Minggu, 20 Januari 2013

Kurikulum Pendidikan Nasional 2013: Dilema antara Kekuatan Pencerah dan Penjara Administrasi



Mengkritisi Rancangan Kurikulum 2013 yang sedang di-uji publik-an, bagi saya, kurang tepat. Alasanya karena saya adalah pelaksana dan bukan pengambil keputusan. Guru adalah eksekutor dan bukan konseptor. Tulisan ini lebih bersifat mengajak para praktisi pendidikan utamanya guru, ditengah kesibukannya menyelesaikan evaluasi semester ganjil ini, mencoba memberi ruang bagi upaya memahami perubahan.
Kurikulum merupakan hal mendasar dalam Sistem Pendidikan Nasional kita. Karena memuat ketentuan-ketentuan bagaimana pendidikan dijalankan oleh berbagai tingkat satuan pendidikan. Perubahan-perubahan kurikulum yang telah dilakukan pemerintah menunjukkan arah yang semakin jelas. Setidaknya secara konseptual dapat dipahami demikian. Secara garis besar kurikulum diorientasikan untuk menghasilkan out put yang memiliki kompetensi di bidangnya. Kita sering menyebutnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang telah disusun sejak 2004. Perubahan setelahnya seperti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan yang terbaru Rancangan Kurikulum 2013 masih mengusung paradigma yang sama: kompetensi. Apa yang menarik dari perubahan kurikulum 2013? Bagi guru, hampir tidak menarik. Seperti iklan minuman, “apapun makanannya, minumnya teh…”. Apapun kurikulumnya, pelaksananya guru juga. Bahkan sudah terbayang di depan mata, kurikulum baru berarti membongkar perangkat mengajar lama dan menyusun yang baru. Pekerjaan mudah sekaligus sulit bagi guru. Mudah menyusunnya tetapi sulit mengalokasikan waktunya.
Perangkat mengajar adalah materi-materi yang perlu dipersiapkan bagi yang menjalankan profesinya sebagai guru. Berbagai aturan yang mengatur tentang perangkat mengajar begitu luar biasa. Sebut saja PP No 19 Tahun 2005 tentang kewajiban guru menyusun Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) serta bagaimana proses penyusunan seharusnya dilakukan. Hebatnya peraturan itu ditindaklanjuti Permendiknas No 20 Tahun 2007 yang begitu terperinci menjelaskan komponen yang wajib ada dalam RPP. Serta masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain yang saya yakin banyak guru tidak hafal nomornya meskipun paham rincian tugasnya.
Di era sertifikasi, perangkat menjadi acuan utama untuk mengukur kinerja guru sehingga layak atau tidak menyandang gelar guru profesional dan mendapatkan tunjangan sertifikasi. Menyusun perangkat mengajar yang detail dan bagus sebenarnya adalah pekerjaan biasa namun saya tidak pernah menemukan guru yang seratus persen (sesuai Permen) menyelesaikannya. Mengapa? Kita bisa bayangkan, jika prajurit tentara yang sedang menghadapi musuh masih harus menyusun strategi dan taktik perang sendiri, merumuskannya secara tertulis sesuai prosedur penulisan tertentu, melaporkan hasil pelaksanaannya secara periodik secara tertulis, menyusun program antisipasi kegagalan secara tertulis, dan seterusnya. Anda pasti bertanya kapan perangnya berlangsung atau mungkin sudah bisa memperkirakan musuh akan menang. Laporan yang baik boleh jadi telah mengorbankan sukses di lapangan. Karena membuat perangkat yang sempurna memerlukan waktu melampaui jam kerja sekolah.
Pada hakikatnya guru bukan jenderal melainkan tentara. Menghadapi siswa di sekolah, bagi guru, sebenarnya adalah pekerjaan paling mendesak sebagaimana tentara di medan perang. Bukan waktu untuk berfikir dan menulis melainkan waktu untuk mengeksekusi perintah-perintah sang jenderal. Bahkan banyak orang sepakat, ditengah pertempuran tidak perlu demokrasi melainkan satu komando. Meski tentara dan guru adalah profesi yang berbeda, semua pekerjaan tentu memiliki konteks sosialnya. Memperlakukan pekerjaan guru tanpa memandang dunia sekolah bisa mengancam tercapainya tujuan kurikulum pendidikan nasional.
Guru seharusnya tidak sibuk membuat perangkat melainkan sibuk melaksanakan perangkat. Pernyataan ini bukan upaya menghilangkan kewajiban yang sudah melekat dalam profesi guru. Tetapi porsi pekerjaan konseptual yang seharusnya dirumuskan para pakar hendaknya tidak dibebankan kepada guru. Bahwa guru harus menyusun rencana pembelajaran yang sedetail dan selengkap mungkin, tentu. Tetapi tugas para konseptor, para pakar dan pejabat pendidikan terkait perlu lebih dirumuskan secara jelas dalam kurikulum. Sehingga kurikulum diharapkan tidak menjadi penjara administrasi yang menempatkan guru sebagai “tukang ketik” laporan. Sebaliknya, kurikulum harus menjadi kekuatan pencerah kepada guru untuk lebih terampil dan profesional meski dalam keterbatasan.
Berkaitan dengan tarik ulur tugas guru antara laporan dan pelayanan tampaknya Rancangan Kurikulum 2013 telah mengisyafinya. Kita bisa membaca poin identifikasi kesenjangan kurikulum yang membandingkan KTSP sekarang dengan Kurikulum 2013. Saat ini buku materi ajar hanya memuat materi pelajaran bidang studi. Sedang strategi belajar adalah wilayah guru untuk memikirkan, menyusun dan melaksanakan. Padahal dalam kenyataan, guru tidak memiliki waktu yang cukup untuk membaca teks-teks tentang metode belajar mutakhir, menganalisis indikator pencapaian kompetensi yang sesuai dengan metode serta menyiapkan berbagai hal berkaitan dengan pilihan metode. Mengapa untuk standar pelayanan minimal saja guru sulit mewujudkan? Tentu hal ini bukan kesalahan guru secara individual. Karena guru berada dalam konteks sosial bernama sekolah. Organisasi yang semestinya memberi alokasi sumber daya bagi guru tetapi seringkali menyedot energi guru untuk yang lain. Banyak sekali guru yang nyambi sebagai bendahara, panitia pembangunan mushollah, membantu guru BK yang jumlahnya tidak pernah sesuai kebutuhan, dan menambal lubang-lubang kekurangan sekolah yang lain. Tentu saja yang tidak pernah terkait dengan kompetensi keilmuannya.
Memang tidak semua sekolah mengalami kekurangan sumber daya manusia, tetapi sekolah yang memiliki keterbatasan jumlahnya sangat mewakili wajah pendidikan Indonesia. Sehingga tidak rasional bila tugas-tugas konseptual guru tidak diambil alih oleh kurikulum pendidikan nasional. Salah satu dari sekian banyak hal yang perlu di apresiasi dalam rancangan kurikulum tahun 2013 adalah tugas pemerintah tidak terbatas pada penyiapan standar isi dan mata pelajaran sebagaimana KTSP. Lebih dari itu pemerintah menyediakan seluruh komponen kurikulum sampai buku teks dan pedoman. Yaitu pedoman yang memuat materi pelajaran sekaligus bagaimana proses pembelajaran serta  penilaian dilakukan.
Upaya memperluas jangkauan kewenangan pusat terhadap kurikulum pendidikan nasional sangat penting bagi guru. Yang penting penyediaan konsep-konsep belajar ini bersifat terbuka dan masih memberikan ruang bagi guru untuk melakukan inovasi sesuai dengan tantangan sosialnya. Kita tunggu hasil kerja Pak Mentri dengan para pakar pendidikan!



Objektifikasi Hujan dari Langit: Upaya Memahami Pendidikan Berbasis Karakter
Ada yang berbeda dengan upacara bendera Hari Senin saat itu. Seorang teman di sebelah saya berdiri berbisik lirih ditengah pidato pembina upacara,”Pemerintah malu…”. Terdiam sesaat. “Dulu Penataran P4 dihapus, ternyata justru banyak melahirkan masalah moral sampai pemerintah sendiri kuwalahan. Kalau sekarang dicanangkan pendidikan berbasis karakter itu karena pemerintah malu menyebutnya penataran”. Saya terdiam sejenak dan berfikir. “Oh…, ternyata teman sebelah sedang mengomentari pidato Pak Wabub yang disampaikan melalui pembina upacara. Yah, saya langsung faham, sekarang kanupacara Pencanangan Pendidikan Berbasis Karakter serentak se-Kabupaten. Kemudian saya mengatakan kepada teman saya,”Bukan persoalan malu Pak, ada alasan yang lebih rasional. P4 dianggap indoktrinasi dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah ilmu pengetahuan, atau disebut mistifikasi Pancasila. Mistifikasi menyebabkan kesadaran rasional kita tumpul dan mudah dijadikan alat kekuasaan. Pendidikan karakter menempatkan P4 dalam konteks ilmiah, proses belajar”.
Teman saya terdiam, mungkin ini dianggap penjelasan paling percaya diri seorang guru yunior. Mungkin juga forum bisik-bisik di tengah upacara memang tidak memadahi lagi untuk beradu pendapat. Tidak masalah, karena kepentingan saya meyakinkan bahwa kebijakan pemerintah itu rasional, logis dan objektif. Tidak bersifat personifikasi semisal karena rasa “malu”. Begitupun berbagai macam perubahan-perubahan yang dilakukan Pemerintah Pusat, yang bagi kami aparat pelaksana paling bawah, kadang seperti hujan turun dari langit. Begitu tiba-tiba, tanpa penjelasan memadahi, tetapi wajib dilaksanakan.
Sering kali kami, guru-guru, disibukkan perubahan kurikulum dan konsekuensi perangkat mengajarnya hingga tidak sempat melepas dahaga atas alasan-alasan mendasarnya. Kalaupun ada ruang-ruang untuk membangun landasan filosofis, seperti rapat dinas, rapat validasi KTSP, workshop KTSP dan lain sebagainya, ukurannya sangat sempit untuk diisi berbagai pertanyaan di kepala kita. Karena ruang-ruang itu telah didominasi oleh kepentingan menyampaikan dan memerintah daripada mewacanakannya. Begitulah wajah dinamika kurikulum pendidikan nasional dalam perspektif pelaksana terbawah, guru.
Suatu saat seorang Profesor dalam workshop validasi KTSP menyatakan, “Bapak-Ibu, jangan mudah kaget dengan perubahan kurikulum. Kalau ditempat kita terjadi perubahan dari KBK ke KTSP kemudian sekarang berbasis karakter, dinegara maju perubahan seperti itu malah lebih sering dilakukan”. Rupanya Pak Profesor memahami kegalauan para guru sekolah pinggiran seperti kami. Maka perlu memberikan penekanan bahwa profesi guru harus selalu siap dengan perubahan dan dituntut mampu menyesuaikan diri. Tetapi ketika seorang guru bertanya mengapa nilai karakter dalam silabus harus ditempatkan setelah kolom KD dan tidak setelah kolom indikator, Pak Profesor ternyata juga gagal membangun landasan filosofis bagi guru. ”Lha itu…, Saya sendiri tidak tahu mengapa, karena tidak ikut memutuskan. Ya…, yang penting dilaksanakan saja, Anda kan guru”, kilahnya mantap.
Saya kira argumen Pak Prof senada dengan pernyataan diatas tentang “pemerintah malu” menyebut Pendidikan Karakter sebagai Penataran P4. Artinya telah terjadi personifikasi kebijakan. Kebijakan yang mestinya bersifat objektif, rasional, dan logis dianalogikan dengan person atau manusia. Pemerintah bisa “malu” atau Pak Prof menyebut “saya” tidak ikut memutuskan. Seolah-olah kebijakan itu tergantung person dan subjektif.
Di baris belakang ruang workshop saya sampaikan kepada teman saya sesama guru bahwa ada beda menaruh nilai karakter di depan atau dibelakang kolom indikator. Kalo setelah KD ada kolom nilai karakter, artinya pendidikan kita itu mementingkan pencapaian karakter ketimbang kompetensi kognitif. “Pinter nomer dua sing penting bener”, dalam Bahasa Jawa. Sebaliknya, kalau nilai karakter ditaruh dibelakang indikator, maka filosofi pendidikan kita mengutamakan penguasaan ilmu dan mengesampingkan nilai karakter. Teman saya bertanya, “benarkah begitu, memangnya sampeyan yang memutuskan?”. Saya jawab,”Bukan masalah siapa memutuskan apa, melainkan bagaimana mengembangkan bahasa kebijakan secara logis, rasional dan objektif itu perlu dilakukan”.
Kenyataan-kenyataan seperti di atas mungkin bukan hal menarik untuk dipaparkan. Kabar yang sudah basi sebelum diberitakan. Nilai penting yang ingin disampaikan dari deskripsi ini adalah bagaimana membahasakan perubahan kebijakan dikalangan pelaksana. Menjadikan kebijakan sebagai alat eksistensi person tidak akan melunasi keingintahuan para guru. Apabila kebijakan disampaikan dengan jalan subjektif terus menerus, rasanya sulit bagi guru menjadi subjek dari perubahan kurikulum. Karena kompetensi filosofisnya tidak pernah tercapai, yaitu memahami landasan ke-(apa, mengapa, bagaimana)-annya.
Menjadi agen perubahan mungkin memang diperlukan ketegasan berbicara di depan bawahan, kewenangan yang luas, jabatan tertentu dan gelar akademis yang memadahi seperti Prof., PhD., atau setingkat itu. Namun menjadi aktor pencerahan bisa dilakukan siapa saja. Forum bisik-bisik dengan teman terdekat bisa saja lebih efektif bila disampaikan menggunakan bahasa yang objektif, logis dan rasional daripada forum resmi yang personifikatif!
Perlunya Memahami Motivasi Siswa Menggunakan Media Sosial
Studi motivasi merupakan studi mendasar yang sering digunakan oleh para ahli sosial untuk memahami suatu masalah berkenaan dengan kecenderungan perilaku individu atau kelompok. Penelitian mengenai motivasi siswa membangun pertemanan dengan guru di media sosial dimaksudkan untuk memahami motif-motif atau faktor pendorong siswa secara sukarela menjadikan akun gurunya sebagai bagian dalam interaksi sosialnya di dunia maya.
Kajian ilmiah mengenai guru-siswa dan media sosial di Indonesia belum banyak dilakukan. Pertama, mungkin karena belum dianggap sebagai sebuah masalah sosial. Kedua, hubungan pertemanan guru-siswa di jejaring sosial dianggap biasa dan umum. Padahal di negara terbesar pengguna Facebook, Amerika Serikat, kajian serupa merupakan persoalan yang telah menjadi perhatian publik. Sebagaimana ditulis Ryan Lytle dalam artikelnya berjudul Student-Teacher Social Media Restrictions Get Mixed Reactions, Some school districts have prohibited social media contact between students and teachers.  Menurut Lytle meski hubungan antara guru-siswa bersifat positif dalam proses pendidikan, namun Carole Lieberman, seorang psikiatris di Beverly Hills, California, percaya  bahwa media sosial merupakan pintu masuk adanya kasus penyimpangan seksual dan hubungan gelap. Bahkan beberapa negara bagian di AS memberikan batasan-batasan tertentu yang harus ditaati dalam hubungan guru-siswa di media sosial.
Negara Indonesia yang memiliki pengguna Facebook 35 juta jiwa, terbesar ke-2 di dunia, dan pengguna Twitter terbesar di Asia tentu perlu melakukan antisipasi terhadap perkembangan masalah ini. Pertama, jumlah pengguna media sosial di kalangan remaja termasuk siswa dimungkinkan terus akan bertambah. Artinya berbagai dampak sosialnya juga akan mengalami peningkatan. Kedua, secara khusus hubungan guru-siswa di jejaring sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kecenderungan perkembangan teknologi informasi di berbagai sekolah.
Oleh karena itu kajian-kajian ilmiah untuk mengurai interaksi antara siswa dan guru di media sosial perlu dilakukan. Penelitian semacam ini akan memberikan gambaran kepada berbagai pihak, utamanya para guru dan praktisi pendidikan lainnya, orang tua siswa dan pemerintah untuk lebih memahami kecenderungan siswa di media sosial. Melalui penelitian motivasi siswa berinteraksi dengan guru di media sosial diharapkan semua pihak terkait dapat memberikan penyikapan yang proporsional untuk menghindarkan adanya penyimpangan hubungan sosial. Para guru dapat berperan menjadi teman sekaligus mentor dalam perkembangan siswa menuju kedewasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar