Kamis, 16 Februari 2012

Rangkuman Materi Sosiologi Kelas XI

image

Materi Sosiologi Kelas XI
DEFERENSIASI SOSIAL

A. PENGERTIAN
Deferensiasi atau perbedaan sosial adalah pembedaan penduduk atau warga masyarakat ke dalam golongan-golongan atau kelompok-kelompok secara horisontal ( tidak bertingkat ). Perwujudannya adalah penggolongan penduduk atas dasar perbedaan-perbedaan dalam hal yang tidak menunjukkan tingkatan, antara lain ras, agama, jenis kelamin, profesi, klen dan suku bangsa.
Dalam pelapisan sosial warga masyarakat dibedakan di dalam berbagai lapisan (hierarki). Dalam diferensiasi, hierarki atau tingkatan sosial tidak ada. Hal itu berarti tidak ada perbedaan tingkatan ras, agama, jenis kelamin, profesi, klen dan suku bangsa.
Diferensiasi sosial menunjukkan adanya keanekaragaman dalam masyarakat. Suatu masyarakat yang di dalamnya terdiri atas berbagai unsur yang satu dengan yang lin menunjukkan perbedaan tidak bertingkat (horizontal) disebut masyarakat majemuk.
Yang menjadi tekanan dalam pengertian diferensiasi sosial adalah pengaruh adanya perbedaan terhadap hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing orang.

B. BENTUK-BENTUK DIFERENSIASI SOSIAL DALAM MASYARAKAT.

Bentuk-bentuk diferensiasi sosial digolongkan ke dalam dua bagian :
1. Bentuk diferensiasi sosial secara biologis meliputi :
a. Diferensiasi jenis kelamin.
Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempengaruhi perolehan hak dan kewajiban dalam banyak aspek, seperti kondisi kerja, kehidupan ekonomi dan politik dan lain-lain.
b. Diferensiasi umur.
Perbedaan perolehan hak dan kewajiban anggota masyarakat yang berbeda umur tidak hanya ada pada situasi masyarakat tradisional, tetapi juga pada masyarakat feodal dan masyarakat modern.
c. Diferensiasi intelektual.
Diferensiasi intelektual yaitu perolehan hak dan kewajiban yang berbeda bagi setiap anggota masyarakat secara horisontal atas dasar perbedaan kepandaian.
d. Diferensiasi Ras.
Ras adalah katagori untuk sekelompok individu yang secara turun-temurun memiliki ciri fisik dan biologis tertentu yang sama. Ciri morfologis (fisik dan biologis) ini meliputi dua hal :
- secara kuantitatif : ukuran badan, bentuk kepala dan bentuk hidung.
- Secara kualitatif : warna kulit, jenis rambut dan warna mata.
Jenis ras dibagi dalam 4 kelompok besar yaitu Caucasoid, Mongoloid, Negroid dan ras Khusus.

2. Bentuk diferensiasi sosial sehubungan dengan kondisi sosio kulturalnya
a. Diferensiasi Suku Bangsa
Setiap anggota sebuah suku bangsa tertentu mempunyai ciri khas yang sama yaitu adat-istiadat, bahasa, religi dan kepercayaan, ciri-ciri fisik dan kesamaan dalam hal tata nilai budaya.
b. Diferensiasi Agama
Agama apa pun mempunyai dua aspek ajaran bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan (transenden) dan bagaimana manusia berhubungan dengan dunia (imanen)
c. Diferensiasi Klan.
Klan adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu nenek moyang melauli garis keturunan (unilateral) apakah garis keturunan ayah (patrilineal) atau keturunan ibu (mterilineal).
d. Diferensiasi Profesi
Diferensiasi profesi adalah perolehan hak dan kewajiban yang berbeda karena perbedaan profesi masing.

Perilaku Menyimpang

Perilakau menyimpang menyiratkan kesan, meskipun tidak ada masyarakat yang seluruh warganya dapat menaati dengan patuh seluruh aturan norma social yang berlaku tetapi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka hal itu dianggap telah mencoreng aib diri sendiri, keluarga maupun kumunitas besarnya.
Sumbangan sosiologi cukup signifikan dalam memetakan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dan reaksi masyarakat yang ditimbulkannya. Kajian tentang perilaku menyimpang dipelajari oleh sosiologi karena berkaitan dengan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai kulutral yang telah ditegakkan oleh masyarakat. Selain itu, melalui teori dan hasil-hasil penelitian yang dikembangkannya, sosiologi membantu masyarakat untuk dapat menggali akar-akar penyebab terjadinya tindakan menyimpang. Upaya untuk menghentikan atau paling tidak menahan bertambahnya penyimpangan perilaku dapat dipelajari pula melalui kajian tentang lembaga kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mencegah terjadinya tindakan tersebut.
Secara sederhana kita dapat mengatakan, bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan besar masyarakat ( minimal di suatu kelompok atau komunitas tertentu ) perilaku atau tindakan tersebut di luar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang berlaku.
Tindakan menyimpang yang dilakukan orang-orang tidak selalu berupa tindakan kejahatan besar, seperti merampok, korupsi, menganiaya atau membunuh. Melainkan bisa pula cuma berupa tindakan pelanggaran kecil-kecilan, semacam berkehalahi dengan teman, suka meludah di sembarang tempat, makan dengan tangan kiri dsb.

Meskipun secara nyata kita dapat menyebutkan berbagai bentuk perilaku menyimpang, namun mendefinisikan arti perilaku menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda di antara berbagai kelompok masyarakat. Ada segolongan orang yang menyatakan perilaku menyimpang adalah ketika orang lain melihat perilaku itu sebagai sesuatu yang berbeda dari kebiasaan umum. Namun, ada pula yang menyebut perilaku menyimpang sebagai tindakan yang dilakukan oleh kelompok minoritas atau kelompok-kelompok tertentu yang memiliki nilai dan norma sosial berbeda dari kelompok sosial yang lebih dominan.
Definisi tentang perilaku menyimpang dengan demikian bersifat relatif, tergantung dari masyarakat yang mendefinisikannya, nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat, dan masa, zaman, atau kurun waktu tertentu.
Hal lain yang juga menyebabkan perilaku menyimpang bersifat relatif adalah karena perilaku menyimpang itu juga dianggap sebagai gaya haidup, kebiasaan-kebiasaan, fashion atau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman.

Pertama, secara statistikal adalah segala perilaku yang bertolak dari suatu tindakan yang bukan rata-rata atau perilaku yang jarang dan tidak sering dilakukan. Pendekatan ini berasumsi, bahwa sebagian besar masyarkat dianggap melakukan cara-cara dan tindakan yang benar.
Kedua, secara absolut atau mutlak. Definisi perilaku menyimpang yang bersasal dari kaum absolutis ini berangkat dari aturan-aturan sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang “mutlak” atau jelas dan nyata, sudah ada sejak dulu, serta berlaku tanpa terkecuali, untuk semua warga masyarakat. Kelompok ini berasumsi bahwa aturan-aturan dasar dari suatu masyarakat adalah jelas dan anggota-anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai menyimpang dan bukan.
Ketiga, secara reaktif yaitu perilaku menyimpang yang berkenaan dengan rekasi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang. Artinya apabila ada reaksi dari masyarakat atau agen kontrol sosial dan kemudian mereka memberi cap atau tanda (labeling) terhadap si pelaku maka perilaku itu telah dicap menyimpang, demikian pula si pelaku, juga dikatan menyimpang. Dengan demikian apa yang menyimpang dan apa yang tidak, tergantung dari ketetapan-ketetapan ( atau reaksi-reaksi) dari anggota masyarakat terhadap suatu tindakan.
Keempat, secara normatif ; penyimpangan adalah suatu pelanggaran dari suatu norma sosial. Norma adalah suatu standar tentang “apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dipikirkan, dikatakan, atau dilakukan oleh warga masyarakt pada suatu keadaan tertentu” Secara keseluruhan, maka definisi normatif dari suatu perilaku menyimang adalah tindakan-tindakan atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma, dimana tindakan-tindakan tersebut tidak disetujui atau dianggap tercela dan akan mendapatkan sanksi negatif dari masyarakat.

Mengapa Perilaku Menyimpang Perlu Dipalajari ?
Oleh karena cukup banyak pelanggaran atau penyimpangan perilaku yang dilakukan manusia dan hal itu terkadang dapat dianggap mengancam ketentraman masyarakat, maka perlu juga kita mempelajarinya, untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya dan bagaimana melakukan pencegahan terhadapnya.

Secara umum, yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang, antara lain adalah :
1. Tindakan yang nonconform , yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang ada. Contoh : memakai sandal butut ke kampus; merokok di area di larang merokok, membuang sampah bukan pada tempat yang semestinya dsb.
2. Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum. Bentuk tindakan sosial itu antara lain : menarik diri dari pergaulan, tidak mau berteman, penyimpangan seksual, pelacuran dsb.
3. Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulid dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Misalnya, pencurian, perampokan, pembunuhan dsb.
Rangkaian pengamalan atau karier menyimpang sesorang dimulai dari penyimpangan-penyimpangan kecil yang mungkin tidak disadarinya (primary deviance/penyimpangan primer). Penyimpangan jenis ini dialami oleh seseorang mana kala ia belum memiliki konsep sebagai penyimpang atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang.
Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai pada tahap secondary deviance (penyimpangan sekunder) yaitu suatu tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan (reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang.
Tindakan menyimpang, baik primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja tapi berkembang melalui periode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian tahapan interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang. Karier menyimpang juga didukung oleh pengendalian diri yang lemah serta kontrol masyarakat yang longgar (permisif).

Perilaku menyimpang tidak saja dilakukan secara perorang, tapi tak jarang juga dilakukan secara berkelompok. Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok acap disebut dengan subkulur menyimpang.
Subkultur adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya hidup yang berbeda dari kultur dominan.
Asal mula terjadinya subkultur menyimpang karena ada interaksi di antara sekelompok orang yang mendapatkan satatus atau cap menyimpang. Melalui interaksi dan intensitas pergaulan yang cukup erat, maka terbentuklah perasaan senasib, dan memiliki jalan pikuran nilai dan norma serta aturan bertingkah laku yang berbeda dengan norma-norma sosial masyarakat pada umumnya(kultur dominan).
Para anggota dari suatu subkultur menyimpang biasanya juga mengajarkan kepada anggota-anggota barunya tentang berbagai keterampilan untuk melanggar hukum dan menghindari kejaran agen-agen kontrol sosial. Mereka juga mengindoktrinasi suatu keyakinan yang berbeda dari keyakinan yang dianut mayoritas masyarakat kepada yuniornya. Begitu pula ketika menerima keanggotaan baru, ujian yang cukup keras akan diberlakukan kepada anggota-anggota baru itu.

Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok orang berperilaku menyimpang. Yang pertama adalah perspektif individualistik dan yang kedua adalah teori-toeri sosiologi.
Teori-teori individualistik berusaha mencari penjelasan tentang munculnya tindakan menyimpang melalui kondisi yang secara unik mempengaruhi individu seperti warisan genetis-biologis atau pengalaman-pengalaman awal ari kehidupan seseorang di dalam keluarganya. Teori-teori individualistik sebagian besar didasarkan pada proses-proses yang sifatnya individual dan mengabaikan proses sosialisasi atau belajar tentang norma-norma sosial yang menyimpang.
Berbeda halnya dengan teori individualistik, teori-teori yang berspektif sosiologis tentang penyimpangan berupaya menggali kondisi-kondisi sosial yang mendasari penyimpangan. Beberapa hal yang dianggap bersifat sosiologis dalam memahami tindakan menyimpang misalnya proses penyimpangan yang ditetapkan oleh masyarakat ; bagaimana faktor-faktor kelompok dan subkultur berpengaruh terhadap terjadinya perilaku menyimpang pada seseorang; dan reaksi-reaksi apa yang diberikan oleh masyarakat apda orang-orang yang dianggap menyimpang dari norma-norma sosialnya.
Teori Anomie
Teori anomie berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam suatu struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Anomie adalah suatu keadaan atau nama dari situasi di mana kondisi sosial/situasi masyarakat lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan status tersebut jumlahnya lebih sedikit.
Situasi anomie tersebut dapat berakibat negatif bagi sekelompok masyarakat, di mana untuk mencapai tujuan statusnya mereka terpaksa melakukannya melalui cara-cara yang tidak sah, di antaranya melakukan penyimpangan atau kejahatan.
Teori Belajar atau Teori Sosialisasi
Salah seorang ahli teori belajar adalah Edwin H. Sutherland yang menamakan teorinya dengan Asosiasi Diferensial, menurut teori ini penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultur atau diantara teman-teman sebaya yang menyimpang.
ü Perilaku menyimpang adalah hasil dari proses belajar atau yang dipelajari, ini berarti bahwa penyimpangan bukan diwariskan atau diturunkan, bukan juga hasil ari intelegensi yang rendah atau karena kerusakan otak.
ü Perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain secara intens.
ü Bagian utama dari belajar tentang perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok-kelompok personal yang intim atau akrab.
* Hal-hal yang dipelajari ; teknis-teknis penyimpangan, motif, dorongan & sikap
* Petunjuk-petunjuk khusus ttg. Dorongan menyimpang dipelajari dari definisi ttg, norma yang baik atau tidak baik.
*Seseorang menjadi menyimpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak.
*Terbentuknya asosiasi diferensial itu bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas
*Proses mempelajari penyimpangan melalui mekanisme yang berlaku di dalam setiap proses belajar.
Teori Labeling ( Teori Pemberian cap atau teori Reaksi Masyarakat )
Teori ini menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secodary deviance). Analisis tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labelrs) pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut adalah negatif.
Teori labeling ( Becker ) mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”. Melalui definisi itu dapat ditetapkan bahwa menyimpang adalah tindakan yang dilabelkan kepada seseorang, atau pada siapa label secara khusus telah ditetapkan. Dengan demikian dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya.
Konsekuensi dari pemberian label pada diri seseorang maka ia cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang dan kemungkinan berakibat pada suatu karier yang menyimpang.
Teori Kontrol
Ide utama di belakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakanhasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Oleh sebab itu teori ini menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mentaati hukum.
Teori Konflik
Persepektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya. Berkaitan dengan hal itu, persepektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu maka kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan.
Teori-teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan sebagai suatu tindakan rasional. Orang-orang yang mencuri dan merampok telah didorong masuk ke dalam tindakan-tindakan tersebut melalui kondisi sosial yang disebabkan oleh distribusi kekayaan yang tidak seimbang, dimana kejahatan perusahaan dan berbagai kejatan kerah putih secara langsung melindungi serta memperbesar modal kapitas mereka. Kejahatan yang terorganisir adalah suatu cara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ilegal dalam masyarakat kapitalis.
STRATIFIKASI SOSIAL

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya, maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan fihak-fihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Dalam masyarakat pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan, namun kelas biasanya dihubungkan dengan tolok ukur ekonomi dan kedudukan/status dikaitkan dengan kehormatan.
Cara yang paling mudah untuk memahami pengertian konsep stratifikasi sosial adalah dengan berfikir membanding-bandingkan kemampuan dan apa yang dimiliki anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat lainnya.
Sadar atau tidak, pada saat Anda mulai membedakan kemampuan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain dan mulai menyusun pemilahan-pemilihan masyarakat ke dalam berbagai golongan atau strata itu, sebenarnya anda mulai sedikit paham tentang hakekat stratifikasi sosial.

A. PENGERTIAN
Dalam sosiologi, pelapisan dalam masyarakat dikenal dengan istilah stratifikasi sosial ( sosial stratification ) kata stratifikasi sosial berasal dari bahasa Latin Stratum : tingkatan dan Socius : rekan/masyarakat.

Pendapat para pakar mengenai pelapisan sosial :
PLATO (428-347/345 SM) masyarakat negara dibedakan menjadi tiga golongan yaitu : filsuf à pemimpin negara, prajuritàpenjamin hukum, rakyat/petaniàwarga negara.
ARISTOTELES(384-322 SM) kaya sekali, melarat dan diantara keduanya.
PITRIM SOROKIN masyarakat menjadi tingkatan scr vertikal dari sesuatu yang berharga yang dimilikinya.
Jadi pelapisan sosial ada dua unsur : 1. Pembedaan 2. Hirarki Vertikal
Sehingga dilihat dari unsur tersebut dapat dirumuskan :
Pelapisan Sosial : Pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang tinggi sampai ke yang lebih rendah.
Karakteristik Stratifikasi Sosial :
ü Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan
ü Perbedaan dalam gaya hidup (life style)
ü Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya

Awal pelapisan dari perbedaan tertentu menyangkut status diri / turunan àpekerjaan/profesi àberagam/konplekàintelektual,politik, ekonomi.

B. PROSES TERBENTUKNYA

1. Secara Tidak Sengaja:
- terbentuk sejalan dg perkembangan masyarakat.
- Terbentuk diluar kontrol masyarakat
- Terjadi sesuai dengan kondisi sosbud di wilayah ybs.
- Status dan peranan terjadi secara otomatis. Ex. Tkt. Umur, sex, kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas tertentu..
2. Secara Sengaja
- Pelapisan sosial yg dibentuk oleh suatu kelompok sosial/masy dlm rangka mengejar tujuan tertentu.
- bertujuan untuk pengaturan interaksi sosial dengan berorientasi pada kepentingan bersama.
- Diperlukan masy agar mampu menyesuaikan diri dengan keperluan2 yg nyata contoh : badan-badan resmi
- Menggalang keteraturan dalam suatu kelompok sosial ( masyarakat ) demi tercapainya tujuan bersama.

C. KRITERIA PELAPISAN SOSIAL

Tolok ukur yang menjadi dasar pembentukan pelapisan sosial, yang berupa sesuatu yg dianggap berharga oleh masyarakat, yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. (KOMULATIF)

SOERJONO SOEKANTO : kekayaan,kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan.
BERNARD BARBER : jabatan/pekerjaan, wewenang/kekuasaan, pendidikan/IP, keagamaan, dan kedudukan dalam system kekerabatan.
PAUL B. HORTON : kekayaan/penghasilan, pekerjaan dan pendidikan.
Jadi dibagi menjadi kriteria EKONOMI, SOSAL, POLITIK

D. JENIS-JENIS PELAPISAN SOSIAL
1. Menurut Kriteria Ekonomi: berkaitan dengan kekayaan pendapatan
Propesi/jabatan. Kriteria ekonomi berdasarkan pada piramida yaitu dari gol ekonomi lemah , sedang dan gol ekonomi kuat.
2. Menurut Kriteria Sosial : berdasarkan nilai status, tinggi rendah à penghormatan(keseganan) warga masyarakat terhadapnya yang tergantung pada kondisi masing-masing kelompok masyarakat :
a. Pelapisan sosial di Desa
b. Pelapisan sisial di kota
Menurut Kriteria Politik : membedakan masyarakat menjadi pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Makin tinggi kekuasaan makin tinggi kedudukan.

E. SIFAT SISTEM PELAPISAN MASYARAKAT
a. Sistem Pelapisan Sosial Tertutup (closed sosial stratificaton) : pelapisan sosial yang tidak memungkinkan warga masyarakat pindah dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain dimana status sosial ditentukan sejak lahir. àKasta, feodal, rasial (kawin sekasta / ENDOGAMI )Contoh : DEGREGATION ( kulit putih dan hitam di US) APARTEHID ( di Afrika Selatan ), PATRILINIAL ( laki lebih dominan)
b. Sistem Pelapisan Sosial Terbuka (open sosial stratification) pelapisan yang membuka kesempatan warganya untuk turun-naik antarlapisanàberlaku dalam masyarakat modern.

F. PERSPEKTIF TENTANG STRATIFIKASI SOSIAL
Stratifikasi sosial anggota masyarakat ke dalam berbagai kelas sosial itu sebenarnya diperlukan atau tidak ? Jawaban atas pertanyaan ini sifatnya relatif, tergantung dari mana sudut kita melihatnya dan pendekatan macam apa yang kita jadikan titik acuan.

v Pendekatan Fungsional
Pelopor pendekatan fungsionalis adalah Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Menurut kedua pakar ini stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan pelbagai macam jenis pekerjaan.. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal.
Disini tercakup pengertian bahwa pelapisan sosial itu perlu ada agar masyarakat berfungsi, bahwa berbagai lapisan dalam masyarakat bergerak bersama untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan bahwa sistem yang ada, paling tidak secara diam-diam memang telah disetujui oleh para anggota masyarakat.
Tujuan pelapisan sosial : dalam rangka penataan masyarakat, dimana setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat penempatan tersebut. Dengan demikian pelapisan sosial berfungsi untuk menempatkan individu-individu tersebut dan kedua mendorong agar mereka melaksanakan kewajibannya.

v Pendekatan Konflik
Pendekatan konflik memiliki asumsi yang berhadapan secara diametral dengan pendekatan fungsional. Dengan dipelopori oleh Karl Marx, pendekatan konflik berpandangan bahwa bukan kegunaan fungsional yang menciptakan stratifikasi sosial, melainkan dominasi kekuasaan. Artinya menurut pendekatan konflik, adanya pelapisan sosial bukan dipandang sebagai hasil konsensus, tetapi lebih dikarenakan anggota masyarakat terpaksa harus menerima adanya perbedaan itu sebab mereka tidak memiliki kemampuan untuk menentangnya dan dasar pembentukannya merupakan penghisapan suatu kelas oleh kelas lain yang lebih tinggi.
Bagi penganut pendekatan konflik, pemberian kesempatan yang tidak sama dan semua bentuk diskriminasi dinilai menghambat orang dari strata rendah untuk mengembangkan bakat dan potensi mereka semaksimal mungkin.

G. CARA MEMPELAJARI STRATIFIKASI SOSIAL
ü Pendekatan Objektif
Artinya, usaha untuk memilah-milah masyarakat ke dalam beberapa lapisan dilakukan menurut ukuran-ukuran yang objektif berupa variabel yang mudah diukur secara kuantitatif. ( katagori statistik )
ü Pendekatan Subjektif
Artinya, munculnya pelapisan sosial dalam masyarakat tidak diukur dengan kriteria-kriteria yang objektif, melainkan dipilih menurut kesadaran subjektif warga masyarakat itu sendiri. ( katagori sosial ).
ü Pendekatan Reputasional
Artinya, pelapisan sosial disusun dengan cara subjek penelitian diminta menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut tersebut ke dalam skala tertentu.

F. UNSUR-UNSUR LAPISAN SOSIAL

1. Dalam sosiologi status sosial bersifat netral.

STATUS SOSIAL : posisi seseorang dalam masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain, baik mencakup perilaku, hak maupun kewajiban. STATUS : Tpt./posisi seseorang dalam suatu klp. Sosial àKEDUDUKAN. Jika menyangkut masyarakat luas maka status sosial makin tinggi.
A. STATUS YANG DIUSAHAKAN ( ACHIEVED STATUS) : kedudukan di dalam masyarakat yang diraih melalui usaha sendiri yang disengaja (terbuka).
B. STATUS YANG DIGARISKAN (ASCRIBED STATUS) : kedudukan dalam masyarakat yang diperoleh melalui garis keturunan/kalahiran. (tertutup).
C. STATUS YANG DIBERIKAN (ASSIGNED STATUS) : yakni kedudukan yang lebih tinggi yang diberikan kpd seseorang/sklp. Karena dianggap telah bekerja sama memenuhi kepentingan masyarakatnya berjasa, misalnya gelar kehormatan, kenaikan pangkat dsb.

2. PERANAN SOSIAL (aspek dinamis dari status sosial ; hak dan kewajiban yang dilaksanakan sesuai status sosial ) : rangkaian norma dan perilaku yang dijalankan seseorang sesuai dengan status sosialnya dalam masyarakat.
( Jika seseorang melaksanakan hak & kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan.
Perubahan status sosial akan berdampak pada perubahan peranan sosial.

1. PERANAN PILIHAN ( ACHIEVED ROLES ) : peranan yang hanya diperoleh melalui usaha tertentu ßà achieved status.
2. PERANAN BAWAAN ( ASCRIBED ROLES ) : peranan yang diperoleh secara otomatis bukan karena usaha tertentu.
3. PERANAN YANG DIHARAPKAN ( EXPECTED ROLES): peranan yang dilaksanakan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan bersama bersama.
4. PERANAN YANG DISESUAIKAN ( ACTUAL ROLES ) : peranan yang dilaksanakan sesuai situasi yang selalu berubah-ubah.
Di Indonesia : mengutamakan kedudukan dibandingkan peranan karena lebih mengutamakan material dpd spiritual àkonsumtifàhedonisme.
(MEMPEROLEH ROLE FACILITIES)

3. KONSEKUENSI STRATIFIKASI SOSIAL

a. Terbentuknya simbol status : status sosial terungkap dari gaya hidupnya sehingga gaya hidup merupakan lambang suatu status sosial ( yang melekat pada status sosial dan menjadi cirri hidupnya) gejala inilah yang dinamakan simbol status (status symbol).àinternalized.
b. Terjadinya Integrasi Status dan Peranan Sosial : penerimaan seseorang atau sekelompok warga terhadap status dan peranan sosialnya :
1. Aktif : integrasi terjadi secara sukarela
2. Pasif : integrasi terjadi secara paksaan.
c. Munculnya Konflik Status dan Peranan Sosial : hal ini muncul saat kepentingan seseorang tidak lagi sejalan dengan kepentingan masyarakat àkesenjangan peranan (role distance)
d. Peluang Hidup dan Kesehatan ; Studi yang dilakukan Robert Chambers (1987) menemukan bahwa di lingkungan keluarga yang miskin, tidak berpendidikan dan rentan, meraka umumnya lemah jasmani dan mudah terserang penyakit.
e. Respons Terhadap Perubahan ; Orang-orang kelas rendah pada umumnya ragu-ragu untuk menerima pemikiran dan cara-cara baru serta curiga terhadap para pencipta hal-hal baru. Kelas sosial atas- dimana sebagian besar berpendidikan relatif memadai – cenderung lebih responsif terhadap ide-ide baru, sehingga acapkali mereka lebih sering bisa m emetik manfaat dengan cepat atas program baru atau inovasi yang diketahuinya.
f. Peluang Bekerja dan Berusaha ; peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial rendah dengan kelas sosial di atasnya umumnya jauh berbeda.
g. Perilaku Politik ; berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mempengaruhi perilaku politik orang.

4. PERLUNYA SISTEM LAPISAN MASYARAKAT
Pelapisan sosial dapat memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat : yaitu penempatan individu dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta peranannya. Pengisian tempat-tempat tersebut merupakan daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai dengan fungsinya, maka tak dapat dihindarkan bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar individu mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan posisinya dalam masyarakat.
MOBILITAS SOSIAL

A. Pengertian

Kata mobilitas berasal dari bahasa Latin mobilis yang artinya mudah dipindahkan atau banyak gerak. Kata sosial yang melekat pada istilah mobilitas bermaksud menekankan bahwa istilah itu mengandung makna gerak dengan melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam masyarakat. Dengan demikian mobilitas sosial ialah suatu gerak perpindahan seseorang atau sekelompok warga dari status sosial yang satu ke status sosial yang lain. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.
Mobilitas sosial dapat diartikan gerakan sosial. Gerakan sosial yang menggunakan nada protes, penuh emosi, serta dengan kekerasan.lebih tepat disebut gerakan sosial (social movment).
Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup – seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta - maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.

B. Jenis Mobilitas Sosial

ü Mobilitas sosial vertikal ; perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat.
Sesuai dengan arahnya dikenal dua jenis mobilitas vertikal, yakni :
Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi.
Gerak sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain lebih rendah posisinya.
ü Mobilitas sosial horizontal ; perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial yang horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya. Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela, tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa.

C. Saluran-saluran Mobilitas sosial vertikal (sirkulasi sosial)
a. Angkatan Bersenjata
b. Lembaga-lembaga pendidikan
c. Lembaga-lembaga keagamaan
d. Organisasi Politik
e. Organisasi Ekonomi

D. Determinan Mobilitas Sosial

Horton dan Hunt (1987) mencatat ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni :
1. Faktor struktrual ; yakni jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi seta kemudahan untuk memperolehnya. Contoh: ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari kerja.
2. Faktor individu ; kualitas orang per orang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, keterampilan pribadi, dan lain-lain-termasuk faktor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.

E. Konsekuensi Mobilitas Sosial
1. Konflik
Konflik ; suatu benturan antara berbagai nilai dan kepentingan tertentu.Benturan itu terjadi karena suatu masyarakat belum siap menerima perubahan yang dibawa oleh mobilitas sosial.
2. Penyesuaian
o perlakuan baru untuk masyarkat kelas sosial, kelompok sosial, atau generasi tertentu.
o Penerimaan individu atau sekelompok warga dalam kedudukannya yang baru
o Pergantian dominasi dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.


PRANATA SOSIAL

Manusia pada dasarnya selalu hidup di dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala tindak tanduk atau perilaku manusia senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata sosial yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri seperti pranata keluarga, pranata ekonomi, pranata pendidikan, pranata politik dan pranata agama dan masih banyak pranata sosial lain yang memiliki fungsi yang sama yaitu mengatur cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang penting.
Pengertian pranata sosial secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan apa yang sering dikenal dengan lembaga sosial, organisasi sosial maupun lembaga kemasyarakatan, karena di dalam masing –
masing istilah tersebut tersirat adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku setiap warga masyarakat.

Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial (lembaga sosial) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem norma yang mengatur segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hidup bermasyarakat.
Sistem norma yaitu sejumlah aturan sosial, atau patokan perilaku yang pantas, yang menjadi kesepakatan semua anggota masyarakat untuk dipegang dan dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan bersama.
Istilah pranata sosial berhubungan erat dengan apa yang disebut “lembaga” meskipun keduanya berlainan arti. Dua istilah tersebut berakar dari satu ungkapan bahasa Latin institure yang berarti “mendirikan”. Kata benda dari istilah tersebut adalah institutio yang berarati “pendirian” atau “apa yang didirikan”. Institutio tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan dua istilah yang berbeda yaitu institusi (pranata) dan institut (lembaga).
Institusi adalah sistem norma atau aturan yang ada, sedangkan institut adalah wujud nyata/konkret dari norma-norma tersebut.
Pranata sosial pada hakekatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnya selalu dapat dilihat dan diamati-amati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suau konsep atau konstruksi pikir.
Unsur-unsur pranata sosial sesungguhnya bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya sebab manusia-manusia di dalam kelompok atau pranata sosial itu hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari unsur saja. Sehingga dalam kenyataannya mereka itu bisa datang atau pergi dan diganti oleh orang lain tanpa mengganggu eksistensi dan kelestarian dari pranata sosial. Dengan demikian pranata sosial adalah merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah norma-norma sosial.

Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Untuk mewujudkan tujuannya, menurut Soerjono Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat dengan demikian harus dilaksanakan fungsi-fungsi berikut :
Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial.

Pranata tumbuh karena kebutuhan masyarkat untuk tujuan keteraturan kehidupan bersama. Karena tujuan keteraturanlah masyarakat akhirnya mempunyai sejumlah norma yang harus dipegang oleh setiap anggota masyarakat manakala ia masih terikat dalam keanggotaan. Sejumlah norma itulah yang kita sebut dengan pranata.
Suatu atau sejumlah aturan tidak secara langsung menjadi pranata begitu saja. Tidak secara otomatis norma yang ada dijadikan pranata kehidupan bersama. Proses sebuah aturan menjadi pranata sosial disebut dengan institusionalisasi (disebut juga dengan istilah pelembagaan).

Institusionalisasi yaitu proses berjalan dan terujinya sebuah kebiasaan dalam masyarakat menjadi institusi/pranata, yang akhirnya menjadi patokan dalam kehidupan bersama.

Proses itu memakan waktu yang lama dan harus melalui proses internalisasi (atau pembudayaan), yaitu pembatinan atau penghayatan kebiasaan dalam kehidupan bersama sehingga menjadi milik diri setiap anggota masyarakat. Sesudah menjadi bagian pranata, maka suatu norma mempunyai kekuatan memaksa agar ditaati.
Pranata menjadi sesuatu yang harus dipegang dan dijadikan aturan yang mengikat dalam masyarakat karena proses bertumbuhnya (institusionalisasi) harus memenuhi 3 syarat yaitu :

Penjelasan di atas akan lebih jelas jika digambarkan seperti bagan berikut :
Dengan demikian ada beraneka ragam pranata, tetapi keanekaragaman itu dapat kita telusuri dengan pendekatan sanksi. Artinya sejauh mana sebuah norma itu mempunyai sanksi sejauh itu pulalah ketatnya pranata dimiliki oleh anggota masyarakat. Sanksi tersebut kita dapatkan pada 4 macam tindakan norma yang mempunyai kekuatan pengikat, yaitu :
a) Cara (Usage), yaitu :
Menunjuk pada suatu bentuk perbuatan, mempunyai kekuatan mengikat yang paling lemah. Bagi individu yang melakukan penyimpangan tidak mendapat sanksi hukuman yang tegas, sanksi yang diterima sifatnya lemah, misalnya berupa celaan dan teguran. Misalnya, cara makan yang benar sesuai dengan norma harus menggunakan tangan kanan, jika ada individu yang makan dengan menggunakan tangan kiri, maka individu tersebut sudah dikategorikan menyimpang, tetapi hanya mendapat teguran saja.
b) Kebiasaan (Folk Ways)
Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih tinggi daripada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Contoh, kebiasaan menghormati orang-orang yang lebih tua.
c) Tata Kelakuan (Mores)
Tata kelakukan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat sebagai norma pengatur yang bersumber dari kebiasaan. Ciri dari tata kelakuan adalah bahwa tata kelakuan mencerminkan sikap hidup kelompok, sebagai alat pengawas, memaksa suatu perbuatan, melarang dan menuntut anggota masyarakat untuk beradaptasi.
d) Adat-istiadat (Custom)
Tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya (menyatunya) dengan pola-pola perilaku masyarakat, lama-kelamaan meningkat kekuatan mengikatnya menjadi adat-istiadat. Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapat sanksi yang tegas dan keras.
Dalam kehidupan masyarakat banyak ditemui berbagai pranata sosial, sehingga sering tidak mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu pranata sosial sebagai suatu sistem norma mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri ini dirasakan perlu untuk membedakan apakah sistem norma tersebut dianggap sebagai suatu pranata atau bukan. Beberapa ciri yang bisa disampaikan adalah sebagai berikut.
Pranata sosial merupakan sistem pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang tersusun atau berstruktur.
Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu.
Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan
Pranata sosial mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya
Pranata sosial memiliki lambang-lambang atau simbol sebagai ciri khasnya
Pranata sosial mempunyai tradisi tertulis maupun tidak tertulis

Pranata dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Berikut ini ditunjukkan beberapa tipe pranata sosial menurut Gillin dan Gillin (Soerjono Soekanto, 1987).
a. Berdasarkan Sistem Nilai yang Diterima Masyarakat
basic institutions, pranata sosial yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib masyarakat, misalnya keluarga, sekolah, dan negara.
subsidiary institutions, pranata yang dianggap masyarakat kurang penting, misalnya kegiatan rekreasi..
b. Berdasarkan Perkembangannya
crescive institutions, pranata sosial yang tidak disengaja tumbuh (dengan sendirinya tumbuh ) dari adat-istiadat masyarakat sehingga disebut juga pranata yang paling primer. Contoh ; pranata hak milik, perkawinan dan agama
enacted institutions, pranata sosial yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh : pranata utang-piutang dan pranata pendidikan.
c. Berdasarkan Sudut Penerimaan Masyarakat
approved institutions, pranata sosial yang diterima oleh masyarkat, seperti pranata sekolah dan perdagangan.
unsanctioned institutions, pranata sosial yang ditolak oleh masyarakat meskipun masyarakat tidak mampu memberantasnya, misalnya pemerasan, kejahatan dan pencolengan
d. Berdasarkan Penyebarannya
general institutions, pranata yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia, misalnya pranata agama, hak-hak asasi manusia (HAM)
resticted institutions, pranata sosial yang hanya dikenal oleh sebagian masyarakat tertentu, misalnya pranata agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.
e. Berdasarkan Fungsinya
cooperative institutions, pranata sosial yang berfungsi menghimpun pola-pola atau cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya pranata industri.
regulative institutions, pranata sosial yang berfungsi mengawasi adat-istiadat atau tata kelakukan yang ada dalam masyarakat, misalnya kejaksaan dan pengadilan.

Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai-nilai yang menentukan lembaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarkat yang kemudian dianggap berada di atas lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Akan tetapi di dalam setiap masyarakat sedikit banyak akan dapat dijumpai pola-ola yang mengatur hubungan antara lembaga-lembaga kemasjyarakatan tersebut. Sistem dari pola-pola tersebut lazimnya dinamakan institutional configuration. Sistem tadi dalam masyarakat homogen dan tradisional mempunyai kecendrungan untuk bersifat statis dan tetap. Lain halnya dengan masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks dan terbuka bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial, maka sistem tersebut seringkali mengalami perubahan-perubahan. Hal itu disebabkan, oleh karena dengan masuknya hal-hal yang baru, masyarakat biasanya juga mempunyai anggapan-anggapan baru tentang kaidah-kaidah yang berkisar pada kebutuhan pokoknya.
Dengan pertakaan lain, maka lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat, mungkin merupakan lembaga kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Dalam hal ini, hukum dapat merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang primer di dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa (prestigeful);
2. hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis;
3. penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap hukum;
4. diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
5. para penegak dan pelaksana hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola perikelakuannya;
6. sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan hukum;
7. perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.

Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka tidak mustahil bahwa hukum akan berpengaruh terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar