Selasa, 13 Maret 2012

PENDIDIKAN KARAKTER ALA PESANTREN DALAM NEGERI 5 MENARA


/1/
Karakter merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia (SDM) karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karena itu, karakter menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu akan membentuk motivasi, pada saat yang sama karakter dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak (1995:445). Jadi, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi.
Indonesia Heritage Foundation (IHF), sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang character building (pendidikan karakter) yang diprakarsai oleh Ratna Megawangi dan Sofyan A. Djalil melakukan pengkajian dan pengembangan pendidikan dengan menerapkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; kedua, tanggung jawab, kedisplinan, dan kemandirian; ketiga, kejujuran; keempat, hormat dan santun; kelima, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; keenam, percaya diri; kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; ketujuh, keadilan dan kepemimpinan; kedelapan, baik dan rendah hati; kesembilan, toleransi, cinta damai, dan persatuan. (http://ihfkarakter.multiply.com/journal/item/1/VISI_MISI_IHF). Kesembilan pilar karakter inilah yang harusnya dimiliki oleh setiap manusia, khususnya generasi muda guna menghadapi tantangan di masa depan.
Pendidikan karakter memang penting dalam perkembangan manusia Indonesia saat ini. Terlebih dalam era global yang setiap negara berusaha memberi karakter setiap warga negaranya yang menjadi identitas penting dalam pergaulan global. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Kehadiran novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi ini sepertinya sangat tepat seiring didengung-dengungkannya kembali perlunya pendidikan karakter di Indonesia. Novel yang berlatar belakang pendidikan pesantren ini menceritakan pengalaman penulisnya selama belajar di sebuah pondok pesantren (dalam cerita ini disebut Pondok Madani) di Jawa Timur. Novel ini merupakan sebuah teks yang terinspirasi dari pengalaman penulisnya sendiri.
/2/
Novel, sebagai salah satu bentuk karya sastra pada dasarnya merupakan hasil imajinasi dan kreativitas pengarang yang bersumber dari pengalaman, baik pengalaman lahir maupun pengalaman batin. Pengalaman ini disusun secara kreatif, imajinatif, sistematis, dan estetis dengan menggunakan bahasa sebagai medianya sehingga mampu menyajikan jalinan cerita yang indah serta mampu memberikan wawasan yang merupakan hasil renungan tentang beraneka ragam pengalaman kehidupannya. Hal ini senada dengan pendapat Maman S. Mahayana (2006:85) yang menyatakan bahwa sastra pada hakikatnya merupakan refleksi pengalaman. Pengejawantahannya sangat mungkin berdasarkan pengalaman lahiriah (sensation) atau pengalaman batiniah (re-flexion). Dalam bahasa yang lebih umum, pengalaman itu mungkin berdasarkan pengalaman objektif semata-mata, atau mungkin juga terpaksa harus direkayasa dan diperkaya dengan pengalaman imajinatif dan pengalaman intelektual. Melalui karyanya, seorang pengarang berusaha merefleksikan gejolak dalam jiwanya, baik berupa luapan emosi tentang keputusasaan, kegelisahan, protes diri, sebuah cita-cita, ataupun merekam suatu peristiwa.
Novel Negeri 5 Menara ini menceritakan Alif Fikri, seorang pemuda Minangkabau lulusan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang dengan setengah hati “hijrah” ke Jawa untuk menimba ilmu di salah satu Pondok Pesantren terkenal di Ponorogo, Jawa Timur. Kepergiannya yang setengah hati untuk merantau ke tanah Jawa bukannya tanpa sebab. Alif, seorang pemuda yang memiliki cita-cita suatu saat nanti bisa seperti Pak Habibie, sesungguhnya ingin melanjutkan sekolah ke SMA umum (non agama). Sementara ibunya menginginkan agar Alif melanjutkan ke jalur pendidikan agama Islam, Madrasah Aliyah (MA) dan menjadi seorang ahli agama suatu saat nanti.
Kondisi tersebut membuat Alif dilanda kekalutan, antara berbakti pada orang tua dengan mengikuti keinginan ibunya, yaitu melanjutkan bersekolah ke Madrasah Aliyah ataukah melanjutkan mimpinya untuk sekolah di SMA umum. Hingga akhirnya, dengan referensi dari salah seorang kerabat, Alif dengan berat hati memenuhi permintaan orangtuanya untuk menempuh jalur pendidikan agama Islam tetapi dengan suatu syarat. Alif tidak mau masuk Madrasah Aliyah (MA) di Minang; tetapi ia memilih mendalami ilmu agama ke Pondok Madani (PM), sebuah pesantren di Jawa Timur.
Maka berangkatlah Alif yang ketika itu masih berusia sangat muda, merantau ke Jawa. Dan perjalanan hidup Alif sebagai salah satu siswa pondok pesantren pun dimulai. Peraturan pesantren yang sangat ketat, jadwal kegiatan yang padat, kewajiban memakai bahasa Inggris dan Arab dalam setiap kegiatan komunikasi, serta hukuman yang siap menanti sekecil apapun kesalahan yang diperbuat, membuat Alif tidak tahan pada saat awal-awal bersekolah di pondok pesantren. Gelombang emosi Alif yang naik turun menghiasi hari-harinya pada saat menimba ilmu di pondok pesantren tersebut. Ragu dan menyesal sempat terbersit di benak Alif, apalagi ketika Alif menerima surat dari sahabat dekat yang sekaligus rivalnya ketika sekolah dulu, yaitu Randai, yang kini seolah sedang berjaya di sebuah SMA Favorit di Bukit Tinggi, sebuah SMA impian Alif.
Seiring berjalannya waktu, lambat laun Alif dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan PM. Alif juga menemukan sahabat-sahabat senasib yang kemudian dinamai Sahibul Manara–sahabat yang sering berkumpul di bawah menara masjid Pondok Madani sambil menunggu adzan Maghrib. Mereka adalah Said dari Surabaya, Raja dari Medan, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Bersama, mereka saling menasehati, saling berbagi mimpi, dan saling membantu satu sama lain. Kehidupan PM yang ketat dalam menerapkan disiplin membuat mereka harus saling mendukung agar kerasan menyelesaikan 4 tahun sekolah.
Banyak hal yang Alif dan kawan-kawannya dapatkan dari PM, tidak hanya pelajaran “biasa”, tetapi juga pelajaran tentang kehidupan, yang ia bawa sebagai bekal di kehidupan selanjutnya. Tekanan hidup tidak membuat Alif dan para santri lainnya menjadi patah dan mengkerut, tetapi justru membuat mereka semakin kuat mental dan tahan banting. Hasilnya, mereka menjadi pribadi-pribadi muda yang tegar, optimistis, percaya diri, juga fasih berbahasa Arab dan Inggris.
/3/
Sebagai karya kreatif yang bersifat imajinatif, karya sastra tidak hanya diharapkan dapat memberi hiburan, tetapi juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca melalui nilai-nilai yang diusungnya. Dalam hal ini Maman S. Mahayana (2005:58) menjelaskan pendapatnya bahwa unsur hiburan dalam karya sastra menyangkut faktor keindahan estetika. Pembaca dihadapkan pada dunia rekaan yang memesona: tokoh-tokoh yang menakjubkan, peristiwa yang menegangkan, atau kata-kata puitik yang indah dan sarat makna. Karya sastra yang baik akan selalu menggugah emosi pembacanya. Karya sastra yang baik diharapkan memunculkan nilai-nilai positif tentang pengalaman kehidupan sehingga dapat menggugah perasaan, membuka pikiran, dan hati nurani pembacanya.
Novel Negeri 5 Menara ini menyuguhkan suatu cerita yang membuka pandangan pembaca tentang seluk-beluk pendidikan pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan humor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. Pendidikan pesantren modern yang digambarkan dalam novel ini sungguh tidak main-main. Pembentukan karakter benar-benar ditanamkan secara kuat, nyata, dan konsisten sehingga mampu melahirkan generasi yang benar-benar tangguh.
Sebagai sekolah berbasis agama (Islam), karakter cinta Tuhan tentu saja menjadi hal yang mutlak di PM. Setiap gerak langkah para santri harus dilandaskan sebagai ibadah yang merupakan wujud kecintaan mereka kepada Tuhan. Termasuk juga dalam kegiatan menuntut ilmu yang memang menjadi tujuan para santri yang datang ke PM. Doktrin tentang hal ini ditanamkan pada pidato awal pimpinan pondok pada acara penerimaan santri baru sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.
”Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu an kail. Kami, para ustad, ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula niat kalian untuk mau dididik.” (hal. 50)
Ikhlas merupakan wujud kepasrahan dan kecintaan manusia kepada Tuhannya. Dalam menjalani hidup tak ada kepentingan apa-apa selain ibadah. Semua untuk kebaikan semesta, seperti yang diamanatkan Tuhan. Doktrin ini ternyata benar-benar dapat merasuk ke dalam sumsum para santri, sehingga semangat untuk beribadah dalam mencari ilmu ke mana pun itu tak pernah luntur, bahkan menggebu-gebu.
Sementara itu, untuk karakter kedisiplinan, PM juga tak main-main. Disiplin merupakan hal yang tak dapat ditawar di PM. Aturan-aturan yang wajib dipatuhi para santri diperkenalkan sejak hari pertama mereka masuk PM. Termasuk aturan mengenai kewajiban pemakaian bahasa Arab dan bahasa Inggris untuk segala komunikasi di PM. Hukuman tidak pandang bulu. Siapa yang melanggar aturan harus dihukum, meskipun santri baru. Sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut.
” …, ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan, mungkin kalian tidak cocok di sini. Malam ini akan dibacakan qanun, aturan komando. Simak baik-baik, tidak ada yang tertulis, karena itu harus kalian tulis dalam ingatan. Setelah mendengar qanun, setiap orang tidak punya alasan tidak tahu bahwa ini aturan” (hal. 51)
Kedisiplinan memang merupakan satu pilar karakter yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi seorang pribadi yang matang dan sukses. Kesuksesan akan sulit diraih tanpa kedisiplinan yang tinggi. Inilah yang membuat PM begitu ketat menerapkan disiplin dalam mendidik para santrinya. Hukuman yang keras akan membuat santri jera dan lebih berhati-hati. Hukuman yang tidak pandang bulu juga mengajarkan para santri PM tentang keadilan. Misalnya ketika baru hari pertama di PM, Alif dan kawan-kawan yang hanya lima menit terlambat ke mesjid juga harus menerima hukuman. Pun ketika Alif dan kawan-kawan yang sudah duduk di kelas 6 (kelas paling senior) harus menerima hukuman digunduli ketika melakukan kesalahan yang cukup fatal, yaitu pergi ke Surabaya tanpa izin. Semua yang bersalah harus dihukum, tidak peduli santri junior ataupun senior
Demikian pula untuk kemandirian dan tanggung jawab. Pendidikan dengan model asrama (pondok) yang digambarkan dalam novel Negeri 5 Menara ini akan melatih kemandirian dan tanggung jawab. Para santri harus mampu mengurus dirinya sendiri juga barang-barang miliknya. Seperti mencuci baju, membersihkan kamar, dan sebagainya. Tugas sebagai bulis lail, petugas ronda malam yang diatur secara bergiliran juga menuntut dan melatih karakter tanggung jawab bagi para santri.
Pengaturan penghuni kamar yang selalu di-rolling setiap tiga bulan sekali juga mampu menumbuhkan karakter kasih sayang, cinta damai, dan kerjasama. Di samping itu, santri PM yang berasal dari berbagai suku, daerah, bahkan negara juga diatur sedemikian rupa agar dapat membaur satu sama lain. Pengaturan semacam ini tentu akan memperkuat rasa persatuan dan toleransi antar sesama santri.
Ilmu agama (Islam) memang merupakan hal yang pokok dipelajari di PM. Namun, selain itu, siswa juga diarahkan minat dan bakatnya pada berbagai hal, seperti musik, seni lukis, fotografi, jurnalistik, olahraga, pencak silat, kelompok baca dan sebagainya. Pentas seni bukan menjadi barang aneh bagi siswa-siswa Pondok Madani. Fotografi dan jurnalistik berpadu apik membangun redaksi Majalah Syams. Di sinilah karakter kreatif para santri dibentuk dan dikembangkan.
Tugas-tugas lain, seperti berpidato di depan umum dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab secara bergantian mampu menumbuhkan rasa percaya diri bagi para santri di PM. Demikian pula tugas menjadi imam salat, menjadi jasus (mata-mata), ketua kegiatan, juga mampu membentuk dan menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Para santri dicetak menjadi pribadi yang harus siap memimpin dan dipimpin.
Dari berbagai pilar karakter yang telah diuraikan di atas, karakter kerja keras dan pantang menyerahlah yang sesungguhnya menjadi benang merah keseluruhan cerita dalam novel Negeri 5 Menara ini. Aroma kerja keras dan pantang menyerah bahkan telah dikenalkan dalam pembuka novel ini, yaitu kutipan kata mutiara Imam Syafii sebagai berikut.
”Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negeri mu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran…”
Di PM, karakter kerja keras dan pantang menyerah juga didoktrinkan kepada para santri sejak awal masuk. Yaitu melalui mantra sakti berbahasa Arab, man jadda wajada, yang bermakna tegas: ”Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil!”. Cara menanamkannya dapat dikatakan cukup unik, yaitu dengan cara diteriakkan secara lantang dan berulang-ulang oleh para santri di masing-masing kelas sehingga para santri merasa tersengat ribuan tawon dan mantra tersebut benar-benar terekam dalam ingatan dan terpatri dalam hati. (hal. 40-41).
Pemimpin PM juga menegaskan bahwa belajar di PM tidak akan santai-santai. Semua harus mau bekerja keras agar dapat berhasil. Untuk bisa segera lancar berbahasa Inggris dan Arab, para santri harus mau rajin belajar, rajin membuka kamus. Toleransi untuk menggunakan bahasa Indonesia hanya pada tiga bulan pertama masuk. Setelah itu, para santri yang masih menggunakan bahasa Indonesia berarti melanggar aturan dan akan mendapatkan hukuman. Kemampuan berbahasa Inggris dan Arab tidak mungkin akan terwujud tanpa kerja keras para santri sendiri. Memang semua terasa berat pada awalnya. Namun, para ustad selalu membimbing dan mendukung para santri akan mampu melewati tekanan-tekanan yang berat itu. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
”Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan. Karena yang kita tuju bukan sekarang, tapi ada yang lebih besar dan prinsipil, yaitu menjadi manusia yang telah menemukan misinya dalam hidup.” (hal. 106)
Internalisasi karakter kerja keras dan pantang menyerah selalu disampaikan melalui petuah-petuah para ustad dalam setiap kesempatan. Misalnya petuah seorang ustad mengenai kunci sukses berikut ini.
”… ada dua hal penting dalam mempersiapkan diri untuk sukses yaitu pertama, going to extra miles, tidak menyerah dengan rata-rata. Kalau orang belajar 1 jam, dia akan belajar 5 jam, kalau orang berlari 2 kilo, dia akan berlari 3 kilo. Kalau orang menyerah di detik ke-10, dia tidak akan menyerah sampai detik ke-20. Selalu berusaha meninkatkan diri lebih dari orang biasa. Karena itu mari budayakan going the extra miles, lebihkan usaha, waktu, upaya, tekad, dan sebagainya dari orang lain. Maka kalian akan sukses.

Kedua, tidak pernah mengizinkan diri kita dipengaruhi oleh unsur di luar diri kita sendiri. Oleh siapapun, apapun, dan suasana bagaimanapun. Artinya, kita jangan mau bersedih, kecewa, atau takut karena pengaruh faktor dari luar diri kalian. Oleh siapapun, apapun, dan suasana bagaimanapun. Artinya jangan mau sedih, marah, kecewa, dan takut karena ada faktor luar. Kalianlah yang berkuasa pada diri kalian sendiri, jangan serahkan kekuasaan pada orang lain. Orang boleh menodong senapan, tapi kalian punya pilihan, untuk takut atau tetap tegar. Kalian punya pilihan di lapisan diri kalian paling dalam, dan itu tidak ada hubungannya dengan pengaruh dari luar.
(hal. 107)
Di PM, sebagaimana dikisahkan dalam novel ini, kerja keras dan pantang menyerah benar-benar menjadi ruh pendidikan, sehingga mampu membentuk pribadi-pribadi yang tangguh dan tidak mudah mengeluh. Berkat kerja keras dan pantang menyerah, Alif dan kawan-kawannya pun akhirnya mampu meraih mimpinya masing-masing yang pada awalnya dirasa sangat mustahil. Mereka berhasil mengunjungi menara-menara impiannya. Keajaiban-keajaiban dapat diciptakan dengan usaha-usaha yang tak kunjung menyerah. Kiai Rais -kepala PM- kepada para santrinya di PM menegaskan melalui sebuah nasihat: ”pasanglah niat kuat-kuat, berusaha keras, dan berdoa khusyuk, lambat laun apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Ini sunatullah -hukum alam-”(hal.136).
Karakter kerja keras dan pantang menyerah tentu menjadi kunci kesuksesan yang telah diyakini banyak orang. Namun, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita saat ini, karakter ini tampaknya semakin terkikis seiring perkembangan zaman. Masyarakat kita saat ini cenderung lebih menyukai segala yang bersifat instan. Mereka menginginkan hidup enak, hasil yang banyak, dengan usaha yang sedikit. Bila mendapat kesulitan sedikit, sudah mengeluh sebelum akhirnya menyerah. Karakter kerja keras dan pantang menyerah sepertinya tidak ada lagi dalam diri mereka. Menipisnya karakter kerja keras ini pula yang memicu munculnya budaya jalan pintas dalam berbagai segi kehidupan. Budaya jalan pintas inilah yang akhirnya memunculkan budaya baru, seperti kecurangan dalam ujian nasional, maraknya plagiarisme, juga merebaknya kasus-kasus korupsi.
/4/
Novel yang berbahan dasar kisah nyata ini memiliki daya pikat tersendiri. Penuturannya tergolong cukup lancar. Tak dimungkiri bahwa di balik kisah yang digarap A. Fuadi dalam buku ini, ada pengalaman empiris, katakanlah semacam fakta-fakta keras semasa pengarang menuntut ilmu di pesantren yang menjadi muasal pengisahannya. Tapi, dalam kerja kepengarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh imajinasi dan racikan diksi sehingga enak dinikmati dan diselami.
Melalui novel ini, pengarang juga berhasil menyuguhkan cara pandang baru terhadap pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai tempat ’buangan’ anak-anak yang bermasalah. Image pondok sebagai tempat pendidikan kolot, kuno, berhasil pula ditepiskan dengan menyuguhkan gambaran pesantren sebagai tempat pendidikan yang mengarahkan santrinya untuk menjadi insan unggul baik dari sisi pendidikan agama maupun pendidikan non-agama, seperti orasi, olahraga, bahasa, seni, dan lain-lain. Model pendidikan karakter yang disajikan dalam novel ini juga memberikan referensi dan menawarkan alternatif kepada masyarakat, khususnya dunia pendidikan, yang bisa jadi model tersebut dapat diadopsi untuk diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Mengingat karakter-karakter yang ditanamkan pun sifatnya universal, bukan hanya milik orang Islam.
Membaca novel Negeri 5 Menara ini, pembaca seakan-akan mendapat suntikan motivasi tentang pentingnya kerja keras atau daya juang. Bahwa hidup adalah kombinasi dari niat ikhlas, kerja keras, doa, dan tawakal (hal.382), itulah rumus berjuang yang ingin disampaikan novel ini. Man jadda wajada.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar