian
education, sebab pendekatan output menjadikan ketimpangan
pendidikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan dan upaya mengatasi
ketimpangan lebih tepat disebut sebagai suatu ilusi.
Sebaliknya, pendekatan input lebih praktis dan
lebih operasional. Pendekatan ini melihat adanya ketimpangan pendidikan dalam
ujud bahwa siswa mendapatkan kesempatan untuk menikmati fasilitas pendidikan
yang tidak sama. Perbedaan ini bisa berupa kualitas guru, prasarana dan
fasilitas pendidikan, dan sebagainya.
Ketimpangan pendidikan dalam kesempatan untuk mendapatkan fasilitas
pendidikan dapat dianalisis pada level individu ataupun kelompok. Ketimpangan
input dan proses ini lebih mudah diatasi dengan menyediakan fasilitas yang
diperlukan. Perbedaan antar individu dalam suatu sekolah dapat diatasi,
misalnya, dengan penyediaan fasilitas buku sehingga setiap siswa bisa
menggunakan satu buku. Tetapi, pengalaman di banyak negara sedang berkembang
termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas input tidak selamanya
akan meningkatkan output pendidikan, sebagaimana disimpulkan oleh
Coleman di atas. Sebab, dibalik kesamaan fisik yang diperoleh oleh
masing-masing individu muncul pertanyaan apakah siswa dengan latar belakang
sosial ekonomi tinggi mendapatkan pelayanan yang sama dengan siswa yang berasal
dari keluarga miskin? Apakah guru benar-benar dapat berperilaku adil terhadap
semua siswa tanpa melihat latar belakang mereka?
Dengan mendasarkan pada dua dimensi di atas,
ketimpangan sekolah dapat dikelompokkan dalam empat varian: a) ketimpangan
dalam ujud input dalam ukuran individual, b) ketimpangan dalam ujud input
dalam ukuran kelompok, c) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran
individual, dan, d) ketimpangan dalam ujud output dalam ukuran kelompok.
Pemecahan permasalahan ketimpangan masing-masing kelompok memerlukan kebijakan
intervensi yang berbeda.
C. Cooperative learning
Proses
sekolah dewasa ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu,
sekolah tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok.
Mulai dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi
akhir hasil studi, semua itu merupakan tugas invidual. Dalam persaingan untuk
mencapai prestasi di antara siswa ini sekolah sama sekali tidak menanamkan
semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di
dunia ekonomi siapa yang kuat akan berkembang, demikian pula di dunia
pendidikan. Panekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan
kesenjangan hasil pendidikan. Ditambah lagi, setiap pembaharuan pendidikan pada
umumnya senantiasa menguntungkan siswa yang relatif mampu dan berdomisili di
kota-kota, sehingga kesenjangan pendidikan semakin tajam. Sebagai contoh,
pengenalan matematika modern menyebabkan kesenjangan prestasi siswa baik pada
level individual maupun level kelompok semakin menganga.
Sejalan dengan perlunya dikembangkan solidaritas
sosial di kalangan
siswa, pendekatan individu
dalam dunia pendidikan perlu
diimbangi dengan pendekatan yang
berbasis kerjasama, kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan
siswa dalam kerjasama, dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta
kemampuan untuk mengambil keputusan. Salah satu pendekatan dalam proses belajar
mengajar yang berbasis kelompok adalah Cooperative Learning.
Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para
siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang
akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga diarahkan
untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan
ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan
secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip
kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan
masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan
demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang
pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya
bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga
bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative
teaming. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian
tentang "School Practices That improve Race Relations"
yang dimuat pada American Educational Research Journal
menyatakan: dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Cooperative
learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih
tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan
sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling
kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih
terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan
guru, buku-buku civics, sejarah, dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi
sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara
kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap
dan perilaku sosial siswa.
Dengan kata lain, apabila guru melaksanakan proses
belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru
tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam
ujud output pada level individual. Di samping itu, berkembangnya
kesetiakawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan
dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level individual.
Demikian pula dapat diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang di samping
memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan
solidaritas sosial yang kuat.
3.6. Kultur Sekolah dan Prestasi
Siswa
Dengan dana yang tidak sedikit telah banyak dilaksanakan
berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperti penyelenggaraan
penataran guru, penyediaan buku teks siswa, dan pengadaan alat-alat
laboratorium. Namun demikian, kualitas sekolah dari sekolah dasar sampai
sekolah menengah tidak mengalami kenaikan yang berarti. Hal ini, sudah barang
tentu, menimbulkan tanda tanya besar: Dimana letak permasalahannya?
Untuk memberikan jawaban hipotetis atas persoalan
tersebut, nampaknya hasil kajian Hanushek atas berbagai laporan penelitian
pendidikan di negara-negara sedang berkembang patut diperhatikan. Hanushek
menyimpulkan "bahwa upaya meningkatkan kualitas pendidikan adalah tidak
semudah yang diduga. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa pendekatan "konvensional" dalam meningkatkan mutu dengan
menyediakan dana meningkatkan kualitas serta kuantitas variabel input,
seperti pelatihan guru, penyediaan buku teks, penyediaan fasilitas pendidikan
yang lain, tidaklah menghasilkan sebagaimana yang diinginkan". Oleh karena
itu, agar mutu meningkat, selain dilakukan secara konvensional sebagaimana
selama ini telah dilaksanakan perlu diiringi pula dengan pendekatan
in-konvensional.
A. Kultur sekolah
Sekolah
sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat
dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen
sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah
secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek pertama, yakni
meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan
dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur
sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu salah, karena aspek
itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun, sejauh ini bukti-bukti
telah menunjukkan, sebagaimana dikemukakan oleh Hanushek di atas, bahwa sasaran
peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup. Dengan kata lain perlu
dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni, meningkatkan mutu
dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama
oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap,
nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu
perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian
dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan
memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh
satu generasi kepada generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang
yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi
tersebut.
Dalam dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa
(bukan kultur sekolah) yang diduga sebagai faktor yang paling menentukan
kualitas sekolah. Tetapi berbagai penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur
bangsa terhadap prestasi pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti
terakhir, hasil TIMSS (The Third international Math and Science
Study) menunjukkan bahwa siswa dari Jepang, dan Belgia sama-sama menempati
pada rangking atas untuk mata pelajaran matematik, padahal kultur negara-negara
tersebut berbeda. Oleh karena itu, para peneliti pendidikan lebih memfokuskan
pada kultur sekolah, bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu
faktor penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir
penelitian di bidang pendidikan yang menekankan bahwa "faktor penentu
kualitas pendidikan tidak hanya dalam ujud fisik, seperti keberadaan guru yang
berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi
juga dalam ujud non-fisik, yakni berupa kultur sekolah".
Konsep kultur di dunia pendidikan berasal dari kultur
tempat kerja di dunia industri, yakni merupakan situasi yang akan memberikan
landasan dan arah untuk berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien
dan efektif. Salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini
adalah Antropolog Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola
pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun
implisit. Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz tersebut di
atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai,
norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam
perjalanan panjang sekolah. Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang
bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai
dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di
sekolah.
Pengaruh
kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat
penelitian empiris. Kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi
dengan a) prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, b) sikap dan motivsi
kerja guru, dan, c) produktivitas dan
kepuasan kerja guru. Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat
sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, sesuatu yang ada pada
suatu kultur sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kaitan dengan
aspek yang lain, seperti, a) rangsangan untuk berprestasi, b) penghargaan yang
tinggi terhadap prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan
sekolah, e) ideologi organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua siswa, g)
kepemimpinan kepala sekolah, dan, h) hubungan akrab di antara guru. Dengan kata
lain, dampak kultur sekolah terhadap prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi
tidaklah bersifat langsung, melainkan lewat berbagai variabel, antara lain
seperti semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.
Di Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang
menyangkut kultur sekolah dalam kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi
mengingat bahwa sekolah sebagai suatu sistem di manapun berada adalah relatif
sama, maka hasil penelitian di Amerika Serikat tersebut perlu mendapatkan
perhatian, paling tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan
pendidikan kita.
B. Faktor pembentuk kultur sekolah
Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh
berkembang selama waktu di sekolah, dan perkembangan mereka tidak dapat
dihindarkan yang dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta oleh
interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di sekolah, seperti
kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan antar siswa sendiri. Aturan sekolah
yang ketat berlebihan dan ritual sekolah yang membosankan tidak jarang
menimbulkan konflik baik antar siswa maupun antara sekolah dan siswa. Sebab
aturan dan ritual sekolah tersebut tidak selamanya dapat diterima oleh siswa.
Aturan dan ritual yang oleh siswa diyakini tidak mendatangkan kebaikan bagi
mereka, tetapi tetap dipaksakan akan menjadikan sekolah tidak memberikan tempat
bagi siswa untuk menjadi dirinya.
.7. Hasil Pendidikan yang Utuh
Kebijakan yang baik untuk problem yang tidak benar
bagaikan memberikan obat yang mujarab untuk penyakit yang keliru: Hasilnya akan
sia-sia. Perumpamaan ini relevan bagi dunia pendidikan dewasa ini. Sesungguhnya
persoalan pendidikan kita dewasa ini bukannya semata kemampuan penguasaan
materi pelajaran siswa rendah sebagaimana ditunjukkan oleh NEM yang rendah,
melainkan juga terjadinya degradasi pendidikan. Artinya untuk melakukan
pekerjaan yang sama dewasa ini diperlukan latar belakang pendidikan yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi Prajurit Tamtama ABRI diperlukan ijazah
SMU, sedangkan pada masa lampau cukup dengan ijazah SD. Sudah barang tentu akan
sangat naif apabila kemudian menyimpulkan bahwa lulusan SD sekarang lebih
rendah dibandingkan dengan lulusan SD masa lampau. Kemajuan masyarakatlah yang
menuntut kualifikasi pendidikan yang
lebih tinggi. Untuk itu,
betapapun kualitas NEM ditingkatkan tetap saja akan terjadi problem pendidikan
dalam masyarakat. Sebab, hakekat persoalannya bukan di situ. Persoalan
pendidikan kita yang mendasar adalah bagaimana melakukan peningkatan mutu dalam
kerangka reformasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan zamannya, yakni era
globalisasi dengan segala kecepatan perubahan yang terjadi di segala aspek
kehidupan masyarakat.
A. Basic skills
Fenomena terjadinya degradasi pendidikan bukanlah
hanya di negeri kita atau negara sedang berkembang yang lain. Dua guru besar
ekonomi, Richard J. Murname dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT
telah melakukan studi yang mendalam di Honda of American Manufacturing (HAM)
dan di Industri Motorola. Hasil kajian keduanya sebagaimana yang dimuat dalam
bukunya 'Teaching The New Basic Skills' (1996),
antara lain membuktikan bahwa meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata
matematik telah meningkat dari skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun
1992 untuk anak usia 9 tahun dan dari skor 289 pada tahun 1982 menjadi 307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun,
tetap saja terjadi fenomena degradasi ijazah sebagaimana dikemukakan di atas.
Akibat degradasi ijazah ini mengakibatkan penurunan gaji yang diperoleh lulusan
SMA pada masa kini dibandingkan dengan lulusan SMA pada masa lampau. Kalau pada
tahun 1979 lulusan SMA dengan memiliki pengalaman kerja sekitar 10 tahun memperoleh
gaji 27.500 dollar, maka pada tahun 1993
lulusan SMA dengan pengalaman kerja 10 tahun hanya memperoleh gaji 20.000
dollar. Inti dari studi ini menekankan betapapun prestasi siswa ditingkatkan
tetap saja akan muncul problem, sebab persoalan utama adalah dunia ekonomi
mengalami kemajuan yang pesat, sedangkan di fihak lain dunia pendidikan
bergerak maju sangat lambat.
Sejalan dengan itu, bagi kedua ekonom tersebut,
kebijakan yang diperlukan adalah bagaimana mempercepat kemajuan dunia
pendidikan dalam arti yang utuh dan hakiki, lewat reformasi pendidikan yang
mendasar sehingga memungkinkaan pendidikan berkembang dengan cepat, tidak
sekedar meningkatkan kemampuan daya serap materi pelajaran sebagaimana
ditunjukkan dengan skor hasil tes.
Dengan mengacu perkembangan ekonomi dan masyarakat
yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan, menurut Murname dan
Levy, reformasi yang diperlukan di dunia
pendidikan adalah menetapkan skill dasar yang harus dikembangkan
pada diri setiap peserta didik. Skill dasar tersebut meliputi:
1.
The hard skids, yang mencakup
dasar-dasar matematik, problem solving, kemampuan membaca yang jauh
lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan yang ada sekarang ini pada SMU.
2.
The soft skills, yang meliputi kemampuan
bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas
baik dengan lisan maupun tulis.
3.
Kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana,
seperti seperti word processor.
B. Pendidikan holistik
Pada hakekatnya pendidikan kita bertujuan untuk
menghasilkan manusia yang utuh. Namun, kenyataan dalam praktek dewasa ini tak
terhindarkan lagi bahwa tujuan pendidikan hanya menekankan aspek kognitif
dengan ditunjukkan oleh sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional yang
menghasilkan NEM. Sehubungan dengan itu, basic skills yang diajukan oleh
kedua pakar ekonomi di atas justru telah mencakup ketiga aspek: kognitif (the
hard skills dan kemampuan memahami bahasa komputer), sosial, dan
emosi (the soft skills). Persoalan yang muncul adalah
bagaimanakah ketiga aspek tersebut dapat dikembangkan pada diri peserta didik
sebagai suatu satu kesatuan yang utuh?
Dunia pendidikan sudah sangat terbiasa dengan
pembagian sesuatu ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, seperti bidang studi
dipecah-pecah dalam pokok bahasan, dan sub-pokok bahasan. Administrasi juga
dipisah-pisah menjadi bagian-bagian yang kecil-kecil. Pemecahan menjadi
berbagai pecahan kecil-kecil ini berdasarkan asumsi bahwa kalau
serpihan-serpihan digabungkan akan menjadi satu keutuhan kembali. Namun asumsi
ini jauh dari realitas yang berlangsung. Siswa yang memiliki NEM tinggi untuk
suatu mata pelajaran tidak berarti siswa telah menguasai pelajaran tersebut
secara utuh. Sebab, memang secara substansi gabungan-gabungan dari
serpihan-serpihan tidak harus diartikan mesti menjadi satu keutuhan. Demikian
pula, asumsi bahwa Guru bimbingan dan konseling ditambah guru agama serta guru
PPKN bertugas untuk mengembangkan sosial dan emosi siswa, sedangkan, guru-guru
mata pelajaran yang lain, seperti matematika, fisika, ekonomi, bertugas untuk
mengembangkan intelektual siswa, sulit untuk terus dipertahankan.
Perkembangan teori baru di bidang perkembangan
kognitif, seperti dikemukakan oleh
Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in
College: Gender-Related Patterns in Students'
Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek
pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional harus merupakan
satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini peranan konteks
sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting. Proses yang berlangsung di
sekolah harus senantiasa dikaitkan dengan proses yang ada di luar sekolah.
Goleman dalam buku 'Emotion intelligence' (Sudah diterjemahkan
dan diterbitkan oleh Gramedia, 1995) juga menekankan betapa proses learning
sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang motivasi atau sebaliknya
malah menekan motivasi unuk berprestasi menjadi rendah.
C. Aspek mikro dalam pendidikan
Dalam kaitan pengembangan diri pribadi yang holistik
ini sudah barang tentu proses belajar
mengajar yang didominasi oleh
ceramah dengan guru sebagai sumber tunggal dan siswa sebagai pendengar yang
baik mendapatkan kritikan yang keras. Sebagai alternatif muncullah berbagai ide
seperti Teori Pendidikan Pembebasan oleh Fraire, teori Constructivist
oleh Brooks dan Brooks, Cultural Perspective oleh Rhoads dan
Black, Collaborative Learning oleh Bruffee. Teori-teori
pembelajaran baru ini dimaksudkan untuk mengubah proses belajar mengajar yang
bersifat monolitik dan steril dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung di luar
sekolah, sebagaimana yang dipraktekan di dunia sekolah dewasa ini, dengan
melibatkan sosial dan emosi dalam proses pembelajaran. Dengan mengubah otoritas
pembelajaran dari tangan guru dan lebih menekankan unsur pengalaman pribadi
siswa dalam proses pembelajaran, disertai dengan mengkaitkan apa yang
dipelajari di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya,
diharapkan pendidikan akan lebih dapat mengembangkan diri siswa secara utuh.
Reformasi pendidikan perlu mempertimbangkan
perkembangan teori-teori pembelajaran baru tersebut. Teori Pembebasan Freire
menekankan pada prinsip bahwa sistem budaya masyarakat merupakan sumber
kekuatan warga masyarakat, bagaikan jaring laba-laba di mana laba-laba hidup. Ia
menyatakan bahwa sistem pendidikan harus ditransformasikan lewat praksis, di
mana refleksi dan aksi akan secara bergantian mengubah tatanan yang ada. Teori
Pembelajaran Constructivist didasarkan pada prinsip bahwa guru harus me
nyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa mencari makna, menghargai
ketidakpastian, dan bertanggung jawab dalam proses "pencarian". Teori
ini mengakui bahwa penekanan pada kinerja dan memberikan jawaban yang benar
pada soal model pilihan ganda menghasilkkan pemahaman yang minim pada diri
siswa, sedangkan fokus proses pembelajaran adalah menimbulkan pada diri siswa
pemahaman yang mendalam dan kemampuan mempergunakan konsep dan pengetahuan yang
diperoleh sampai di luar ruang-ruang kelas.
Teori Constructivist membantu siswa untuk mampu bertanggung jawab
atas proses pembelajaran yang dilakukan oleh diri seseorang yang mandiri,
mengembangkan pemahaman dan konsep secara terintegrasi, dan mampu mencari
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting. Teori Pembelajaran Kultural menekankan
kekuatan kultur dan subkultur masyarakat. Teori ini memiliki prinsip bahwa
lewat sistem kultural yang ada dewasa ini kondisi pendidikan dapat dianalisis
dan diubah untuk dikembangkan menjadi proses pembelajaran yang efektif. Untuk
itu pendidikan harus meninjau ulang asumsi dan nilai-nilai mereka sendiri dalam
praktek pendidikan. Teori pembelajaran Collaborative menekankan pada
proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik
intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari fihak siswa maupun guru.
Teori ini didasarkan poda ide bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan
adalah merupakan proses aktivitas sosial, di mana siswa perlu mempraktekkannya.
Pendidikan bukannya proses di mana siswa hanya menjadi penonton dan pendengar
yang pasif.
Berdasarkan uraian di atas, maka lembaga pendidikan
harus bergeser untuk mengembangkan kultur pembelajaran yang holistik termasuk
mengembangkan visi pendidikan yang jelas, konsisten, disertai dengan
kepemimpinan yang dapat memberikan arah, memajukan keterlibatan siswa dalam
proses pembelajaran, mengembangkan masyarakat pembelajaran, mendorong munculnya
iklim belajar di manapun juga, dan secara sadar mengembangkan proses
sosialisasi profesional baik di kalangan guru ataupun siswa. Kepemimpinan yang
konsisten dan mampu memberikan arah diperlukan sebab budaya masyarakat memang
menghendakinya. Prinsip kepemimpinan tersebut memiliki implikasi bahwa
kepemimpinan lembaga harus dilihat sebagai suatu keniscayaan, bahwa
transformasi pendidikan mencakup seluruh hirarkis kelembagaan. Dengan demikian,
transformasi pendidikan diarahkan untuk mengembangkan sejumlah peran
kepemimpinan di sekolah, meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar
mengajar, menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk ambil peran,
mendorong dan menghargai inisiatif siswa, dan memberikan insentif bagi
keterlibatan siswa. Tujuan akhir transformasi pendidikan adalah menghasilkan
siswa yang utuh: Kematangan intelektual, sosial, dan emosi.
3.8. Reformasi Pendidikan: dari Fondasi
ke Aksi
Krisis yang
dialami bangsa Indonesia baik ekonomi, politik dan keamanan belum juga dapat di
atasi. Berbagai krisis tersebut di atas berdampak negatif terhadap dunia
pendidikan dengan memunculkan keseimbangan baru pendidikan. Pada keseimbangan
baru ini, pelayanan pendidikan tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara
seperti biasa (bussines as ussual). Orientasi pelayanan pendidikan dengan
menggunakan cara berfikir lama tidak dapat diterapkan dengan begitu saja, dan
bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan
pada keseimbangan baru ini. Cara-cara berpikir baru dan terobosan-terobosan
baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan
pada saat ini dan di masa mendatang. Dengan kata lain, reformasi pendidikan
merupakan suatu imperative action.
Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks,
berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif,
sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada
dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat
difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila
dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi
dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi
di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat
bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk
reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan
diperlukan waktu enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap
fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung
jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus
memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam
pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan
peningkatan mutu pendidikan.
Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan
agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan
pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a)
mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya
pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis
sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang
diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan merupakan titik sentral yang
perlu diperhatikan dalam setiap reformasi pendidikan. Dengan kata lain,
reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada, bukan
mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi
hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga
dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis.
Apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat
mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan
keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan.
Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan
keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi
tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci
yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi
akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor
tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik.
Implementasi reformasi pendidikan yang berada di
antara kebijakan publik dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar
tersebut, memusatkan pada empat dimensi: Dimensi Kultural-Fondasional, dimensi
Politik-Kebijakan, dimensi Teknis-Operasional, dan dimensi Kontekstual.
A. Dimensi fondasional kultural
Dimensi kultural berkaitan dengan nilai, keyakinan dan
norma-norma berkaitan dengan pendidikan, seperti apa sekolah itu?, siapa guru
itu? Seberapa jauh materi yang harus dipelajari oleh siswa? dan, siapa siswa
itu? Siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol sekolah? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan gambaran fungsi dan tanggung
jawab serta peranan komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai
administrasi, siswa, bahkan orang tua siswa.
Secara khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh
perilaku dan peran baru siswa khususnya dalam proses belajar dan mengajar di
sekolah. Perubahan pada diri siswa tersebut sebagai hasil adanya perubahan
perilaku pada diri guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar khususnya,
dan perubahan iklim sekolah pada umumnya.
Perubahan perilaku guru merupakan perubahan pada aspek
teknis yang dapat disebabkan oleh aspek politik. Namun, reformasi pendidikan
tidak dan lebih dari sekedar dimensi teknis dan politik, melainkan harus
meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi. Sayangnya, aspek kultural
merupakan sesuatu yang bersifat relatif abstrak sekaligus sulit untuk
dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan
nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan.
Berkaitan dengan dimensi kultural ini, sekolah harus
diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi dan kehidupan
(organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian dari suatu sistem yang
besar (mekanik). Sebagai suatu sistem organik, sekolah dapat dilihat sebagai
tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka yang harus didekati
dengan sistem thinking. Artinya, dalam pengelolaannya sekolah harus
dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah
harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking
tersebut dapat diidentifikasi struktur, umpan balik, dan dampak, seperti: a)
keterbatasan perubahan pendidikan, b) pergeseran sasaran reformasi pendidikan,
c) perkembangan pendidikan, dan, d) sektor pendidikan yang kurang dijamah.
B. Dimensi politik-kebijakan
Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan
dan pengaruh, termasuk di dalamnya negosiasi untuk memecahkan konflik-konflik
dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks.
Reformasi memiliki wajah plural yang satu sama lain saling berinteraksi.
Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya
berbagai kebijakan tetapi satu kebijakan dengan yang lain saling melengkapi,
menuju arah tunggal: meningkatkan kemajuan pendidikan. Juga, ditunjukkan oleh
adanya serangkaian kebijakan di mana kebijakan yang kemudian melengkapi kebijakan
sebelumnya.
Dimensi politik ini tidak sekedar adanya hak-hak
politik warga sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah, tetapi memiliki
pengertian yang lebih luas. Yakni, penekanan pada adanya kebebasan atau otonomi
sekolah, khususnya dalam kaitan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan otonomi
yang dimiliki sekolah, keberadaan sekolah akan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat sekitararnya. Sekolah tidak terlalu menggantungkan
pada birokrasi di atas, tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu pada kekuatan
masyarakat sekitar. Untuk itu, keberadaan Pemimpin Lokal di samping
kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kunci dari keberhasilan sekolah.
Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah
harus senantiasa memberdayakan (empowering) guru, antara lain dengan tidak
banyak memberikan instruksi atau petunjuk melainkan memberikan tantangan,
insentif dan penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah. Keberhasilan
reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru.
Yakni, guru memiliki otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan
bagaimana visi dan misi sekolah harus diujudkan dalam praktek sehari-hari.
Pemberdayaan guru ini akan memungkinkan mereka memadukan apa yang mereka yakini
dengan agenda aksi reformasi.
Sekolah yang baik senantiasa memiliki visi dan misi.
Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru dan merupakan landasan
kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan dalam melaksankan misi
di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun suatu iklim kerjasama di
antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru. Kerjasama di antara guru ini
akan memperkuat proses pemberdayaan guru.
Pemberdayaan guru perlu dilakukan pula lewat pemberian
kesempatan dan dorongan bagi para guru untuk selalu belajar menambah ilmu.
Proses pembelajaran sepanjang waktu bagi guru merupakan keharusan, dan menjadi
titik pusat dalam reformasi pendidikan. Proses pembelajaran (learning)
terjadi manakala guru memiliki kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan
visi mereka sendiri tentang bagaimana perubahan yang diperlukan dalam
mewujudkan pendidikan yang lebih baik.
C. Dimensi teknis operasional
Dimensi teknis berkaitan dengan pengetahuan dan
kemampuan profesional dan bagaimana keduanya dapat dikuasai oleh pendidik.
Dengan kata lain, aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru untuk
melakukan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar
mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi. Sudah barang tentu hal ini
menuntut adanya perubahan perilaku baik siswa, kepala sekolah dan juga di
lingkungan kantor pendidikan selaku fihak yang memiliki wewenang untuk.
merumuskan kebijakan pendidikan.
Kemampuan guru yang dituntut dalam setiap reformasi
pendidikan pada umumnya adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan
kemampuan paedagogik. Orientasi kurikulum harus lebih menitikberatkan pada
penguasaan akan konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan berbagai hubungan
antar konsep-konsep tersebut, serta lebih menekankan pada cara bagaimana
peserta didik menguasai konsep dan hubungan untuk dikaitkan dengan realitas
kehidupan masyarakat dibandingkan hanya menguasai serpihan-serpihan pengetahuan
dan kumpulan fakta.
Di samping kurikulum harus disempurnakan, guru harus
memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan pendekatan dan cara mengajar
yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang
melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP seminar, pelatihan dan lewat media
cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua adalah meningkakan komunikasi
akademik baik di kalangan guru sendiri maupun dengan kalangan luar sekolah.
Dengan komunikasi ini diharapkan secara berkesinambungan para guru akan
mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sendiri.
D. Dimensi kontekstual
Pendidikan tidak berproses dalam suasana vakum dan
tertutup, namun terbuka, senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain yang
berada di luar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut dapat memiliki dampak
positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain: a)
kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, b) perkembangan media massa, dan c)
sistem politik pemerintahan.
Keberhasilan reformasi pendidikan juga ditentukan oleh
seberapa besar dukungan masyarakat. Warga masyarakat, khususnya mereka orang
tua siswa yang memiliki kelebihan dalam harta dan pendidikan perlu dilibatkan
dalam proses reformasi sejak awal. Dukungan masyarakat pada umumnya, dan orang
tua siswa khususnya tidak sebatas dukungan finansial, tetapi jauh lebih luas.
Termasuk antara lain dukungan orang tua siswa. dalam bentuk partisipasi untuk
meningkatkan proses pembelajaran.
Untuk itu, orang tua siswa khususnya dan tokoh-tokoh
masyarakat pada umumnya, perlu diajak memahami visi dan misi sekolah, dan mengambil
peran dalam melaksanakan misi sekolah sesuai dengan keyakinan dan kemampuan
mereka sendiri.
Empat aspek di atas: Kultural-Fondasional,
Politik-Kebijakan, Teknis-Operasional
dan dimensi kontekstual dapat disilangkan dengan empat fokus: a) kondisi
riil masa kini, b) hakekat reformasi atau reformasi yang ingin dicapai, c)
penghambat untuk terlaksananya reformasi, dan d) program aksi yang perlu
dikembangkan untuk muwujudkan tujuan reformasi, dapat diujudkan dalam matriks
analisis reformasi sebagai berikut.
MATRIKS REFORMASI PENDIDIKAN
|
Kondisi Masa Kini
|
Esensi Reformasi
|
Faktor Penghambat
|
Program Aksi
|
Aspek Teknis
|
Pengajaran one way direction dan
tidak dapat merangsang peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas
kurikulum sangat rendah
|
Meningkatkan kemampuan dan
kreatifitas guru, mengembangkan sistem komunikasi professional di kalangan
guru sehingga menjadi “a Learning Teacher”. Mengembangkan kurikulum
yang menekankan pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep tersebut
yang terintegrasi ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel.
Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku baru siswa dalam
pembelajaran, mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses
pembelajaran.
|
Kualitas dan kemampuan guru kurang
siap untuk melaksanakan PBM yang lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist).
Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum oleh guru belum sebagaimana di
harapkan.
Siswa terbiasa belajar dengan
mendengar, menghafal, dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda.
Resistensi di kalangan guru untuk
melaksanakan feformasi.
|
Meningkatkan sistem In service
Training yang lebih komprehensif.
Memperbanyak forum bagi guru untuk
meningkatkan kemampuan profesional, seperti seminar, penerbitan
majalah/Jurnal Guru secara berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
Membekali para guru dengan
kemapuan penelitian aksi, sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan
meningkatkan keterampilan mengajar.
|
Aspek Politis
|
Manajemen sentralistis birokratis.
Kepala Sekolah terbiasa bergantung
keatas.
Inovasi pada dimensi sekolah amat
rendah.
|
Menciptakan sistem persekolahan
dimana masing-masing sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Mengembangkan kepemimpinan Kepala
Sekolah dengan sifat-sifat inovatif.
Mendorong Kepala Sekolah untuk
senentiasa berupaya memberdayakan guru.
Menjadikan Fungsi pokok Departemen
Pendidikan, Kanwil dan Kandep lebih menekankan sebagai pendukung dan
pelayanan kebutuhan sekolah untuk mencapai program nasional.
|
Tidak adanya konsesus yang jelas
dan terbuka berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di kalangan
luas masyarakat.
Pola kepemimpinanpaternalistik.
|
Memberikan kewenangan yang luas
bagi Kepala Sekolah dalam menjalankan program nasional sesuai sekolah
masing-masing. Seperti, merumuskan visi dan missi sekolah, mengelola
sumber-sumber, dan menentukan sasaran dan target sekolah.
|
Aspek Kultur
|
Kreatifitas dan inisiatif rendah.
Kepemimpinan kepala sekolah gaya
komando. Kultur sekolah tidak kondusif untuk mencapai prestasi (sasaran
persaingan, kurang kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu aktif, siswa kurang
disiplin dan belajar keras.
|
Mengembangkan norma baru tentang
peran dan perilaku.
Mengembangkan dan membiasakan sistem
kolaborasi dalam proses pembelajaran.
|
Fokus sekolah terlalu menekankan
NEM, dan mengabaikan aspek yang lain.
|
Mengembangkan sistem insentif dan rewards
bagi upaya-upaya inovatif.
Mengembangkan sistem penghargaan
atas keberhasilan guru dan siswa yang tidak saja di bidang prestasi
intelektual tetapi juga pada bidang-bidang yang lain.
Mengembangkan suasana kebersamaan
di samping suasana kompetitif di sekolah.
|
Aspek Kontekstual
|
Terpisah dari masyarakatnya.
Dukungan masyarakat rendah.
Faktor negatif lingkungan amat
besar (TV, Film, dll)
|
Mengembangkan iklim hubungan
sekolah dan masyarakat yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu
dengan masyarakat sekitar.
|
Sebahagian besar siswa berasal
dari tempat yang jauh dari sekolah.
Masih besar rasa ketidakpercayaan
penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat sekitar.
Masyarakat tidak melihat sekolah
bagian dari mereka.
|
Memberikan kesempatan
seluas-luasnya partisipasi orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan
kemampuan mereka.
|
E. Sekolah mandiri
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Sekolah mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan
mandiri dalam konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian
dalam melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik
kondisi lokal setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan
dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah
dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan
mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah, guru, pegawai
administrasi dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara
kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan masyarakat. Kultur,
kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain: a) setiap sekolah
memiliki visi dan misi, b) sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data
kuantitatif, c) sekolah merupakan sistem organik, d) sekolah memiliki
kepemimpinan mandiri, e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh
komponen sekolah, f) sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan
utama memberikan kepuasan maksimal bagi
siswa, orang tua siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan, g) sekolah
mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan interaksi
internal maupun eksternal seluruh warga sekotah.
F. Ciri sekolah mandiri
Sekolah Mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk
suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu seperti anggaran dan kurikulum.
Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum tentu sekolah sudah memahami
tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola sekolah, dan akan mengambil
langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat dikatakan,
bahwa implementasi Sekolah Mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran baru dalam
menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru harus memiliki
otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk dari kantor
pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya perlu
disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi prestasi siswa
dan kepuasan orang tua siswa dan masyarakat, serta sumber-sumber yang tersedia
perlu disampaikan pada dimensi sekolah sehingga sekolah memiliki pertimbangan
yang jelas dalam menentukan kegiatan.
Visi dan misi
Sekolah harus megembangkan visi dan misi sendiri. Visi
suatu sekolah merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen
sekolah akan keadaan masa depan yang diinginkan. Keberadaan visi ini akan
memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih
giat. Visi sekolah harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif,
realistis, menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa depan.
Misi erat berkaitan dengan visi. Kalau visi merupakan
pernyataan tentang gambaran global masa depan, maka misi merupakan pernyataan
formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan
ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi
merupakan upaya untuk konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan
diujudkan.
Visi dan misi sekolah merupakan penjabaran atau
spesifikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan dengan latar
belakang dan kondisi lokal. Adalah sangat mungkin latar belakang dan kondisi
lokal dari sekelompok sekolah memiliki kemiripan, dan untuk ini dimungkinkan
untuk mengembangkan visi dan misi dari beberapa sekolah yang berada dalam suatu
cluster sekolah.
Visi dan misi sekolah ini akan terus membayangi
segenap warga sekolah: Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa dan
orang tua siswa, dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita di sini? Apa yang
harus kita perbuat atau kerjakan? Bagaimana kita melaksanakan? Bagi kepala
sekolah harus selalu ditantang dengan pertanyaan: Mengapa dan untuk opa saya
jadi kepala sekolah? Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala sekolah?
Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru:
Mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Apa yang harus saya kerjakan sebagai
guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan
tersebut akan mendorong seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan
fungsi masing-masing bekerja keras berdasarkan misi guna mendekati visi
sekolah.
Sekolah sebagai sistem organik
Suatu sekolah merupakan gabungan dari berbagai, baik
akademik maupun non-akademik, termasuk bagaimana interaksi guru-siswa formal
dalam proses belajar mengajar, interaksi
antar guru, interaksi guru dan pegawai administrasi dalam proses mengurus
kenaikan pangkat guru, interaksi antara siswa dan staf perpustakaan dalam
proses bagaimana tenaga perpustakaan melayani para siswa, interaksi antara guru
dan kepala sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah memimpin para guru,
dan sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di sekolah tersebut,
memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja sekolah memiliki suatu
sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari seluruh interaksi yang
ada di sekolah.
Inti dari interaksi
pendidikan adalah interaksi
formal guru-siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan interaksi
dari berbagai komponen pendidikan: guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan.
Dalam istilah yang singkat disebut proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'.
Meskipun interaksi formal dalam proses pembelajaran merupakan interaksi
akademik, tetapi interaksi ini tidak bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang
lain termasuk kegiatan non-akademik, seperti interaksi dalam proses pengurusan
kenaikan jenjang jabatan guru, pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel
bendera, atau kepemimpinan sekolah. Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan
kebutuhan dari seluruh interaksi tersebut.
Sekolah jangan dipandang sebagai suatu jaringan
individu tetapi sebagai jaringan interaksi. Setiap interaksi akan menghasilkan
kekuatan atau energi yang berpengaruh terhadap sekolah: negatif atau positif.
Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas interaksi berlangsung akan menentukan
sifat dan besaran energi. Oleh karena itu, sekolah mandiri harus memfokuskan
pada interaksi ini di samping memfokuskan pada diri individu warga sekolah.
Sudah barang tentu fokus ini tidak dapat dipisahkan secara absolut, melainkan
secara simultan. Malahan dapat dikatakan bahwa sekolah harus secara simultan
memahami masing-masing individu dengan segala karakteristiknya dan interaksi
saling ketergantungan dari berbagai individu tersebut. Kita tidak dapat
memisahkan keduanya.
Tuntutan yang penting adalah sekolah perlu
mengidentifikasi keberadaan berbagai bentuk interaksi dengan masingmasing
karakteristik pokok yang menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a) interaksi
formal dalam ujud proses belajar mengajar, b) interaksi guru informal, c)
interaksi guru formal dalam rapat, d) interaksi siswa dalam kelas, e) interaksi
siswa di luar kelas, dan sebagainya. Masing-masing interaksi tersebut masih
dapat diperinci. Interaksi belajar mengajar terdiri dari: a) interaksi guru
dalam menjelaskan materi, b) interaksi guru dalam mengajukan pertanyaan
terhadap siswa, c) interaksi guru dalam menanggapi jawaban siswa, dan
sebagainya.
Karakteristik masing-masing interaksi tersebut akan
menghasilkan energi yang bersifat positif atau negatif. Bersifat positif
apabila hasil interaksi akan menimbulkan seseorang bekerja lebih keras.
Sebaliknya, bersifat negatif apabila interaksi akan menyebabkan seseorang
menjadi malas, tertekan, dan menurun semangatnya. Dalam kalangan profesi
kedokteran, interaksi antar dokter menimbulkan energi positif untuk kemajuan
ilmu kedokteran, sebab apabila dokter ketemu dokter mereka bertukar pikiran
tentang bagaimana pengalaman mereka berkaitan dengan praktek pengobatan.
Demikian juga kalau insinyur ketemu insinyur yang dibicarakan adalah bagaimana
teknik pembangunan jalan layang baru yang lebih hemat dan canggih telah
diketernukan, sehingga interaksi ini menimbulkan energi yang positif. Tetapi
tengoklah, kalau guru berinteraksi dengan guru, jarang mereka membicarakan
pengalaman masing-masing dalam interaksi dengan siswa. Kalau interaksi guru
dengan guru dapat diubah dan di arahkan dalam interaksi mereka membicarakan
pengalaman mereka tentang proses belajar mengajar, maka interaksi ini akan
menimbulkan energi yang dahsyat yang akan membawa kemajuan pendidikan. Dalam
jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya guru membiasakan berdiskusi
dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan mengalami perubahan besar.
Dalam sekolah mandiri yang memiliki sifat sistem
organik, kepala sekolah di samping menaruh perhatian terhadap warga sekolah
sebagai individu atau kelompok, ia juga harus memahami dan menaruh perhatian
terhadap proses interaksi ini. Energi yang dihasilkan oleh interaksi tersebut
harus dicermati dan merupakan sesuatu yang akan diorganisir. Kepala sekolah
berperan untuk memfokuskan, mendorong, mengembangkan dan mengorganisir serta
mengelola energi tersebut
untuk di arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu
sekolah dan seluruh warganya harus bersifat adaptif.
Dekonsentrasi dan desentralisasi
Sekolah Mandiri merupakan implementasi dari
desentralisasi pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaannya, pada Sekolah Mandiri
perlu dikembangkan Dekonsentrasi pengambilan keputusan yang memerlukan
restrukturisasi organisasi pendidikan.
Organisasi pendidikan bersifat sentralistis. Kebijakan
pendidikan secara umum dan politis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan.
Keputusan politis ini harus dijabarkan oleh direktorat jenderal yang relevan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab untuk
merumuskan kebijakan pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan Dirjen ini akan
dioperasionalkan ke dalam kebijakan teknis oleh direktorat yang relevan.
Kemudian Kantor Wilayah dan Kantor Daerah Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan
koordinasi implementasi kebijakan teknis tersebut.
Implementasi Sekolah Mandiri memerlukan
restrukturisasi organisasi dengan menempatkan pembuatan kebijakan teknis pada
Kantor Daerah Pendidikan. Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah Pendidikan
perlu dihapuskan. Sebab, kebijakan teknis yang diperlukan adalah yang sesuai
dengan tuntutan dan kondisi lokal. Dengan demikian Kantor Daerah akan memiliki
fungsi mewakili Departemen dalam pengambilan keputusan untuk daerahnya
masing-masing.
Reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Sebab,
cara-cara yang selama ini dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan tidak akan
dapat memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dewasa ini. Krisis moneter dan
ekonomi yang diikuti oleh krisis politik, kepercayaan dan keamanan, mempercepat
keharusan reformasi pendidikan.
Reformasi pendidikan yang diperlukan bersifat
menyeluruh dan mendasar, menyangkut dimensi kultural-fokasional,
politik-kebijakan, teknis-operasional, dan, dimensi kontekstual. Tambal sulam dalam
dunia pendidikan saat ini harus dihindarkan, sebab hanya akan berakibat menunda
datangnya bencana yang lebih parah lagi.
Betapapun Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap
saja akan muncul resistensi yang menghambat jalannya reformasi. Oleh karena
itu, reformasi pendidikan perlu untuk:
1.
Mendapatkan dukungan dari
kalangan profesional dengan: a) memberikan
pelayanan yang lebih baik, b) menciptakan iklim yang kondusif untuk
mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan mereka.
2. Mengembangkan
kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi orang tua untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah sehingga merasa ikut memiliki.
3. Mengurangi
beban administrasi atau non-profesional guru dengan lebih menekankan pada aspek
teknis profesional.
Di samping itu, selain tambal sulam, reformasi
pendidikan juga harus menghindari upaya pencapaian hasil jangka pendek atau
semu dengan mengorbankan pencapaian hasil jangka panjang. Hal ini dapat terjadi, misalnya, apabila
reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang memfokuskan pada perilaku baru
guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai materi baru, memahami makna
hakiki dari reformasi pendidikan yakni membantu peserta didik mengembangkan peran
dirinya yang baru.
3.8. Reformasi Pendidikan: dari Fondasi
ke Aksi
Krisis yang
dialami bangsa Indonesia baik ekonomi, politik dan keamanan belum juga dapat di
atasi. Berbagai krisis tersebut di atas berdampak negatif terhadap dunia
pendidikan dengan memunculkan keseimbangan baru pendidikan. Pada keseimbangan
baru ini, pelayanan pendidikan tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara
seperti biasa (bussines as ussual). Orientasi pelayanan pendidikan dengan
menggunakan cara berfikir lama tidak dapat diterapkan dengan begitu saja, dan
bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan
pada keseimbangan baru ini. Cara-cara berpikir baru dan terobosan-terobosan
baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan
pada saat ini dan di masa mendatang. Dengan kata lain, reformasi pendidikan
merupakan suatu imperative action.
Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks,
berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga
reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam
tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami
karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila
dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi
dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi
di Jerman Timur yang diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat
bahwa untuk reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk
reformasi ekonomi diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan
diperlukan waktu enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap
fase atau periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung
jawabkan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus
memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam
pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan
peningkatan mutu pendidikan.
Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan
agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan
pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan: a)
mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya
pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis
sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu, kondisi yang
diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan merupakan titik sentral yang
perlu diperhatikan dalam setiap reformasi pendidikan. Dengan kata lain,
reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada, bukan
mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi
hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid,
sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis.
Apa syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat
mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang merupakan
keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai tujuan.
Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan
keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi
tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci
yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi
akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua faktor
tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik.
Implementasi reformasi pendidikan yang berada di
antara kebijakan publik dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar
tersebut, memusatkan pada empat dimensi: Dimensi Kultural-Fondasional, dimensi
Politik-Kebijakan, dimensi Teknis-Operasional, dan dimensi Kontekstual.
A. Dimensi fondasional kultural
Dimensi kultural berkaitan dengan nilai, keyakinan dan
norma-norma berkaitan dengan pendidikan, seperti apa sekolah itu?, siapa guru
itu? Seberapa jauh materi yang harus dipelajari oleh siswa? dan, siapa siswa
itu? Siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol sekolah? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menentukan gambaran fungsi dan tanggung
jawab serta peranan komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai
administrasi, siswa, bahkan orang tua siswa.
Secara khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh
perilaku dan peran baru siswa khususnya dalam proses belajar dan mengajar di
sekolah. Perubahan pada diri siswa tersebut sebagai hasil adanya perubahan
perilaku pada diri guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar khususnya,
dan perubahan iklim sekolah pada umumnya.
Perubahan perilaku guru merupakan perubahan pada aspek
teknis yang dapat disebabkan oleh aspek politik. Namun, reformasi pendidikan
tidak dan lebih dari sekedar dimensi teknis dan politik, melainkan harus
meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi. Sayangnya, aspek kultural
merupakan sesuatu yang bersifat relatif abstrak sekaligus sulit untuk
dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan
nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan.
Berkaitan dengan dimensi kultural ini, sekolah harus
diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi dan kehidupan
(organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian dari suatu sistem yang
besar (mekanik). Sebagai suatu sistem organik, sekolah dapat dilihat sebagai
tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka yang harus didekati
dengan sistem thinking. Artinya, dalam pengelolaannya sekolah harus
dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah
harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking
tersebut dapat diidentifikasi struktur, umpan balik, dan dampak, seperti: a)
keterbatasan perubahan pendidikan, b) pergeseran sasaran reformasi pendidikan,
c) perkembangan pendidikan, dan, d) sektor pendidikan yang kurang dijamah.
B. Dimensi politik-kebijakan
Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan
dan pengaruh, termasuk di dalamnya negosiasi untuk memecahkan konflik-konflik
dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks.
Reformasi memiliki wajah plural yang satu sama lain saling berinteraksi.
Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya
berbagai kebijakan tetapi satu kebijakan dengan yang lain saling melengkapi,
menuju arah tunggal: meningkatkan kemajuan pendidikan. Juga, ditunjukkan oleh
adanya serangkaian kebijakan di mana kebijakan yang kemudian melengkapi
kebijakan sebelumnya.
Dimensi politik ini tidak sekedar adanya hak-hak
politik warga sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah, tetapi memiliki
pengertian yang lebih luas. Yakni, penekanan pada adanya kebebasan atau otonomi
sekolah, khususnya dalam kaitan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan otonomi
yang dimiliki sekolah, keberadaan sekolah akan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat sekitararnya. Sekolah tidak terlalu menggantungkan
pada birokrasi di atas, tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu pada kekuatan
masyarakat sekitar. Untuk itu, keberadaan Pemimpin Lokal di samping
kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kunci dari keberhasilan sekolah.
Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah harus
senantiasa memberdayakan (empowering) guru, antara lain dengan tidak banyak
memberikan instruksi atau petunjuk melainkan memberikan tantangan, insentif dan
penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah. Keberhasilan reformasi pendidikan
ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru. Yakni, guru memiliki
otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi
sekolah harus diujudkan dalam praktek sehari-hari. Pemberdayaan guru ini akan
memungkinkan mereka memadukan apa yang mereka yakini dengan agenda aksi
reformasi.
Sekolah yang baik senantiasa memiliki visi dan misi.
Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru dan merupakan landasan
kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan dalam melaksankan misi
di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun suatu iklim kerjasama di
antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru. Kerjasama di antara guru ini
akan memperkuat proses pemberdayaan guru.
Pemberdayaan guru perlu dilakukan pula lewat pemberian
kesempatan dan dorongan bagi para guru untuk selalu belajar menambah ilmu.
Proses pembelajaran sepanjang waktu bagi guru merupakan keharusan, dan menjadi
titik pusat dalam reformasi pendidikan. Proses pembelajaran (learning)
terjadi manakala guru memiliki kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan
visi mereka sendiri tentang bagaimana perubahan yang diperlukan dalam
mewujudkan pendidikan yang lebih baik.
C. Dimensi teknis operasional
Dimensi teknis berkaitan dengan pengetahuan dan
kemampuan profesional dan bagaimana keduanya dapat dikuasai oleh pendidik.
Dengan kata lain, aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru untuk
melakukan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar
mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi. Sudah barang tentu hal ini
menuntut adanya perubahan perilaku baik siswa, kepala sekolah dan juga di
lingkungan kantor pendidikan selaku fihak yang memiliki wewenang untuk.
merumuskan kebijakan pendidikan.
Kemampuan guru yang dituntut dalam setiap reformasi
pendidikan pada umumnya adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan
kemampuan paedagogik. Orientasi kurikulum harus lebih menitikberatkan pada
penguasaan akan konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan berbagai hubungan
antar konsep-konsep tersebut, serta lebih menekankan pada cara bagaimana
peserta didik menguasai konsep dan hubungan untuk dikaitkan dengan realitas
kehidupan masyarakat dibandingkan hanya menguasai serpihan-serpihan pengetahuan
dan kumpulan fakta.
Di samping kurikulum harus disempurnakan, guru harus
memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan pendekatan dan cara mengajar
yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang
melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP seminar, pelatihan dan lewat media
cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua adalah meningkakan komunikasi
akademik baik di kalangan guru sendiri maupun dengan kalangan luar sekolah.
Dengan komunikasi ini diharapkan secara berkesinambungan para guru akan
mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sendiri.
D. Dimensi kontekstual
Pendidikan tidak berproses dalam suasana vakum dan
tertutup, namun terbuka, senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain yang
berada di luar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut dapat memiliki dampak
positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain: a)
kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, b) perkembangan media massa, dan c)
sistem politik pemerintahan.
Keberhasilan reformasi pendidikan juga ditentukan oleh
seberapa besar dukungan masyarakat. Warga masyarakat, khususnya mereka orang
tua siswa yang memiliki kelebihan dalam harta dan pendidikan perlu dilibatkan
dalam proses reformasi sejak awal. Dukungan masyarakat pada umumnya, dan orang
tua siswa khususnya tidak sebatas dukungan finansial, tetapi jauh lebih luas.
Termasuk antara lain dukungan orang tua siswa. dalam bentuk partisipasi untuk
meningkatkan proses pembelajaran.
Untuk itu, orang tua siswa khususnya dan tokoh-tokoh
masyarakat pada umumnya, perlu diajak memahami visi dan misi sekolah, dan
mengambil peran dalam melaksanakan misi sekolah sesuai dengan keyakinan dan
kemampuan mereka sendiri.
Empat aspek di atas: Kultural-Fondasional,
Politik-Kebijakan, Teknis-Operasional
dan dimensi kontekstual dapat disilangkan dengan empat fokus: a) kondisi
riil masa kini, b) hakekat reformasi atau reformasi yang ingin dicapai, c)
penghambat untuk terlaksananya reformasi, dan d) program aksi yang perlu
dikembangkan untuk muwujudkan tujuan reformasi, dapat diujudkan dalam matriks
analisis reformasi sebagai berikut.
MATRIKS REFORMASI PENDIDIKAN
|
Kondisi Masa Kini
|
Esensi Reformasi
|
Faktor Penghambat
|
Program Aksi
|
Aspek Teknis
|
Pengajaran one way direction dan
tidak dapat merangsang peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas
kurikulum sangat rendah
|
Meningkatkan kemampuan dan
kreatifitas guru, mengembangkan sistem komunikasi professional di kalangan
guru sehingga menjadi “a Learning Teacher”. Mengembangkan kurikulum
yang menekankan pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep tersebut
yang terintegrasi ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel.
Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku baru siswa dalam
pembelajaran, mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses
pembelajaran.
|
Kualitas dan kemampuan guru kurang
siap untuk melaksanakan PBM yang lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist).
Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum oleh guru belum sebagaimana di
harapkan.
Siswa terbiasa belajar dengan
mendengar, menghafal, dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda.
Resistensi di kalangan guru untuk
melaksanakan feformasi.
|
Meningkatkan sistem In service
Training yang lebih komprehensif.
Memperbanyak forum bagi guru untuk
meningkatkan kemampuan profesional, seperti seminar, penerbitan
majalah/Jurnal Guru secara berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
Membekali para guru dengan
kemapuan penelitian aksi, sehingga guru dapat terus menerus mengevaluasi dan
meningkatkan keterampilan mengajar.
|
Aspek Politis
|
Manajemen sentralistis birokratis.
Kepala Sekolah terbiasa bergantung
keatas.
Inovasi pada dimensi sekolah amat
rendah.
|
Menciptakan sistem persekolahan
dimana masing-masing sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Mengembangkan kepemimpinan Kepala
Sekolah dengan sifat-sifat inovatif.
Mendorong Kepala Sekolah untuk
senentiasa berupaya memberdayakan guru.
Menjadikan Fungsi pokok Departemen
Pendidikan, Kanwil dan Kandep lebih menekankan sebagai pendukung dan
pelayanan kebutuhan sekolah untuk mencapai program nasional.
|
Tidak adanya konsesus yang jelas
dan terbuka berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di kalangan
luas masyarakat.
Pola kepemimpinanpaternalistik.
|
Memberikan kewenangan yang luas
bagi Kepala Sekolah dalam menjalankan program nasional sesuai sekolah
masing-masing. Seperti, merumuskan visi dan missi sekolah, mengelola
sumber-sumber, dan menentukan sasaran dan target sekolah.
|
Aspek Kultur
|
Kreatifitas dan inisiatif rendah.
Kepemimpinan kepala sekolah gaya
komando. Kultur sekolah tidak kondusif untuk mencapai prestasi (sasaran
persaingan, kurang kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu aktif, siswa kurang
disiplin dan belajar keras.
|
Mengembangkan norma baru tentang
peran dan perilaku.
Mengembangkan dan membiasakan
sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.
|
Fokus sekolah terlalu menekankan
NEM, dan mengabaikan aspek yang lain.
|
Mengembangkan sistem insentif dan rewards
bagi upaya-upaya inovatif.
Mengembangkan sistem penghargaan
atas keberhasilan guru dan siswa yang tidak saja di bidang prestasi
intelektual tetapi juga pada bidang-bidang yang lain.
Mengembangkan suasana kebersamaan
di samping suasana kompetitif di sekolah.
|
Aspek Kontekstual
|
Terpisah dari masyarakatnya.
Dukungan masyarakat rendah.
Faktor negatif lingkungan amat
besar (TV, Film, dll)
|
Mengembangkan iklim hubungan
sekolah dan masyarakat yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu
dengan masyarakat sekitar.
|
Sebahagian besar siswa berasal
dari tempat yang jauh dari sekolah.
Masih besar rasa ketidakpercayaan
penggunaan fasilitas sekolah oleh masyarakat sekitar.
Masyarakat tidak melihat sekolah
bagian dari mereka.
|
Memberikan kesempatan
seluas-luasnya partisipasi orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan
kemampuan mereka.
|
E. Sekolah mandiri
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Sekolah mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan
mandiri dalam konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian
dalam melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik
kondisi lokal setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan
dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah
dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan
mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah, guru, pegawai
administrasi dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara
kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan masyarakat.
Kultur, kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain: a) setiap
sekolah memiliki visi dan misi, b) sekolah memiliki program yang mendasarkan
pada data kuantitatif, c) sekolah merupakan sistem organik, d) sekolah memiliki
kepemimpinan mandiri, e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh
komponen sekolah, f) sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan
utama memberikan kepuasan maksimal bagi
siswa, orang tua siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan, g) sekolah
mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan interaksi
internal maupun eksternal seluruh warga sekotah.
F. Ciri sekolah mandiri
Sekolah Mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk
suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu seperti anggaran dan
kurikulum. Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum tentu sekolah sudah
memahami tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola sekolah, dan akan
mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat
dikatakan, bahwa implementasi Sekolah Mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran
baru dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru
harus memiliki otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk
dari kantor pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber
daya perlu disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi
prestasi siswa dan kepuasan orang tua siswa dan masyarakat, serta sumber-sumber
yang tersedia perlu disampaikan pada dimensi sekolah sehingga sekolah memiliki
pertimbangan yang jelas dalam menentukan kegiatan.
Visi dan misi
Sekolah harus megembangkan visi dan misi sendiri. Visi
suatu sekolah merupakan suatu pandangan atau keyakinan bersama seluruh komponen
sekolah akan keadaan masa depan yang diinginkan. Keberadaan visi ini akan
memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga sekolah untuk bekerja lebih
giat. Visi sekolah harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif,
realistis, menantang, mengundang partisipasi, dan menunjukkan gambaran masa
depan.
Misi erat berkaitan dengan visi. Kalau visi merupakan
pernyataan tentang gambaran global masa depan, maka misi merupakan pernyataan
formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan
ide, cita-cita dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi
merupakan upaya untuk konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan
diujudkan.
Visi dan misi sekolah merupakan penjabaran atau
spesifikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan dengan latar
belakang dan kondisi lokal. Adalah sangat mungkin latar belakang dan kondisi
lokal dari sekelompok sekolah memiliki kemiripan, dan untuk ini dimungkinkan
untuk mengembangkan visi dan misi dari beberapa sekolah yang berada dalam suatu
cluster sekolah.
Visi dan misi sekolah ini akan terus membayangi
segenap warga sekolah: Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa dan
orang tua siswa, dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita di sini? Apa yang
harus kita perbuat atau kerjakan? Bagaimana kita melaksanakan? Bagi kepala
sekolah harus selalu ditantang dengan pertanyaan: Mengapa dan untuk opa saya
jadi kepala sekolah? Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala sekolah?
Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru:
Mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Apa yang harus saya kerjakan sebagai
guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan
tersebut akan mendorong seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan fungsi
masing-masing bekerja keras berdasarkan misi guna mendekati visi sekolah.
Sekolah sebagai sistem organik
Suatu sekolah merupakan gabungan dari berbagai, baik
akademik maupun non-akademik, termasuk bagaimana interaksi guru-siswa formal
dalam proses belajar mengajar, interaksi
antar guru, interaksi guru dan pegawai administrasi dalam proses mengurus
kenaikan pangkat guru, interaksi antara siswa dan staf perpustakaan dalam
proses bagaimana tenaga perpustakaan melayani para siswa, interaksi antara guru
dan kepala sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah memimpin para guru,
dan sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di sekolah tersebut,
memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja sekolah memiliki suatu
sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari seluruh interaksi yang
ada di sekolah.
Inti dari interaksi
pendidikan adalah interaksi
formal guru-siswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan interaksi
dari berbagai komponen pendidikan: guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan.
Dalam istilah yang singkat disebut proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'.
Meskipun interaksi formal dalam proses pembelajaran merupakan interaksi
akademik, tetapi interaksi ini tidak bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang
lain termasuk kegiatan non-akademik, seperti interaksi dalam proses pengurusan
kenaikan jenjang jabatan guru, pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel
bendera, atau kepemimpinan sekolah. Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan
kebutuhan dari seluruh interaksi tersebut.
Sekolah jangan dipandang sebagai suatu jaringan
individu tetapi sebagai jaringan interaksi. Setiap interaksi akan menghasilkan
kekuatan atau energi yang berpengaruh terhadap sekolah: negatif atau positif.
Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas interaksi berlangsung akan menentukan
sifat dan besaran energi. Oleh karena itu, sekolah mandiri harus memfokuskan
pada interaksi ini di samping memfokuskan pada diri individu warga sekolah.
Sudah barang tentu fokus ini tidak dapat dipisahkan secara absolut, melainkan
secara simultan. Malahan dapat dikatakan bahwa sekolah harus secara simultan
memahami masing-masing individu dengan segala karakteristiknya dan interaksi
saling ketergantungan dari berbagai individu tersebut. Kita tidak dapat
memisahkan keduanya.
Tuntutan yang penting adalah sekolah perlu
mengidentifikasi keberadaan berbagai bentuk interaksi dengan masingmasing
karakteristik pokok yang menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a) interaksi
formal dalam ujud proses belajar mengajar, b) interaksi guru informal, c)
interaksi guru formal dalam rapat, d) interaksi siswa dalam kelas, e) interaksi
siswa di luar kelas, dan sebagainya. Masing-masing interaksi tersebut masih
dapat diperinci. Interaksi belajar mengajar terdiri dari: a) interaksi guru
dalam menjelaskan materi, b) interaksi guru dalam mengajukan pertanyaan
terhadap siswa, c) interaksi guru dalam menanggapi jawaban siswa, dan
sebagainya.
Karakteristik masing-masing interaksi tersebut akan
menghasilkan energi yang bersifat positif atau negatif. Bersifat positif
apabila hasil interaksi akan menimbulkan seseorang bekerja lebih keras.
Sebaliknya, bersifat negatif apabila interaksi akan menyebabkan seseorang
menjadi malas, tertekan, dan menurun semangatnya. Dalam kalangan profesi
kedokteran, interaksi antar dokter menimbulkan energi positif untuk kemajuan
ilmu kedokteran, sebab apabila dokter ketemu dokter mereka bertukar pikiran
tentang bagaimana pengalaman mereka berkaitan dengan praktek pengobatan.
Demikian juga kalau insinyur ketemu insinyur yang dibicarakan adalah bagaimana
teknik pembangunan jalan layang baru yang lebih hemat dan canggih telah
diketernukan, sehingga interaksi ini menimbulkan energi yang positif. Tetapi
tengoklah, kalau guru berinteraksi dengan guru, jarang mereka membicarakan
pengalaman masing-masing dalam interaksi dengan siswa. Kalau interaksi guru
dengan guru dapat diubah dan di arahkan dalam interaksi mereka membicarakan
pengalaman mereka tentang proses belajar mengajar, maka interaksi ini akan
menimbulkan energi yang dahsyat yang akan membawa kemajuan pendidikan. Dalam
jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya guru membiasakan berdiskusi
dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan mengalami perubahan besar.
Dalam sekolah mandiri yang memiliki sifat sistem
organik, kepala sekolah di samping menaruh perhatian terhadap warga sekolah
sebagai individu atau kelompok, ia juga harus memahami dan menaruh perhatian
terhadap proses interaksi ini. Energi yang dihasilkan oleh interaksi tersebut
harus dicermati dan merupakan sesuatu yang akan diorganisir. Kepala sekolah
berperan untuk memfokuskan, mendorong, mengembangkan dan mengorganisir serta
mengelola energi tersebut
untuk di arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu
sekolah dan seluruh warganya harus bersifat adaptif.
Dekonsentrasi dan desentralisasi
Sekolah Mandiri merupakan implementasi dari
desentralisasi pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaannya, pada Sekolah Mandiri
perlu dikembangkan Dekonsentrasi pengambilan keputusan yang memerlukan restrukturisasi
organisasi pendidikan.
Organisasi pendidikan bersifat sentralistis. Kebijakan
pendidikan secara umum dan politis ditetapkan oleh Departemen Pendidikan.
Keputusan politis ini harus dijabarkan oleh direktorat jenderal yang relevan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab untuk
merumuskan kebijakan pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan Dirjen ini akan
dioperasionalkan ke dalam kebijakan teknis oleh direktorat yang relevan.
Kemudian Kantor Wilayah dan Kantor Daerah Pendidikan dan Kebudayaan akan
melakukan koordinasi implementasi kebijakan teknis tersebut.
Implementasi Sekolah Mandiri memerlukan
restrukturisasi organisasi dengan menempatkan pembuatan kebijakan teknis pada
Kantor Daerah Pendidikan. Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah Pendidikan
perlu dihapuskan. Sebab, kebijakan teknis yang diperlukan adalah yang sesuai
dengan tuntutan dan kondisi lokal. Dengan demikian Kantor Daerah akan memiliki
fungsi mewakili Departemen dalam pengambilan keputusan untuk daerahnya
masing-masing.
Reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Sebab,
cara-cara yang selama ini dilaksanakan dalam pengelolaan pendidikan tidak akan
dapat memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dewasa ini. Krisis moneter dan
ekonomi yang diikuti oleh krisis politik, kepercayaan dan keamanan, mempercepat
keharusan reformasi pendidikan.
Reformasi pendidikan yang diperlukan bersifat
menyeluruh dan mendasar, menyangkut dimensi kultural-fokasional,
politik-kebijakan, teknis-operasional, dan, dimensi kontekstual. Tambal sulam
dalam dunia pendidikan saat ini harus dihindarkan, sebab hanya akan berakibat
menunda datangnya bencana yang lebih parah lagi.
Betapapun Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap
saja akan muncul resistensi yang menghambat jalannya reformasi. Oleh karena
itu, reformasi pendidikan perlu untuk:
1.
Mendapatkan dukungan dari
kalangan profesional dengan: a) memberikan
pelayanan yang lebih baik, b) menciptakan iklim yang kondusif untuk
mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan mereka.
2. Mengembangkan
kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi orang tua untuk
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah sehingga merasa ikut memiliki.
3. Mengurangi
beban administrasi atau non-profesional guru dengan lebih menekankan pada aspek
teknis profesional.
Di samping itu, selain tambal sulam, reformasi
pendidikan juga harus menghindari upaya pencapaian hasil jangka pendek atau
semu dengan mengorbankan pencapaian hasil jangka panjang. Hal ini dapat terjadi, misalnya, apabila
reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang memfokuskan pada perilaku baru
guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai materi baru, memahami makna hakiki
dari reformasi pendidikan yakni membantu peserta didik mengembangkan peran
dirinya yang baru.
Di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah ini. Ann Bradley
dalam 'Hardly Working' mengemukakan hasil penelitian tersebut.
Penelitian yang mencakup 1.000 siswa di New York City menunjukkan bahwa para
siswa tidak bekerja keras dan mereka menyatakan kalau dia mau dia akan dapat
mencapai nilai yang lebih baik; mereka tidak menghendaki ikut tes karena hanya
akan membikin mereka harus belajar lebih banyak. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek, dan hanya
beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR. Sekitar 60% menyatakan mereka malas
belajar dikarenakan guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam mengajar,
serta tidak menguasai materi. Di samping itu sebagian besar responden
menyatakan bahwa sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar
mengajar, sekitar 80% mau belajar keras kalau semua proses belajar di sekolah
berjalan secara tepat sebagaimana jadwal yang telah ditentukan. Sebagian siswa
yang lain mengeluh karena guru sering melecehkan mereka dan tidak memperlakukan
mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak
kecil. Oleh karena itu sebagai balasan mereka juga tidak menghargai guru.
Temuan yang penting lagi adalah ternyata para siswa yakin dengan belajar
sebagaimana sekarang ini saja mereka akan lulus mendapatkan diploma dan diploma
merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu
yang telah dikuasai.
C. Peran kepala sekolah
Kepala
sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada sekarang ini, dan menyadari
bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola kepemimpinannya. Perubahan
kultur yang lebih "sehat" harus dimulai dari kepemimpinan kepala
sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan
kepemimpinan berdasarkan dialog, saling perhatian dan pengertian satu
dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi bahkan siswa menyampaikan
pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa ini, mana segi positif dan
mana negatif, khususnya berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekoloh, struktur
organisasi, nilai-nilai dan norma-norma, kepuasan terhadap kelas, dan
produktivitas sekolah. Pandangan ini sangat penting artinya bagi upaya untuk
merubah kultur sekolah.
Kultur sekolah ini berkaitan erat dengan visi yang
dimiliki oleh kepala sekolah tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang
memiliki visi untuk menghadapi tantangan sekolah di masa depan akan lebih
sukses dalam membangun kultur sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu
kolaborasi antara kepala sekolah, guru, orang tua, staf administrasi dan tenaga
profesional. Kultur sekolah akan baik apabila: a) kepala dapat berperan sebagai
model, b) mampu membangun tim kerjasama, c) belajar dari guru, staf, dan siswa,
dan, d) harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala
sekolah dan guru harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik
tersebut. Karena, akan memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat,
memahami dan memecahkan berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat
memahami permasalahan yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam,
kepala sekolah dan guru akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat
diperlukan dalam menjaga dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi
berlangsungnya proses pendidikan.
Intervensi untuk mengurangi ketimpangan sosial harus
dimulai dari lembaga pendidikan. Cooperative Learning merupakan
suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki prospek yang cerah
untuk menciptakan equity di dunia pendidikan. Dengan Cooperative Learning
ini pula pada hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses pendidikan
pada rel yang sebenarnya, yakni menghasilkan manusia yang ber-''otak" dan
ber-''hati".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar