Ada
sebuah pertanyaan besar dalam diri ini. Apa dan bagaimana Peran Guru
dalam Memberantas Korupsi, Kemiskinan, dan Kekerasan Pelajar di
Indonesia? Sebuah pertanyaan yang saya coba jawab dengan sangat
sederhana saja.
GURU
HARUS BERUBAH dan PEDULI. Guru akan memiliki peran penting dalam
memberantas korupsi, kemiskinan, dan kekerasan pelajar di Indonesia bila
guru mau berubah, dan peduli dengan kondisi di sekitarnya. Guru mau
peduli, dan berinstrospeksi diri untuk mereformasi dirinya sehingga
mampu memberikan keteladanan. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh
baginda nabi Muhammad SAW. “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.” QS. Al Ahzab.
Korupsi,
kemiskinan, dan kekerasan itu harus sirna dalam diri seorang guru.
Dengan begitu dia dapat mengusir korupsi, kemiskinan, dan kekerasan
dalam dirinya. Mampu berlaku jujur, senang menolong sesama, dan memiliki
kelembutan hati. Bila itu terjadi, maka guru akan mampu memberantas
korupsi, mengurangi angka kemiskinan, dan menghilangkan kekerasan
pelajar di Indonesia. Tak ada lagi anak sekolahan tawuran, karena memang
telah dibimbing oleh para guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas,
akan melahirkan peserta didik yang berkualitas pula.
Persoalan
korupsi, kemiskinan, dan kekerasan adalah bagian penting yang akan
dihadapi seorang guru dalam mempersiapkan calon pemimpin masa depan.
Calon pemimpin yang kita harapkan memiliki sifat kenabian. Sidiq,
tabligh, amanah, dan fathonah. Itulah sifat nabi Muhammad yang terkenal
itu.
Selain
itu, guru harus mampu memperkaya diri dengan banyak membaca buku,
mengikat ilmunnya dengan cara menuliskannya, mampu meneliti di kelasnya
sendiri, dan mempublikasikan hasil karya ilmiahnya melalui berbagai
media massa. Dengan begitu, guru memiliki kemampuan atau skill yang
dapat dibanggakan. Persoalannya adalah, mampukah guru-guru kita
melakukannya?
Cegah Korupsi.
Korupsi
dapat diberantas dan dicegah manakala guru mampu
menanamkan kejujuran di sekolah. Kejujuran menjadi barang langka di
negeri ini. Kejujuran harus dilatih dan terus dikembangkan dalam
sekolah-sekolah kita. Pendidikan karakter harus berjalan dengan baik,
dimana sekolah tidak hanya berorientasi kepada kecerdasan otak saja,
tetapi juga watak.
Adanya
kantin kejujuran di sekolah belum bisa menjadi tolak ukur keberhasilan
nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan. Sebab jujur ada dalam relung hati
manusia yang terdalam. Dia akan terus berlaku jujur, karena ada
pengawasan malaikat atau waskat yang melekat erat ditubuhnya. Ada orang
atau tidak ada orang, dia akan tetap jujur karena Allah melihat malaikat
mancatat.
Korupsi
terjadi di negeri ajaib ini karena karakter yang lemah. Karakter yang
lemah inilah yang membuat akhirnya manusia menjadi tidak jujur. Bila
dari bangku sekolah guru sudah menanamkan kejujuran dalam berbagai
bentuk kegiatan di sekolah, maka ketika peserta didik terus melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi, kejujuran tetap menjadi panglimanya.
Sayangnya, kejujuran hanya menjadi kisah anak-anak sekolah dsar (SD)
yang seringkali terabaikan, dan kita hanya mampu gigit jati melihat
keadaan ini. Sulit dicari guru yang benar-benar mampu membuat program
memberantas korupsi, kemiskinan, dan kekerasan di kalangan pelajar.
Padahal banyak sekali hal yang dapat dilakukan bagi para peserta
didiknya.
Umbu
TW Pariangu menuliskan opini di koran media Indoanesia, Edisi Kamis, 29
September 20011 dengan judul “Presiden di Negara Sekarat”. Tanpa kita
sadari, proses detonasi korupsi di bangsa ini sudah berlangsung masif.
Meski upaya reformasi sistem politik dan hukum telah dijustifikasikan
secara ofensif oleh presiden dengan memelopori pemberantasan korupsi di
garda terdepan kepemimpinannya. Langit negeri ini tak hentinya kelabu
karena diobrak-abrik para gembong koruptor pusat dan daerah. Hasil
survei lembaga internasional yang sampai detik ini masih memosisikan
Indonesia sebagai negara terkorup dengan performa birokrasi sakit parah
sebenarnya merupakan fire detector (peringatan dini) bagi nasib
(demokrasi) bangsa.
Persoalan
yang rumit dan kompleks (penegakan hukum yang lemah, transparansi
birokrasi yang mandek, kepemimpinan yang miskin keteladanan, intitusi
pendidikan yang kian dipolitisasi, perekonomian rakyat masih
mengenaskan, dan prospek kesehatan masyarakat yang terpuruk) yang tidak
terendus oleh politik program kekuasaan merupakan bukti bahwa kita
sedang tidak berada dalam spiral perubahan sebagaimana yang digariskan
Van Gothe, penyair Jerman terkemuka abad ke-18.
Masalah
lainnya yang muncul seputar pendidikan adalah belum ditemukannya guru
yang jujur. Saat ini kita masih melihat banyak guru yang belum jujur
kepada dirinya sendiri. Masih banyak guru yang belum mampu
memberikan keteladanan. Bagaimana mungkin korupsi akan diberantas bila
gurunya saja masih korupsi? Korupsi waktu dalam mengajar, dan korupsi
dalam bentuk lainnya seperti melakukan plagiasi karya tulis ilmiah agar
bisa naik pangkat.
Masih
banyak guru yang melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) asal-asalan,
dan seringkali menjiplak hasil karya orang lain. Tak heran, bila guru
seperti itu melahirkan peserta didik yang senang menyontek, dan malas
berpikir secara ilmiah.
Berantas
korupsi harus dimulai dari guru itu sendiri. Cegah korupsi dapat
dilakukan bila guru menyadari bahwa korupsi itu adalah penyakit yang
dapat hinggap kepada siapa saja. Bila guru telah mampu memberikan contoh
dan teladan yang baik, maka akan mampu mengajak peserta didiknya untuk
mampu berbuat jujur. Ketika kejujuran telah tertanamkan dengan baik di
sekolah, maka berantas korupsi bukan hanya slogan belaka, tetapi telah
menjadi tindakan nyata untuk segera diberantas sampai ke akar-akarnya.
Sebenarnya,
peran guru dalam memberantas korupsi itu dimulai dari penanaman nilai
budi pekerti kepada siswa sejak dini. Kalau semua guru sejak SD sampai
SLTA mempunyai keseragaman penanaman budi pekerti anti korupsi, maka
negara akan bebas dari korupsi. Sedangkan kalau memberantas secara
langsung itu telah menjadi tugas pemerintah serta perangkat
hukumnya. Tugas guru di sekolah memberikan pemahaman bahwa korupsi itu
merugikan diri dan orang lain.
Peran
guru di sekolah jelas sangat penting dalam pemberantasan korupsi agar
jangan ada lagi“Nazarudin dan Gayus Tambunan” baru yang menjadi
tersangka kasus korupsi. Kita memang menyadari, korupsi di negeri ini
tidak dilakukan orang per orang, melainkan sudah masuk ke dalamsistem
secara berjamaah.
Peran
guru adalah menanamkan kejujuran dari sejak dini agar kelak ketika
mereka dewasa dan memegang amanah kekuasaan dapat tetap mempertahankan
kejujuran. Inilah pentingnya pendidikan karakter ditanamkan dalam
sekolah-sekolah kita dengan berbagai bentuk kegiatan. Di situlah guru
dituntut kreatif dalam mengintegrasikan imtak dan iptek agar selaras
dengan tujuan pendidikan. Namun demikian, peran orang tua dalam keluarga
juga memiliki peranan penting dalam menanamkan kejujuran kepada para
putra-putrinya. Sebab biar bagaimanapun pendidikan dalam keluarga
menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan.
Dialog sebagai satu-satunya pilar dalam memerangi kekerasan di dunia sekolah.
Peran
serta lembaga pendidikan dalam menumbuhkan paham nasionalisme sebelum
kemerdekaan Indonesia harus diakui amatlah besar, tetapi pekerjaan rumah
bagi lembaga pendidikan tidaklah usai seiring dengan kemerdekaan per 17
Agustus 1945. Lembaga pendidikan Indonesia, khususnya sekolah,
mengemban tanggung jawab penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
secara menyeluruh sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan atau prembule
Undang-undand Dasar 1945.
Dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, setelah dianggap sebagai sebuah
institusi formal yang memuat segala bentuk pengetahuan, nilai, dan
keutamaan bagi anak didik dalam prosesnya menjadi manusia Indonesia yang
bertanggung jawab, dan demokratis. Sampai di titik ini tidak ada yang
salah.
Hal
kemudian yang menjadi salah adalah terstigmanya pandangan anak didik
Indonesia yang menganggap sekolah sebagai sebuah lembaga antikritik, dan
oleh karenanya segala sesuatu yang diberikan sekolah adalah yang
terbaik, dan anak didik tidak diberikan kesempatan untuk berpikir kritis
di dalamnya. Sebagai akibatnya, kekerasan menjadi tidak terhindarkan
(data KPAI menunjukkan tingkat kekerasan di sekolah menunduduki
peringkat ke-2 setelah kekerasan dalam rumah tangga) dengan dalih
sekolah tahu cara yang terbaik dalam mendidik peserta didiknya, termasuk
dengan cara-cara kekerasan, dan guru pada khususnya memahami betul apa
yang diperlukan anak didik untuk masa depannya.
Mengacu
pada kenyataan di atas, dialog amatlah penting untuk menciptakan
situasi egaliter dalam memaknai kembali hubungan peserta didik dengan
sekolah, peserta didik dengan guru. Dialog adalah cara sederhana namun
berdaya dalam membangun dunia pendidikan yang bernafaskan pancasila.
Dialog jugalah sebagai sebuah jembatan komunikasi yang dapat ditempuh
peserta didik dan guru dalam membangun kembali jiwa nasionalis
putr-putri Indonesia yang suatu hari nanti akan memainkan peran penting
dalam membangun negeri tercinta Indonesia.
Singkirkan Korupsi dari negeri ini.
Masih
banyaknya korupsi terjadi di negeri ini membuat kita miris. Para
koruptor yang tertangkap seolah tak berdosa, dan bisa mendatangkan
pengacara handal untuk melindungi dirinya.Para koruptorpun lolos dari
jeratan hukum karena kepandaian para pengacara dalam bersilat lidah dan
menemukan bukti-bukti kalau kliennya tidak bersalah. Kita pun akhirnya
menjadi geram dibuatnya. Itulah hukum negeri ini yang masih pilih kasih.
Korupsi
jelas perbuatan tercela yang harus disingkirkan. Namun untuk
memberantasnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan
kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, kerja tuntas, dan saling
bekerjasama di antara sesama guru itu sendiri. Adanya kolaborasi yang
cantik antar sesama guru akan menjadi pemicu yang tepat sehingga peserta
didik yakin dan percaya bahwa korupsi adalah penyakit manusia yang
harus dihindari, dan sebisa mungkin untuk dilawannya dengan kekuatan
moral dan ajaran agama yang benar.
Dalam wawancara lanjutan melalui pesan di facebook, mbak Linda djalil (mantan wartawan senior tempo) menuliskan:
Guru
yang mengajar di sekolah, modal utamanya adalah HATI. Hati apa? Hati
nurani yang muncul dari dasar nurani yang jernih. Seorang guru janganlah
bermotivasi hanya melulu menginginkan anak didiknya pintar. Pintar buku
tidak sama dengan pintar hati.
Dan
jangan pula andaikan seorang guru matematika hanya selalu mengajarkan
matematika di depan kelasnya. Sesekali ia selipkan MORAL dalam satu dua
menit waktu pengajarannya. Moral kejujuran, moral untuk mengetahui mana
yang patut, dan mana yang tidak. Jangan selalu menganggap hanya tugas
guru agama saja.
Lalu,
sesekali guru harus menyentil muridnya dengan anekdot-anekdot pendek
dan penuh humor. Semua tentang MORAL. Yang paling sederhana, misalkan
seorang guru bertanya, “siapa yang suka pinjam mobil pamannya, motor
teman, atau jeans teman, atau jam tangan teman, atau bolpoint teman?”
Guru harus mengatakan, “JANGAN DIBIASAKAN yaaaaaa…. itu tidak baik.
Meminjam-minjam barang orang hanya karena untuk gaya-gayaan, untuk
penampilan yang keren…, itu MEMALUKAN dan bisa jadi kebiasaan buruk”.
Dalam
hidup ini kita harus membiasakan hidup apa adanya semampu kita. Tidak
perlu tong kosong dipukul nyaring bunyinya, besar pasak daripada tiang,
sehingga ‘tergiur’ untuk meminjam-minjam barang orang lain — kecuali
kalau keadaan terdesak untuk bayar Rumah Sakit, beli obat, dan makan sehari-hari yang sangat minim.
Dari
konsumtif semacam itu, akan timbul hasrat yang lebih besar yaitu
kebutuhan akan barang mewah — padahal kantong tak mampu. Lalu, tentu
akan mencari segala upaya agar semua bisa terpenuhi. Caranya dengan
pura-pura meminjam uang orang lain, tapi pura-pura lupa juga untuk
kembalikan pinjaman itu.
Kalau
soal tidak mengembalikan uang / hak orang dari yang kecil-kecil,
seterusnya di hari kemudian menjadi borok yang seram…. lihat saja contoh
bagaimana kasus BLBI, orang yang ngemplang duit rakyat dari bank-bank
pemerintah. Mereka tidak peduli dengan kepedihan kemiskinan rakyat
asalkan mereka bisa hidup mewah bahkan masih mampu membeli privat jet
dan punya apartemen di Swiss yang hebat.
Orang-orang
ini adalah orang-orang pintar di sekolahnya dulu, tapi hanya kepintaran
‘dari buku’ yang didapat, bukan kepintaran Tahan Malu maupun moral yang
jernih.
Seorang
guru hendaknya berulang-ulang menyisipkan pengajaran-pengajaran seperti
ini di depan murid-muridnya, sehingga mau tak mau ‘pesan’ itu akan
sampai ke hati mereka. Sebaliknya, si guru juga harus memberikan contoh
yang baik. Banyak sekali sekarang guru yang dapat dibeli dengan mudah
oleh para orang tua. Ada yang punya motor baru hadiah dari orang tua
murid, ada yang diam-diam terima amplop dan sebagainya agar anak
diluluskan, diberi nilai tinggi, atau secara tersirat diberi ‘bocoran’
bahan ulangan.
Semua
berpulang pada si guru itu sendiri. Maka itu dari awal saya bilang,
semua diawali dari guru itu sendiri. Hal-hal kecil untuk menghindari
sifat korup adalah, bila ada sekelompok pertemanan mengadakan iuran
untuk kegiatan tertentu atau membeli barang tertentu. Lalu seseorang
licik tidak bayar iuran, dan biaya dibebankan kepada para anggota lain.
Nah, ini adalah suatu bentuk kecurangan tersendiri dalam skala kecil
yang akhirnya nanti di masa dewasa/ tua menjadi kebiasaan, dan
menganggap hal semacam itu sah-sah saja.
Entaskan kemiskinan
Kemiskinan
dapat diberantas bila kita saling berbagi dan bekerjasama dalam
mewujudkannya. Masalahnya adalah sifat egoisme dan mau menang sendiri
menjadi sumbatan terbesar dalam mengentaskan kemiskinan. Di sinilah
peran guru dalam menanamkan rasa empati kepada sesama. Para peserta
didik diarahkan untuk mampu berempati kepada sesama. Terutama kepada
mereka yang sedang berada dalam roda kemiskinan.
Kemiskinan
terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari faktor keturunan sampai
nasib yang membawanya miskin. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian,
tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat
disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun
sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan
merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara
subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi
moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah
yang telah mapan.
Peran
guru di dalam kemiskinan ini adalah mengajak para siswanya untuk
menjadi orang pandai dan pintar serta memiliki keterampilan atau
kecakapan hidup yang membuat dirinya tidak menjadi miskin. Itulah
pentingnya sekolah agar anak-anak mau belajar dan mengenyam pendidikan
dasar. Dari pendidikan dasar inilah anak akan mengembangkan potensi dan
kemampuannya dalam menyalurkan minat dan bakatnya. Ketika guru mampu
mengembangkan potensi unik siswa, maka peserta didik akan mampu membawa
dirinya untuk mengentaskan kemiskinan.
Mbak Linda djalil (mantan wartawan senior tempo) juga menuliskan:
Guru
cukup memberikan ketrampilan hidup bagi murid-muridnya. Guru tidak
perlu ikut menyumbang uang, materi dlsb kepada murid karena hidup guru
sendiri penuh perjuangan, bukan?
Misalnya,
omjay adalah guru panutan bagi anak-anak yang tidak mampu misalnya.
Omjay bisa menganjurkan, memberi semangat agar anak-anak menulis di
Kompasiana salah satunya.. Manfaat lagi dari ngeblog-ngeblog nantinya
dapat juara pada lomba-lomba seperti yang juga anda lakukan sekarang
ini.
Anak-anak
di seputar lingkungan guru, baik itu di kelas maupun antar tetangga,
bisa dianjurkan sesuai dengan keahlian masing-masing, anak yg kurang
mampu secara finansial dibujuk untuk mengembangkan keahliannya. Yang
pintar melukis dorong mereka untuk melakukannya, datangi majalah-majalah
yang kini banyak tersebar , jadi ilustrator honorer…yang pintar nulis
bujuk mereka bikin reportase atau fiksi bentuk puisi, cerpen, kirim ke
berbagai penerbitan … ajarkan kepada mereka tidak boleh putus asa oleh
sebuah penolakan. harus gigih dan tekun. yang pintar menjahit,
lakukanlah sebagai usaha sambilan.
Kebanyakan
orang Indonesia bilang, ‘tidak ada waktu’ untuk kegiatan-kegiatan
ekstra. itu semua omong kosong. saya dulu kuliah dari pukul 8 pagi
sampai pukul 1 siang, ngabur ke TEMPO bekerja sebagai wartawan ( usia
waktu itu masih 18 !), sampai jam 9 malam. begitu tiap hari. sampai
rumah bikin paper, belajar sampai pukul 1 malam, tidur sekian jam
besoknya sudah kuliah lagi. semua ringan-ringan saja dilakukan. uang
saya waktu itu cukup banyak karena TEMPO membayar dengan layak.
teman-teman yang masih nyadong, nodong uang ortu, saya anggap ‘remeh ‘
ketika itu karena saya bisa mandiri meski kecil-kecilan. mereka waktunya
cukup untuk kongkow-kongkow, pacaran, buang-buang waktu, tapi saya
kerja keras lari terbirit-birit tiap hari. toh hasil di UI juga bagus,
paper-paper diberi angka tinggi oleh dosen , lebih tinggi dari anak-anak
yang hanya hidupnya kuliah saja.
ini
adalah salah satu pengentasan kemiskinan… untuk anak-anak dari golongan
tidak mampu sebaiknya lebih jeli dan cermat, jangan lalai oleh keadaan
dan santai-santai. pelajaran yang diperoleh dari sekolah bisa dibarengi
dengan praktek di luar sekolah. misalnya saya dulu SMP SMA diajari bikin
cerpen puisi di sekolah…ya saya praktekan dong untuk bikin sendiri dan
kirim ke media-media.
katakan kepada murid, jangan hanya mengandalkan IJAZAH — sebab selembar kertas itu tiada artinya…
sekedar diketahui, majalah Femina yang raksasa saja, tidak pernah mengandalkan angka tinggi dalam ijazah para pelamarnya. tapi personaliti, kepribadian tampil pede, kegesitan, bahasa tubuh, bahasa asing yang dikuasai, dan efisiensi kerja yg paling diutamakan.
banyak
anak miskin menjadi kaya karena kegigihannya . bukan karena sekedar
prestasi di sekolahnya dan angka2 tinggi di lembaran rapor serta
ijazahnya.
Hilangkan Kekerasan
Kekerasan
merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan,
pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk
menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas
tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan,
tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan
kekejaman terhadap binatang. Istilah “kekerasan” juga mengandung
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan
harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan
kekerasan terhadap orang.
salah
satu murid saya berpendapat, kekerasan kalau dihilangkan sepertinya
tidak mungkin, dikarenakan untuk usia sekarang kita masih labil. emosi
dan amarah kita masih tidak bisa dikontrol. tapi kalau dicegah kita bisa
mengadakan mungkin, program konseling, komunikasi dua arah yang
terbuka.
Selain
itu kekerasan tidak akan pernah hilang dari sekolah manakala guru tidak
pernah mengajarkan kasih sayang kepada sesama. Guru harus mampu
menanamkan itu dalam muatan imtak dalam setiap materi pembelajarannya.
Mbak Linda Jalil menambahkan dalam pesan di facebooknya kepada saya,
kasih
sayang… itulah peran guru, dalam mengajar jangan marah melulu dan sok
jaim… tapi penuh diselingi humor, menyentuh hati anakanak… sembari
sesekali bilang, kalau tidak disengaja ada orang menyenggol, masa’ mau
gebug balik? hasilnya bisa ribut, tawuran, dan tewas. padahal hanya
karena masalah sepele. coba mulai belajar mendekatkan diri kepada orang
secara pribadi… coba lihat berbagai kepala negara di seluruh dunia…
sebisa mungkin mereka ada pendekatan diplomatis sehingga menghindari
perang….
kalau
tawuran sebetulnya apa sih gara-garanya? hanya karena gengsi,
tersinggung dll yang sebetulnya tidak perlu.. mending enerji kalian
dipakai utk ‘perang’ demo melawan koruptor… penjahat.. jadi
pemuda-pemuda bersatu bukan malah saling gontok…dalam hati kalian maunya
apa sih? merah putih kan? nah, persatukan semangat merah putih kalian
utk saling bantu….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar