Menurut
Dr. Thomas Amstrong (l994), setiap anak dilahirkan dengan membawa
potensi untuk menjadi cerdas. Sifat bawaan itu antara lain :
keingin-tahuan, kemampuan eksplorasi pada lingkungan, spontanitas,
vitalitas, dan fleksibilitas.
Dipandang
dari pandangan ini, tugas pendidikan (sekolah, keluarga, dan
masyarakat) adalah memberikan kesempatan berkembang pada kemampuan
bawaan itu, sehingga membantu perkembangan kecerdasan anak secara
menyeluruh.
Namun,
ada masalah yang mengganjal dari klaim tersebut. Sering kita menemukan
dalam satu kelas ada anak yang tampak lambat dalam belajar, Sementara
ada anak lain yang terlihat cepat dalam belajar. Karena ada pada kelas yang sama, dapat dipandang perlakuan guru, media belajar, dan lingkungan belajar relatif sama. Tulisan ini selanjutnya akan berbicara mengenai pertentangan ini.
Howard
Gardner, sejak tahun l983 mengemukakan gagasan tentang adanya berbagai
kecerdasan pada manusia. Hingga tahun 2000, Gardner telah mendefinisikan
sembilan jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap manusia. Kecerdasan itu adalah : 1) Intelegensi Linguistik, 2) Intelegensi matematis, 3) Intelegensi
ruang, 4) Intelegensi kinestetiki, 5) Intelegensi musikal, 6)
Intelegensi interpersonal, 7) Intelegensi intrapersonal, 8) Intelegensi
lingkungan, 9) Intelegensi eksistensial. Semua manusia memiliki ke-9 kecerdasan itu, Namun
ada perbedaan keberkembangan. Pada anak yang berkembang kecerdasan
matematis logisnya, ia akan menjadi pintar dalam pelajaran IPA,
matematika, daan ekonomi. Aanak yang berkembang kecerdasan kinestetiknya, pintar dalam pelajaran olah raga dan menari. Demikian juga ada anak yang kecerdasan lainnya yang berkembang
Disinilah
letak permasalahannya mengapa di sekolah kita sering menjumpai
perbedaan kecepatan dalam belajar. Kelambanan dan kecepatan itu ada
karena kita hanya menilai anak dari dua segi kecerdasan saja, yakni
linguistik dan matematis. Mesti jujur kita akui, selama ini di sekolah
anak akan dianggap pintar jika ia dapat mengerjakan soal IPA dan
matematika serta mampu mengkomunikasikannya dengan struktur kalimat yang
logis dan runut. Dengan kriteria
cerdas seperti ini, maka hanya anak yang memiliki kecerdasan matematika
dan linguistik yang berkembang yang akan dipandang cerdas. Lalu bagaimana dengan siswa yang meraih juara atletik saat porseni, tapi lambat dalam menghitung ? Apakah dia akan dianggap anak yang bodoh ? Anak seperti ini adalah anak dengan kecerdasan kinestetik yang baik. Sekolah, keluarga dan masyarakat haruslah memberikan penghargaan dan kesempatan berkembang yang sama pada ke-9 aspek kecerdasan.
Ada beberapa ciri yang dapat diperhatikan padadiri anak untuk mengetahui aspek kecerdasan yang berkembang padanya.
- Kecerdasan linguistik merupakan kemampuan penggunaan bahasa lisan maupun tertulis. Perkembangannya dicirikan dengan : mudah menyusun kalimat, mampu membuat kalimat yang bermakna, tertarik pada sastra, dan suka mengobrol.
- Kecerdasan matematis merupakan kemampuan yang berkaitan dengan bilangan, logika, abstraksi, dan kategorisasi. Perkembangannya dicirikan dengan : cepat dalam matematika, memahami grafik dan tabel, dapat membuat model matematika, dan mampu menganalisis masalah serta runut seusai dengan urutan sebab akibat.
- Intelegensi ruang-visual merupakan kemampuan untuk menangkap dunia visual secara tepat, mengenal bentuk, serta menggambarkan suatu bentuk di dalam pikiran. Perkembangannya dicirikan dengan : mengenali letak benda dalam ruang, bisa menggambar sesuai dengan proporsi objek, dan mampu nenbuat model tiga dimensi.
- Kecerdasan Kinestetik merupakan kemampuan koordinasi gerak badan. Perkembangannya dicirikan dengan : prestasi dalam olah raga, cepat mempelajari tarian, dan terlihat luwes dalam melakukan gerak badan.
- Kecerdasan musikal merupakan kemampuan untuk mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Perkembangannya dicirikan dengan : mudah menghapal lagu (bahkan berbahasa asing), cepat mempelajari alat musik, dan memiliki kepekaan pada nada.
- Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, motivasi, dan tempramen orang lain. Perkembangannya dicirikan dengan : suka bekerja kelompok, suka mengobrol, cepat mendapat teman baru,dan disukai banyak orang.
- Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman diri sendiri, termasuk di dalamnya kemampuan mengontrol emosi dan kesadaranakan gagasan pribadi. Perkembangannya dicirikan dengan : mudah berkonsentrasi, suka bekerja sendirian, selalu berpikir panjang sebelum bertindak, terlihat tenang, dan terlihat suka ”melamun”.
- Intelegensi lingkungan (1998) merupakan kemampuan seseorang untuk dapat memahami alam. Perkembangannya dicirikaan dengan : suka pada hewan dan tumbuhan, menyukai kegiatan berkebun, cepat dalam belajar biologi, dapat menikmati keindahan alam, serta menghargai lingkungan.
- Intelegensi eksistensial/ spiritual (2000) merupakan kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar tentang keberadaan manusia. Anak dengan kecerdasan ini sering mengajukan pertanyaan tak terduga, seperti : ”Untuk apa kita hidup? Mengapa harus bekerja toh kita akan mati ? Mengapa Tuhan menciptakan manusia ”, dan pertanyaan sejenis lainnya.
Pengembangan yang menyeluruh diperlukan untuk menjamin keberhasilan dalam hidup. Seringkali
kita jumpai ada anak yang cerdas semasa sekolah mengalami masalah dalam
hidup, seperti : stres, kekerasan, perceraian, anti sosial, dan bunuh
diri. Ini disebabkan karena orang
itu hanya berkembang kecerdasan matematis logisnya saja, sedangkan hidup
membutuhkan lebih dari sekedar logika. Kita juga memerlukan citarasa seni, pergaulan, pengendalian emosi, menghargai teman, dan lain-lain kemampuan. Sederhananya, pendidikan semestinya mampu membangun manusia seutuhnya.
Dalam
proses pendidikan sekolah pemahaman akan kecerdasan ganda ini sangat
penting dalam menjaga keberhasilan siswa dalam belajar.
Haggerty (1995) mengungkapkan keberhasilan belajar anak di sekolah sangat dipengaruhi oleh cara anak diajar. Anak dengan kecerdasan musikal berkembang akan mudah mengerti kalau diajarkan dengan musik dan lagu. Anak dengan kecerdasan kinestik berkembang, akan mudah paham bila diajar dengan melakukan peragaan gerak badan dan praktikum.
Banyak orang mengatakan, teori kecerdasan berganda ini hanya cocok untuk pendidikan individu, bukan pendidikan sekolah. Karena tidak mungkin memberikan pengalaman belajar yang berbeda-beda untuk siswa yang berada di dalam satu kelas. Gardner
menolak pendapat ini, dia justru mengatakan teori ini cocok untuk
sistem klasikal, dengan harapan semua anak mendapat pengembangan pada
semua jenis kecerdasannya.
Memperhatikan
pendapat para ahli diatas, sudah seyogyanya sekolah menerapkan metoda
pembelajaran yang mampu mengakomodasi semua aspek kecerdasan. Artinya,
di sekolah anak haruslah mengalami proses belajar yang menekankan pada
logika, bahasa, musik, gerak badan, kontemplasi, kerja kelompok,
kegiatan alam, dan pengalaman lain.
Disini
dapat dikemukakan beberapa hal sederhana yang dapat dilakukan di
sekolah, untuk mengakomadasi berbagai tipe kecerdasan anak.
- Dalam kelas guru menerapkan metoda yang bervariasi. Pilihan metoda ceramah, diskusi, membaca mandiri, diskusi kelas, renungan kontemplatif, dan membuat lagu tentang materi pelajaran, adalah beberapa pilihan metoda yang dapat digunakan secara bergantian. Ini untuk menjaga agar semua anak dapat kesempatan untuk belajar sesuai dengan kecerdasannya masing-masing.
- Sekali waktu, misalnya tengah semester, sekolah mengadakan acara jalan-jalan keluar ( jalan kaki ataupun naik mobil). Saat ini sudah cukup banyak SD yang melakukan kegiatan ini. Dengan berjalan-jalan keluar sekolah, anak mendapat kesempatanuntuk bebas mengeksplorasi dirinya sendiri. Maksudnya anak mendapat kesempatan untuk mengekspresikan diri. Ini dapat dilihat dari beragamnya kegiatan anak saat diajak jalan-jalan. Ada anak yang bernyanyi-nyanyi, ada yang berlari-lari,ada yang asik mengamati tumbuhan, ada yang suka berlari keluar jalur kemudian kembali lagi, ada yang asik bercerita pada temannya, ada yang mencoba mencari teman baru, bahkan ada yang tiba-tiba berkomentar ”Sungguh maha pemurah Tuhan yang telah menciptakan keindahan ini ”.
3. Mengijinkan siswa untuk berkonstribusi menentukan pengaturan ruang kelas. Selama ini ruang kelas cenderung monoton. Tembok putih dengan tempelan beberapa gambar, sangat membosankan !. Coba untuk memberikan kebebasan pada anak untuk berperan dalam pengaturan ruang kelas. Mulai
dari warna tembok, pengaturan posisi meja (bisa melingkar, berbaris,
berkelompok, dan lain-lain), dan perubahan gambar dinding secara
berkala.
Langkah-langkah
diatas memang tidak mampu memfasilitasi semua siswa berdasarkan
kecerdasannya masing-masing, karena tentu siswa juga akan pernah bertemu
dengan ketidak sesuaian. Namun
ada baiknya juga, dengan mengalami ketidak sesuaian itu siswa juga akan
diajak untuk mengembangkan kecerdasannya yang kurang berkembang,
sehingga dapat diharapkan semua kecerdasannya mengalami rangsangan untuk
berkem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar