Mengkritisi Rancangan Kurikulum 2013 yang sedang
di-uji publik-an, bagi saya, kurang tepat. Alasanya karena saya adalah
pelaksana dan bukan pengambil keputusan. Guru adalah eksekutor dan bukan
konseptor. Tulisan ini lebih bersifat mengajak para praktisi pendidikan
utamanya guru, ditengah kesibukannya menyelesaikan evaluasi semester ganjil
ini, mencoba memberi ruang bagi upaya memahami perubahan.
Kurikulum merupakan hal mendasar dalam Sistem
Pendidikan Nasional kita. Karena memuat ketentuan-ketentuan bagaimana
pendidikan dijalankan oleh berbagai tingkat satuan pendidikan.
Perubahan-perubahan kurikulum yang telah dilakukan pemerintah menunjukkan arah
yang semakin jelas. Setidaknya secara konseptual dapat dipahami demikian.
Secara garis besar kurikulum diorientasikan untuk menghasilkan out put
yang memiliki kompetensi di bidangnya. Kita sering menyebutnya KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) yang telah disusun sejak 2004. Perubahan setelahnya
seperti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan yang terbaru Rancangan
Kurikulum 2013 masih mengusung paradigma yang sama: kompetensi. Apa yang
menarik dari perubahan kurikulum 2013? Bagi guru, hampir tidak menarik. Seperti
iklan minuman, “apapun makanannya, minumnya teh…”. Apapun kurikulumnya,
pelaksananya guru juga. Bahkan sudah terbayang di depan mata, kurikulum baru
berarti membongkar perangkat mengajar lama dan menyusun yang baru. Pekerjaan
mudah sekaligus sulit bagi guru. Mudah menyusunnya tetapi sulit mengalokasikan
waktunya.
Perangkat mengajar adalah materi-materi yang
perlu dipersiapkan bagi yang menjalankan profesinya sebagai guru. Berbagai
aturan yang mengatur tentang perangkat mengajar begitu luar biasa. Sebut saja PP
No 19 Tahun 2005 tentang kewajiban guru menyusun Silabus dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) serta bagaimana proses penyusunan seharusnya
dilakukan. Hebatnya peraturan itu ditindaklanjuti Permendiknas No 20 Tahun 2007
yang begitu terperinci menjelaskan komponen yang wajib ada dalam RPP. Serta
masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain yang saya yakin banyak guru tidak
hafal nomornya meskipun paham rincian tugasnya.
Di era sertifikasi, perangkat menjadi acuan utama
untuk mengukur kinerja guru sehingga layak atau tidak menyandang gelar guru
profesional dan mendapatkan tunjangan sertifikasi. Menyusun perangkat mengajar
yang detail dan bagus sebenarnya adalah pekerjaan biasa namun saya tidak pernah
menemukan guru yang seratus persen (sesuai Permen) menyelesaikannya. Mengapa?
Kita bisa bayangkan, jika prajurit tentara yang sedang menghadapi musuh masih
harus menyusun strategi dan taktik perang sendiri, merumuskannya secara
tertulis sesuai prosedur penulisan tertentu, melaporkan hasil pelaksanaannya
secara periodik secara tertulis, menyusun program antisipasi kegagalan secara
tertulis, dan seterusnya. Anda pasti bertanya kapan perangnya berlangsung atau
mungkin sudah bisa memperkirakan musuh akan menang. Laporan yang baik boleh
jadi telah mengorbankan sukses di lapangan. Karena membuat perangkat yang
sempurna memerlukan waktu melampaui jam kerja sekolah.
Pada hakikatnya guru bukan jenderal melainkan
tentara. Menghadapi siswa di sekolah, bagi guru, sebenarnya adalah pekerjaan
paling mendesak sebagaimana tentara di medan perang. Bukan waktu untuk berfikir
dan menulis melainkan waktu untuk mengeksekusi perintah-perintah sang jenderal.
Bahkan banyak orang sepakat, ditengah pertempuran tidak perlu demokrasi
melainkan satu komando. Meski tentara dan guru adalah profesi yang berbeda,
semua pekerjaan tentu memiliki konteks sosialnya. Memperlakukan pekerjaan guru
tanpa memandang dunia sekolah bisa mengancam tercapainya tujuan kurikulum
pendidikan nasional.
Guru seharusnya tidak sibuk membuat perangkat
melainkan sibuk melaksanakan perangkat. Pernyataan ini bukan upaya
menghilangkan kewajiban yang sudah melekat dalam profesi guru. Tetapi porsi
pekerjaan konseptual yang seharusnya dirumuskan para pakar hendaknya tidak
dibebankan kepada guru. Bahwa guru harus menyusun rencana pembelajaran yang
sedetail dan selengkap mungkin, tentu. Tetapi tugas para konseptor, para pakar
dan pejabat pendidikan terkait perlu lebih dirumuskan secara jelas dalam
kurikulum. Sehingga kurikulum diharapkan tidak menjadi penjara administrasi
yang menempatkan guru sebagai “tukang ketik” laporan. Sebaliknya, kurikulum
harus menjadi kekuatan pencerah kepada guru untuk lebih terampil dan
profesional meski dalam keterbatasan.
Berkaitan dengan tarik ulur tugas guru antara
laporan dan pelayanan tampaknya Rancangan Kurikulum 2013 telah mengisyafinya.
Kita bisa membaca poin identifikasi kesenjangan kurikulum yang membandingkan
KTSP sekarang dengan Kurikulum 2013. Saat ini buku materi ajar hanya memuat
materi pelajaran bidang studi. Sedang strategi belajar adalah wilayah guru
untuk memikirkan, menyusun dan melaksanakan. Padahal dalam kenyataan, guru
tidak memiliki waktu yang cukup untuk membaca teks-teks tentang metode belajar
mutakhir, menganalisis indikator pencapaian kompetensi yang sesuai dengan
metode serta menyiapkan berbagai hal berkaitan dengan pilihan metode. Mengapa
untuk standar pelayanan minimal saja guru sulit mewujudkan? Tentu hal ini bukan
kesalahan guru secara individual. Karena guru berada dalam konteks sosial
bernama sekolah. Organisasi yang semestinya memberi alokasi sumber daya bagi
guru tetapi seringkali menyedot energi guru untuk yang lain. Banyak sekali guru
yang nyambi sebagai bendahara, panitia pembangunan mushollah, membantu
guru BK yang jumlahnya tidak pernah sesuai kebutuhan, dan menambal
lubang-lubang kekurangan sekolah yang lain. Tentu saja yang tidak pernah
terkait dengan kompetensi keilmuannya.
Memang tidak semua sekolah mengalami kekurangan
sumber daya manusia, tetapi sekolah yang memiliki keterbatasan jumlahnya sangat
mewakili wajah pendidikan Indonesia. Sehingga tidak rasional bila tugas-tugas
konseptual guru tidak diambil alih oleh kurikulum pendidikan nasional. Salah
satu dari sekian banyak hal yang perlu di apresiasi dalam rancangan kurikulum
tahun 2013 adalah tugas pemerintah tidak terbatas pada penyiapan standar isi
dan mata pelajaran sebagaimana KTSP. Lebih dari itu pemerintah menyediakan
seluruh komponen kurikulum sampai buku teks dan pedoman. Yaitu pedoman yang
memuat materi pelajaran sekaligus bagaimana proses pembelajaran serta
penilaian dilakukan.
Upaya memperluas jangkauan kewenangan pusat
terhadap kurikulum pendidikan nasional sangat penting bagi guru. Yang penting
penyediaan konsep-konsep belajar ini bersifat terbuka dan masih memberikan
ruang bagi guru untuk melakukan inovasi sesuai dengan tantangan sosialnya. Kita
tunggu hasil kerja Pak Mentri dengan para pakar pendidikan!
Objektifikasi Hujan dari Langit: Upaya
Memahami Pendidikan Berbasis Karakter
Ada yang berbeda dengan upacara bendera Hari
Senin saat itu. Seorang teman di sebelah saya berdiri berbisik lirih ditengah
pidato pembina upacara,”Pemerintah malu…”. Terdiam sesaat. “Dulu Penataran P4
dihapus, ternyata justru banyak melahirkan masalah moral sampai pemerintah
sendiri kuwalahan. Kalau sekarang dicanangkan pendidikan berbasis
karakter itu karena pemerintah malu menyebutnya penataran”. Saya terdiam
sejenak dan berfikir. “Oh…, ternyata teman sebelah sedang mengomentari pidato
Pak Wabub yang disampaikan melalui pembina upacara. Yah, saya langsung faham,
sekarang kanupacara Pencanangan Pendidikan Berbasis Karakter serentak
se-Kabupaten. Kemudian saya mengatakan kepada teman saya,”Bukan persoalan malu
Pak, ada alasan yang lebih rasional. P4 dianggap indoktrinasi dan tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip ilmiah ilmu pengetahuan, atau disebut mistifikasi
Pancasila. Mistifikasi menyebabkan kesadaran rasional kita tumpul dan mudah
dijadikan alat kekuasaan. Pendidikan karakter menempatkan P4 dalam konteks
ilmiah, proses belajar”.
Teman saya terdiam, mungkin ini dianggap
penjelasan paling percaya diri seorang guru yunior. Mungkin juga forum
bisik-bisik di tengah upacara memang tidak memadahi lagi untuk beradu pendapat.
Tidak masalah, karena kepentingan saya meyakinkan bahwa kebijakan pemerintah
itu rasional, logis dan objektif. Tidak bersifat personifikasi semisal karena
rasa “malu”. Begitupun berbagai macam perubahan-perubahan yang dilakukan
Pemerintah Pusat, yang bagi kami aparat pelaksana paling bawah, kadang seperti
hujan turun dari langit. Begitu tiba-tiba, tanpa penjelasan memadahi, tetapi
wajib dilaksanakan.
Sering kali kami, guru-guru, disibukkan perubahan
kurikulum dan konsekuensi perangkat mengajarnya hingga tidak sempat melepas
dahaga atas alasan-alasan mendasarnya. Kalaupun ada ruang-ruang untuk membangun
landasan filosofis, seperti rapat dinas, rapat validasi KTSP, workshop KTSP dan
lain sebagainya, ukurannya sangat sempit untuk diisi berbagai pertanyaan di
kepala kita. Karena ruang-ruang itu telah didominasi oleh kepentingan
menyampaikan dan memerintah daripada mewacanakannya. Begitulah wajah dinamika
kurikulum pendidikan nasional dalam perspektif pelaksana terbawah, guru.
Suatu saat seorang Profesor dalam workshop
validasi KTSP menyatakan, “Bapak-Ibu, jangan mudah kaget dengan perubahan
kurikulum. Kalau ditempat kita terjadi perubahan dari KBK ke KTSP kemudian
sekarang berbasis karakter, dinegara maju perubahan seperti itu malah lebih
sering dilakukan”. Rupanya Pak Profesor memahami kegalauan para guru sekolah
pinggiran seperti kami. Maka perlu memberikan penekanan bahwa profesi guru
harus selalu siap dengan perubahan dan dituntut mampu menyesuaikan diri. Tetapi
ketika seorang guru bertanya mengapa nilai karakter dalam silabus harus
ditempatkan setelah kolom KD dan tidak setelah kolom indikator, Pak Profesor ternyata
juga gagal membangun landasan filosofis bagi guru. ”Lha itu…, Saya sendiri
tidak tahu mengapa, karena tidak ikut memutuskan. Ya…, yang penting
dilaksanakan saja, Anda kan guru”, kilahnya mantap.
Saya kira argumen Pak Prof senada dengan
pernyataan diatas tentang “pemerintah malu” menyebut Pendidikan Karakter
sebagai Penataran P4. Artinya telah terjadi personifikasi kebijakan. Kebijakan
yang mestinya bersifat objektif, rasional, dan logis dianalogikan dengan person
atau manusia. Pemerintah bisa “malu” atau Pak Prof menyebut “saya” tidak ikut
memutuskan. Seolah-olah kebijakan itu tergantung person dan subjektif.
Di baris belakang ruang workshop saya sampaikan
kepada teman saya sesama guru bahwa ada beda menaruh nilai karakter di depan
atau dibelakang kolom indikator. Kalo setelah KD ada kolom nilai karakter,
artinya pendidikan kita itu mementingkan pencapaian karakter ketimbang
kompetensi kognitif. “Pinter nomer dua sing penting bener”, dalam
Bahasa Jawa. Sebaliknya, kalau nilai karakter ditaruh dibelakang indikator,
maka filosofi pendidikan kita mengutamakan penguasaan ilmu dan mengesampingkan
nilai karakter. Teman saya bertanya, “benarkah begitu, memangnya sampeyan yang
memutuskan?”. Saya jawab,”Bukan masalah siapa memutuskan apa, melainkan
bagaimana mengembangkan bahasa kebijakan secara logis, rasional dan objektif
itu perlu dilakukan”.
Kenyataan-kenyataan seperti di atas mungkin bukan
hal menarik untuk dipaparkan. Kabar yang sudah basi sebelum diberitakan. Nilai
penting yang ingin disampaikan dari deskripsi ini adalah bagaimana membahasakan
perubahan kebijakan dikalangan pelaksana. Menjadikan kebijakan sebagai alat
eksistensi person tidak akan melunasi keingintahuan para guru. Apabila
kebijakan disampaikan dengan jalan subjektif terus menerus, rasanya sulit bagi
guru menjadi subjek dari perubahan kurikulum. Karena kompetensi filosofisnya
tidak pernah tercapai, yaitu memahami landasan ke-(apa, mengapa,
bagaimana)-annya.
Menjadi agen perubahan mungkin memang diperlukan
ketegasan berbicara di depan bawahan, kewenangan yang luas, jabatan tertentu
dan gelar akademis yang memadahi seperti Prof., PhD., atau setingkat itu. Namun
menjadi aktor pencerahan bisa dilakukan siapa saja. Forum
bisik-bisik dengan teman terdekat bisa saja lebih efektif bila disampaikan
menggunakan bahasa yang objektif, logis dan rasional daripada forum resmi yang
personifikatif!
Perlunya Memahami Motivasi Siswa
Menggunakan Media Sosial
Studi motivasi merupakan studi mendasar yang
sering digunakan oleh para ahli sosial untuk memahami suatu masalah berkenaan
dengan kecenderungan perilaku individu atau kelompok. Penelitian mengenai
motivasi siswa membangun pertemanan dengan guru di media sosial dimaksudkan
untuk memahami motif-motif atau faktor pendorong siswa secara sukarela
menjadikan akun gurunya sebagai bagian dalam interaksi sosialnya di dunia maya.
Kajian ilmiah mengenai guru-siswa dan media
sosial di Indonesia belum banyak dilakukan. Pertama, mungkin karena belum
dianggap sebagai sebuah masalah sosial. Kedua, hubungan pertemanan guru-siswa di
jejaring sosial dianggap biasa dan umum. Padahal di negara terbesar pengguna
Facebook, Amerika Serikat, kajian serupa merupakan persoalan yang telah menjadi
perhatian publik. Sebagaimana ditulis Ryan Lytle dalam artikelnya berjudul Student-Teacher
Social Media Restrictions Get Mixed Reactions, Some school districts have
prohibited social media contact between students and teachers.
Menurut Lytle meski hubungan antara guru-siswa bersifat positif dalam
proses pendidikan, namun Carole Lieberman, seorang psikiatris di Beverly Hills,
California, percaya bahwa media sosial merupakan pintu masuk adanya kasus
penyimpangan seksual dan hubungan gelap. Bahkan beberapa negara bagian di AS
memberikan batasan-batasan tertentu yang harus ditaati dalam hubungan guru-siswa
di media sosial.
Negara Indonesia yang memiliki pengguna Facebook
35 juta jiwa, terbesar ke-2 di dunia, dan pengguna Twitter terbesar di Asia
tentu perlu melakukan antisipasi terhadap perkembangan masalah ini. Pertama,
jumlah pengguna media sosial di kalangan remaja termasuk siswa dimungkinkan
terus akan bertambah. Artinya berbagai dampak sosialnya juga akan mengalami
peningkatan. Kedua, secara khusus hubungan guru-siswa di jejaring sosial telah
menjadi bagian tak terpisahkan dari kecenderungan perkembangan teknologi
informasi di berbagai sekolah.
Oleh karena itu kajian-kajian ilmiah untuk
mengurai interaksi antara siswa dan guru di media sosial perlu dilakukan.
Penelitian semacam ini akan memberikan gambaran kepada berbagai pihak, utamanya
para guru dan praktisi pendidikan lainnya, orang tua siswa dan pemerintah untuk
lebih memahami kecenderungan siswa di media sosial. Melalui penelitian motivasi
siswa berinteraksi dengan guru di media sosial diharapkan semua pihak terkait
dapat memberikan penyikapan yang proporsional untuk menghindarkan adanya
penyimpangan hubungan sosial. Para guru dapat berperan menjadi teman sekaligus
mentor dalam perkembangan siswa menuju kedewasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar